Categories
Uncategorized

Buka Buku untuk Gapai Dunia Baru dengan Goresan Pena Ilmu

Pelajaran pertama dari semua pelajaran adalah membaca. Iqra’ jadi keyword ajaran
Islam di muka Bumi. Dan, terbukti benar bahwa sosok Muhammad yang tidak bisa
membaca berubah menjadi manusia paling berpengaruh di dunia dalam berbagai
versi.

Baca. Maka, kau akan
mengerti bahwa dunia ini terbentang luas. Tak ada yang bisa menafikan bahwa
kaidah membaca menjadi rasa untuk mengetahui segala. Duduk manis di warung kopi
dengan kaki menyilang, berbicara seakan-akan telah mengelilingi dunia; adalah omong
kosong apabila koran lusuh di atas meja tak disentuhnya.

Seorang anak dengan perkembangan audio visual adalah mengeja
apa yang didengar dan mempraktikkan apa yang dilihat. Kita sebut A
maka ia berujar huruf yang sama. Ia dengar SATU maka ia akan mengejar angka 1. Mereka
belum mampu membedakan kata atau huruf bahkan kalimat lain tanpa didengar.

Usia bertambah. Sekolah menanti. Jika dulu, orang tua
melepaskan semua ‘kewajiban’ proses belajar mengajar cuma di pundak guru semata, sekarang orang tua sudah ‘menyicil’
mengajari anak di rumah. Begitu masuk sekolah, anak-anak masa kini sudah bisa
menghitung – paling tidak 1 sampai 10 – atau mengeja A, B, C dan seterusnya,
beberapa huruf saja.
Dunia tulis menulis tidak bisa lepas dari membaca. Audio tak
lain bentuk ‘bacaan’ sempurna sebelum seseorang memahami sesuatu. Kenapa nenek
moyang kita pintar berbahasa Belanda padahal tidak sekolah? Karena hidup dalam
lingkungan orang-orang bermata biru dengan rambut warna emas itu.
Kenapa Nabi Muhammad menjadi ‘guru’ terbaik di muka Bumi?
Karena ayat-ayat suci yang diturunkan secara ‘audio’ kemudian dihapal oleh
Rasulullah, disampaikan ke sahabat, baru kemudian ditulis pada masa Khalifah
Utsman bin Affan – dikenal mushaf Utsmani
– setelah dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Proses yang sangat panjang dalam ‘literasi’ keislaman. Namun, semua berbuah manis ketika Islam
berjaya, semua ilmu pengetahuan berangkat dari Kalam Ilahi. Dunia modern sekalipun masih menjadikan Alquran
sebagai pedoman untuk merancang bangunan, pesawat, dan segala rupa di dunia.
Dunia tak pernah lupa pada tokoh peradaban Islam seperti Ibnu
Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, Ibnu Khaldun, Al-Kindi, Ibnu Rusyd, Ibnu
Batutah, bahkan Bukhari Muslim yang memulai ‘literasi’ dunia dengan karya-karya
fenomenal mereka.
Saat saya kembali ke ruang lingkup lebih sempit, dengan
profesi sebagai guru honorer – yang dianggap atau tidak – kedudukan membaca dan menulis tak lain dua hal yang berkesinambungan. Apapun yang terjadi
di sekolah adalah ‘baca’ dan ‘tulis’. Konsepnya tidak semata-mata membaca untuk dapat menjawab soal
Sejarah, atau menulis sekadar
mendapatkan jawaban Matematika.
Saya tahu betul bagaimana guru di tingkat menengah pertama menatih anak-anak dalam membaca. Kebiasaan
yang menjadi monster karena mereka tidak terbiasa. Kampung yang indah dengan
sawah menguning tidak sama dengan kota besar yang sadar akan baca tulis sebagai
sarana menggapai ‘bintang’ di angkasa raya.
Saya melucuti tali pinggang untuk memukul genderang
anak-anak ke suatu masa. Di antara ratusan anak-anak di sekolah, tidak mungkin
dari mereka enggan menulis atau
bahkan tidak bercita-cita menjadi penulis. Tidak tahun ini, maka tahun depan,
tidak juga, saya tetap menunggu kabar baik tentang itu.
Memang, bukan ranah saya untuk memaksa anak-anak menggeluti dunia literasi. Tetapi, apa yang telah
membesarkan saya sebagai blogger tak
bisa lepas dari dunia tulis-menulis. Saya membuka mata anak-anak; bahwa dari
belajar literasi bisa menjadi sesuatu
yang keren.
Bacalah untuk genggam dunia!
Itulah yang anak-anak harapkan. Ditengah gempuran trending YouTube dengan gosip dan hidup
glamor selebritas, saya menghadirkan contoh ke arah yang lebih positif. Saya
guru mereka yang bisa traveling gratis
karena menulis. Saya guru mereka yang mudah sekali mengganti smartphone dari menang lomba menulis
atau endorse dari sponsor.
Arah ke sana sudah diketahui oleh anak-anak masa kini. Anak-anak
yang kebal terhadap teori harus diberikan bukti nyata. Jika, kita ingin suatu saat mereka akan demikian.
Saya pikir, tidak ada waktu untuk bersenang-senang saja dengan pelajaran Fisika
di dalam kelas. Atau mungkin, saya dengan mudah menyebut, lelah menjadi
operator Ujian Nasional Berbasis Komputer (UN-BK). Lalu, meletakkan hobi
‘tersembunyi’ dari anak-anak di salah satu sudut sampai mereka tamat sekolah.
Padahal, kerapkali saya mendapatkan pertanyaan serupa, “Pak,
bagaimana kami bisa seperti Bapak?”
Let’s see.
Demikian keinginan mereka. Profesi apapun saat ini bisa menjalankan ‘hobi’
sebagai pemasukan tambahan. Bahkan, dari literasi di internet seseorang bisa
mendapatkan kesejahteraan lebih dari apapun yang didapatkan di dunia nyata.
Apa yang kau cari;
maka googling saja. Mudah kita berujar
demikian. Guru-guru di sekolah juga, “Cari di Google bisa kan?” untuk materi
ajar dengan slideshow menarik atau bahan ajar lain
berupa video.
Pengenalan dunia literasi kepada anak-anak adalah dengan
bukti kerja keras saya selama ini sebagai blogger.
Tidak mudah untuk dikenal orang. Tidak gampang
untuk diundang ke event besar
dengan biaya tiket perjalanan ditanggung panitia. Masa itu ada karena menulis adalah
bagian penting untuk mencapai
sukses.
Saya selalu berujar kepada anak-anak, “Menulis tidak akan
mengganggu aktivitas kalian kemudian hari,” jika sudah bekerja
sekalipun
. Orang-orang sukses menulis di malam hari dan bekerja di siang
hari. Cuma, malas yang mungkin
menjadi alasan kapan mau
berbuat.

Sebuah Karya dari Anak Didik

Bermula ketika Elvitiana Rosa meminjamkan sebuah novel. Saya
pikir, Elvi ‘cuma’ seorang remaja yang gemar membaca roman picisan. Elvi mengaku kalau dirinya suka sekali membaca buku dan
bercita-cita menjadi penulis.
Elvitiana Rosa (kanan) saat meminjamkan buku 4 tahun lalu.
Saya ubah pandangan terhadap Elvi di kemudian hari, “Belajar
dulu menulis di blog, Vi!” dengan terstruktur
dan rutin menulis di blog bisa
menjadi bekal melanjutkan calon novel yang masih di awang-awang.
Ketika di kelas dua belas, lebih kurang 4 tahun setelah saya
memberikan novel kepada Elvi, perkembangan menulis anak didik saya ini menanjak
tajam. Saya ketemu Elvi
di madrasah tsanawiyah, lalu bertemu lagi di madrasah aliyah, karena saya
mengajar di dua madrasah ini.
Di tingkat aliyah saya curi waktu untuk mengajarkan
anak-anak menulis – tidak lagi memberdayakan
literasi saja – lebih serius, berdasarkan tingkat kedewasaan mereka. Anak-anak
butuh kerja nyata. Dan, saya sudah memberikan bukti namun belum menepati janji
sebuah pelajaran menulis.
Pelajaran membuat blog.
Elvi menjadi salah satu anak yang mendapat perhatian dari
saya. Chatting panjang kemudian
berbuah manis saat Elvi memamerkan calon novel yang telah ditulis, beberapa
hari setelah pengumuman kelulusan.  
Saya merinding. Perjalanan panjang dari seorang anak didik;
dari bertanya, meminjamkan novel, mendengar teguran, menahan emosi saat saya
marahi, kemudian menghasilkan karya.
Tidak mudah. Saya
akui. Tak pernah sekalipun terlintas dibenak saya bahwa Elvi berhasil
menyelesaikan sebuah novel. Doa saya saat ini adalah semoga novelnya segera dicetak.
Karya Elvi yang akan terbit dan blog miliknya.
Dari kampung; susah membuka pandangan soal menulis, sulit
memadukan antara halusinasi dengan kenyataan. Dari bukti ‘sukses’ saya sebagai
guru dan blogger, bisa menghasilkan
sebuah novel dari anak didik. Itu luar
biasa
. Meskipun, orang lain menganggap, “Ah, biasa saja!” tetapi jangan
lupa proses menulis novel itu wajib diberikan apresiasi yang tinggi.
Apalagi di usia remaja. Di kampung yang masih terbatas bahan
bacaan. Hanya mengandalkan beberapa novel yang saya pinjamkan, yang kemudian
entah sesuai genre novel yang Elvi
sukai atau tidak.
Pelajaran ‘literasi’ yang tidak diajarkan dengan benar di
sekolah membuat anak didik saya menghasilkan karya. Buah ini yang sebenarnya
diharapkan dari apapun jenis
sosialisasi literasi, pengenalan literasi maupun praktik literasi itu sendiri.
Saya akui. Perjalanan menjadi penulis itu rumit. Elvi
menjadi satu di antara sekian proses
yang saya mimpikan berhasil. Tentu, saya
tidak bisa melupakan nama-nama lain yang berhasil memenangkan lomba menulis
tingkat daerah.
Seperti Muhammad Rifaldi Putra yang mendapatkan Juara Harapan I
Lomba Karya Tulis Ilmiah oleh Kementerian Agama Kabupaten Aceh Barat Tahun 2017,
10 Besar Karya Tulis Terbaik Lomba Menulis Esai Perikanan Universitas Teuku
Umar se-Barat Selatan Aceh Tahun 2018, dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Islami oleh
Kementerian Agama Kabupaten Aceh Barat Tahun 2018.
Rekannya yang lain Yusnidar yang mendapatkan Juara Harapan 3
Lomba Karya Tulis Ilmiah oleh Kementerian Agama Kabupaten Aceh Barat Tahun
2017, dan Rahmatil Adha Phonna yang mendapatkan Juara Harapan I Karya Tulis
Terbaik Lomba Menulis Esai Perikanan Universitas Teuku Umar se-Barat Selatan
Aceh Tahun 2018.
Tetapi, Elvi memiliki motivasi
berbeda dibandingkan tiga nama yang saya sebutkan. Sejak awal Elvi
meminjamkan novel, meminta diajarkan menulis, belajar menulis blog sampai kemudian menghasilkan novel
– yang saya sendiri belum berhasil lolos seleksi penerbit – ambisinya sangat
kuat.
Literasi yang Elvi pahami dari guru honorer yang bukan
mengajar pelajaran Bahasa Indonesia, jauh berbeda dengan rekannya yang menang
lomba. Saya menilai jauh tentang sebuah proses; bukan saja menang lomba menulis
lalu tidak pernah menulis lagi. Elvi tidak menang lomba tetapi berhasil menulis
sampai akhir. Ini tidak main-main.
Bagian literasi mana yang harus diabaikan? Bagi saya tidak
ada. Meski belum cukup, proses menuju ‘seseorang
di dalam dunia literasi Indonesia yang rumit baru dimulai.
Tak ada guna bagi saya duduk di depan anak-anak, memberi
materi tentang menulis, menjabarkan pengalaman tanpa proses berbuat. Tanpa hasil pasti. Dalam
keterbatasan itulah saya berangkat untuk mengajar
mereka keluar dari zona aman.
Siapa yang mau, saya ajarkan menulis dan membuat blog. Urusan berhasil hanya bagi mereka
yang sabar dan tekun. Cambuk yang terus saya campakkan ke sisi anak-anak adalah
membaca banyak buku.
Tulisan ‘terbaik’ tidak akan pernah lahir tanpa membaca.
Dunia tidak akan sanggup ‘dibelah’ tanpa membaca. Gudang ilmu adalah dengan membaca.

Literasi dari Keluarga untuk Sebuah Cita

Tugas guru Bahasa Indonesia ‘hanya’ mengajarkan kaidah
bahasa dengan benar. Entah saya yang tidak mengetahui guru bahasa menatih
anak-anak dalam menulis, atau memang tidak ada sama sekali. 
Dunia literasi biasanya ‘diajarkan’ oleh mereka yang telah
jadi penulis. Pengalaman yang memberikan segenap harapan perbukuan mungkin saja jadi dasar kuat untuk
saling membagi pelajaran penting itu.
Alasan ini pula yang membuat saya mengajarkan anak-anak
menulis, terutama di blog. Dunia
digital yang mudah dan simpel, dekat dengan anak-anak, kenapa tidak
diberdayakan dengan mudah sebelum mereka menjadi ‘seseorang’ yang disegani
dalam dunia literasi negeri ini.
Dari cerita anak-anak, saya bisa memahami begitu sulitnya
memulai pelajaran literasi dari rumah. Keluarga di lingkungan saya ‘hanya’
memandang bahwa aparatur sipil negara sebagai profesi yang menjanjikan.
Penulis? Entah berada
di rangking terbawah ke berapa
. Saya memahami hal demikian karena anak-anak
yang berkumpul untuk mendapatkan ilmu soal menulis tidak banyak. Ratusan anak
tiap tahun, hanya beberapa yang berhasil saya hipnotis.
Karena yang mau belajar itu akan bertahan. Mereka
mungkin juga melihat saya sering jalan-jalan; yang mana membuat sebagian
anak-anak ingin mendapatkan hal
serupa.
Ilmu yang saya dapat berikan adalah tentang literasi itu. Dari
pengalaman menjadi blogger, belajar
menulis secara otodidak, dan bacaan yang sering dijadikan pelajaran, saya transfer untuk anak-anak yang ‘dilarang’
orang tua membaca novel.
Anak-anak seperti Elvi hanya sebagian yang saya tahu membaca
novel secara diam-diam di rumah. Sebab yang pasti karena orang tua anak-anak
tidak tahu bahwa di luar sana banyak sekali penulis yang hidupnya tidak kurang
suatu apapun.
Pelarian anak-anak yang dilarang membaca novel meskipun di
hari libur adalah sekolah; jam pelajaran maupun jam istirahat. Orang yang
kemudian bisa menjadi tokoh penyelamat adalah saya – karena guru lain yang memahami literasi
di sekolah sangat sedikit.
Saya tentu tidak beradu argumen dengan orang tua anak-anak. Pemahaman
literasi yang kurang di keluarga. Impian pekerjaan mapan dengan gaji bulanan.
Adalah hak tiap orang tua.
Namun, saya tidak mau membatasi anak-anak yang ingin
berkarya. Saya berikan bukti – kembali – kepada anak-anak dengan bekerja juga
sempat menulis. Anak-anak melihat hasil dari media sosial yang mana kami
berteman di sana. Saya berhasil
mendampingi mereka lulus ujian akhir, juga melahirkan karya meski hanya di blog ini saja.
Belum saatnya Elvi atau anak-anak yang lain memainkan peran
antagonis di dalam keluarga, “Aku harus jadi penulis!” atau “Aku harus
menulis!”
Buktikan. Maka
dengan itu, orang tua akan membuka
mata. Kontrol orang tua tak
lain
adalah rangking di kelas, dapat nilai bagus, lalu lulus perguruan tinggi tanpa tes. Dan,
Elvi telah membuktikan hal itu menjadi
kenyataan
.
Nggak ada yang sia-sia. Saya yang jadi kenangan di masa-masa sekolah mereka akan mencari lagi ‘bibit-bibit’ serupa.
Seperti Elvi yang belajar literasi, orang tuanya tentu harus bangga dengan novel yang
baru saja dilahirkan dan lulus perguruan tinggi tanpa tes dengan beasiswa penuh
– BidikMisi. Harap cemas membaca novel di rumah berbuah manis. Belajar
‘literasi’ seorang diri berhasil dilalui dengan indah dan masa depan
perkuliahan akan membuat lebih dewasa dalam berpikir dan mengatur waktu.
Mungkin, ada orang tua yang membaca ini, biarkan saja anak-anak membaca novel di rumah. Dari sekadar hobi nanti bisa mendapatkan jajan bahkan lebih, atau bisa membiayai
kuliah dan hidup mereka kelak.
‘Pembiaran’ yang dilakukan oleh orang tua dengan anak-anak
membaca buku tentu tidak sedikit. Bukti sukses ini telah dicontohkan oleh
penulis-penulis kita. Elvitiana Rosa mungkin saja akan seperti Helvi Tiana Rosa
di masa depan. Tiada yang tahu. Bukan sekadar mirip nama tetapi proses
perjuangan di dunia literasi yang membawa keberkahan.
Jangan pernah tinggalkan buku!
Saya hanya sebagian kecil dari apa yang anak-anak ingin
ketahui. Saya telah berbagi. Meski berganti tahun hanya secuil harapan tetapi
asa tak pernah pudar. Saya masih di sini untuk sebuah kata kunci literasi yang akan kita bangun untuk cita-cita dan
masa depan lebih baik!