Categories
Uncategorized

Sepucuk Rayuan dalam Sepiring Kerak Telur



Masih
di Kota Tua yang panas, saya dan Citra duduk manis setelah menghabiskan
sepiring Kerak Telur dan Toge Goreng. Sebenarnya Kerak Telur itu kami makan
sepiring berdua karena saya tidak habis menyantapnya. Saya ngos-ngosan menghabiskan
Kerak Telur yang banyak untuk ukuran saya yang tidak banyak malah. #alah.

Kerak Telur di Kota Tua Saksi Bisu “Perjodohan” Banten dengan Aceh – Bai Ruindra
Toge Goreng yang dipesan Citra – Bai Ruindra

Penjual Kerak Telur di Kota Tua – Bai Ruindra

Kerak
Telur dan Toge Goreng telah habis kami santap, kami cerita ini dan itu serta
menyusun rencana ke tempat berikutnya. Sambil menunggu waktu kami diskusi soal
kisah cinta yang gagal Sabari di buku Ayah dari Andrea Hirata, lalu buku-buku
Trinity yang menawan karena kisah keliling dunia, kisah melankolis Ahmad Fuadi
dalam Negeri 5 Menara, diksi dan kekayaan intelektual Dee dalam Gelombang, sampai
tokoh-tokoh bersemak dalam buku Ayat-Ayat Cinta Habiburrahman El-Shirazy.
Belum
usai kami tertawa haha hihi, seorang ibu meminta tempat duduk di depan
kami. Beliau telah celingak-celinguk ke tempat lain namun telah penuh oleh
pengunjung lain. 



Kami menyilakan perempuan yang berusia sekitar 50-an itu duduk
bersama kami. Tidak tahunya, tak berselang lima menit seorang gadis ikut nimbrung
bersama kami, gadis itu tak lain rekan dari perempuan yang mengenalkan namanya Fatimah. Gadis itu memanggil Ibu Fatimah dengan sebutan ummi.
Ummi Fatimah memulai
perbincangan yang membuat waktu kami tertambat di sana lebih kurang setengah
jam lebih.
“Abang
ini dari Aceh tho?” gaya khas Ummi Fatimah yang masih saya ingat
sampai sekarang. Kata Mas berubah menjadi Abang begitu mengetahui kami dari
Aceh. Ummi Fatimah bercerita pernah ke Aceh dan suaminya baru saja pulang
dari Aceh dalam rangka Pekan Olahraga Mahasiswa. 



Ummi Fatimah tak lain
seorang guru yang sangat bersahaja, guru agama yang anggun, tutur kata yang
lembut, sifat keibuan yang terlihat kentara sekali dengan pembawaannya, dan
terlihat cukup senang berbicara dengan kami dua lajang dari Aceh!
Ummi
senang sekali lho dengan anak laki-laki yang paham agama!”
Mungkin,
mendengar Aceh yang telah menerapkan hukum Islam, Ummi Fatimah lantas
berkesimpulan bahwa kami berdua benar-benar sangat paham sekali Islam. Padahal jika
dibandingkan dengan orang-orang Aceh lainnya, saya merasa tidak ada apa-apanya. 



Barangkali karena di Aceh, Islam telah menjadi makanan sehari-hari, ke
mana-mana adalah orang Islam, azan berkumandang lima kali sehari semalam, bulan
puasa begitu istimewa, hari raya meriah sekali, dan berbagai alasan lain. Mungkin
juga di daerah Ummi Fatimah yang terdapat banyak perbedaan, anak muda
yang berbicara tentang Islam jadi begitu menarik sekali.
“Sudah
menikah?”
Serentak
saya dan Citra menjawab belum. Dalam hati saya telah dipenuhi bunga-bunga
asmara segera ingin berlalu dari situ, karena soalan pernikahan itu sungguh
rumit di Aceh ini. Saya menjabarkan beberapa alasan kepada Ummi Fatimah mengenai
adat pernikahan di Aceh yang membuat beliau ternga-nga.
Aih!
Inilah rayuan itu. Ummi Fatimah memulai sepucuk rayuannya dengan kalimat
lanjutan. “Mau ndak pulang ke Banten?”
Saya
dan Citra tersenyum simpul saja. Ibarat punguk merindukan bulan, pembicaraan
ini menjadi simalakama. Bukan urusan menikahnya yang mudah namun jarak yang
menjadi penghalang. #alasan.
Ummi Fatimah mengarahkan
pandangan kepada gadis di sampingnya – saya lupa namanya siapa. #eh.
“Kamu
mau ndak pulang ke Aceh?” gadis itu tertawa. Ujarnya kemudian, “Ummi ini
ada-ada sajalah…,”
Mesiu
senapan telah dilontarkan sekuat tenaga. Kesempatan telah dibuka
selebar-lebarnya. Memang tidak terlihat si gadis menolak maupun mengiyakan,
namun kisah lanjutan dari sepenggal ucapan Ummi Fatimah menggetarkan hati
siapa saja yang mudah dibuai. “Dari pada abang ini mencari wanita Aceh yang
mahal di mahar lebih baik kamu mau saja ndak sama pria Aceh yang kuat
agamanya!”
Kepala
saya tiba-tiba mau pusing. Gara-gara sepiring Kerak Telur, pucuk-pucuk asmara
barangkali akan tercipta. Ummi Fatimah tak henti memuji kami berdua di
depannya, seakan-akan beliau telah mengenal kami cukup lama. 


Baca juga Gadis Aceh yang Layak Dipinang



Di akhir
pembicaraan, beliau meminta nomor handphone untuk melanjutkan
silaturahmi. Rayuan Ummi Fatimah memang berlanjut di beberapa pesan
singkat yang beliau kirimkan kepada kami. Saya dan Citra cekikikan di dalam bus
TransJakarta. Saya tidak melupakan niat baik Ummi Fatimah kepada kedua lajang
yang entah kapan kawin ini. 



Rayuan Ummi Fatimah untuk “meminang” salah
seorang gadis di daerahnya menjadi tanda tanya terbesar dalam hidup saya sampai
kini. Apakah ada gadis di luar Aceh yang mau menikah dengan saya? Pertanyaan
yang kepo terhadap diri sendiri. Apabila saya utarakan pada Citra waktu
itu, traveler ini pasti akan terpingkal-pingkal.

Sepucuk
rayuan yang tak disengaja di Kota Tua. Tentang jodoh. Tentang pertemanan. Tentang
penilaian. Tentang daerah masing-masing. Juga tentang silaturahmi sesama
muslim.
Categories
Uncategorized

Patung Porno di Kota Tua Jakarta

Kota Tua Jakarta – Bai Ruindra
“Ke
mana kita?” tanya Citra begitu
kami bertemu. Pertengahan November 2015 saya mendapat kesempatan untuk
berkunjung ke Ibu Kota. Memang, selama ini kerap kali saya berujar, “Kapan
ya bisa ke Jakarta?

Perkataan adalah doa.
Saya mempercayainya begitu kesempatan ke Jakarta terkabul. Sebenarnya, ke
Jakarta kali bukan semata jalan-jalan saja dengan biaya sendiri. Berkat ngeblog
mengenai teknologi, sering mereview produk dari produsen asal Taiwan (laptop, tablet
dan smartphone), saya diundang untuk menghadiri acara terbesar dan
termegah yang mereka adakan di tahun 2015.
Sering
pula saya berkata, “Ke Jakarta wajib ke Kota Tua!”
Beberapa
kali saya membaca ulasan mengenai Kota Tua di Jakarta, sampai saya pun menulis
review tentangnya di blog beberapa waktu lalu. Kota Tua adalah tempat
berdirinya bangunan bersejarah republik ini selama perang melawan kolonial
Belanda. Banyak saksi sejarah yang membuat saya iri bahwa perjuangan masa dulu
tak semudah injakan kaki saya di tempat ini.
Saya
dan Citra berdiri sempoyongan di dalam bus TransJakarta. Manis-manis asam gula
Jawa berada di dalam kendaraan sejuta umat ini. Saya yang awam sekali dengan
Ibu Kota merapatkan diri dalam kungkungan anak muda yang sedang pulang dari
lari pagi di hari Minggu itu. Citra tak henti-hentinya mengingatkan saya, “Dompet,
handphone, ransel taruh di depan!
Anjuran
Citra ternyata juga terdengar di dalam bus TransJakarta. Kondektur (benar sebut
ini?) berulang kali pula mengingatkan supaya menjaga barang bawaan dengan baik.
Dari suara perempuan di pengeras suara pun tak henti-henti mengingatkan untuk
memperhatikan kembali barang bawaan jika ingin turun di salah satu halte.

Tibalah
kami di Kota Tua. Berlagak kampungan saya berujar, “Orang Jakarta itu nggak ada
liburnya ya, Cit?”
Citra
tak menjawab kala itu. Langkah kakinya besar-besar, mungkin sudah terbiasa
dengan suasana Jakarta. Saya sedikit pelan dan seringkali tertinggal di
belakang karena saya pikir Jakarta ini ya sama dengan di Aceh, nggak mesti
ngejar-ngejar kalilah



Padahal saya salah, langkah Citra yang lebih
cepat karena untuk menghemat waktu kami. Setelah Kota Tua, kami akan ke
beberapa tempat lain, termasuk nonton bioskop – kami mencari bioskop yang
menawarkan harga paling murah.
Keramaian di Kota Tua – Bai Ruindra
Citra yang hampir melupakan saya – Bai Ruindra
Saya
benar-benar heran dengan kondisi Kota Tua. Bukan soal bangunannya. Tetapi lautan
manusia yang padat sekali. Bagi saya, pengunjung di Kota Tua cukup ramai di
hari Minggu itu. Beragam usia menikmati suguhan manis dari sejarah Indonesia. 



Beberapa
bangunan bisa dimasuki – dijadikan museum – dengan harga tiket lumayan murah
sekitar Rp. 5.000,00 perorang untuk umum dan Rp.2.000,00 perorang untuk siswa.
Halaman
yang luas membuat suasana di Kota Tua panas sekali dengan tanpa pohon yang
rindang. Panas matahari tidak membuat pengunjung berteduh ke dalam museum namun
berlomba-lomba mengabadikan kenangan di sekitar bangunan. 



Latar belakang
bangunan tua adalah salah satu kesan menarik bahwa zaman Belanda menjadi kekal
di dalam ingatan masyarakat Indonesia. Kolonial Belanda tak pernah bisa dilupa
sampai ke anak cucu karena dari merekalah Batavia merajang duka sampai ke
seluruh negeri. Memang, tidak ada lagi keperihan di dalam museum di Kota Tua
ini. 



Saksi sejarah lebih kepada penampilan para elit Belanda kala itu dan pernak-pernik
rumah tangga yang abadi. Kayu jati itu terkesan sangat “mahal” sebagai saksi
sejarah dan pemanis museum. Sayangnya, saya tidak bisa duduk manis di salah
satu kursi tersebut karena terdapat larangan untuk menyentuhnya.
Satu
keunikan saat memasukin salah satu museum adalah dengan menanggalkan sepatu
atau sandal. Penjaga di dalam museum kemudian memberikan kantung kain berisi
sandal yang bersih. 



Kami semua mengganti sepatu dengan sandal tersebut dan
menentengnya ke mana-mana selama berada di dalam museum. Saya dan Citra memilih
mengikat kantung kain itu di antara tali ransel. Lebih aman  dan praktis karena tangan kami sibuk dengan smartphone



Tentu saja kegiatan mengabadikan kenangan melalui kamera smartphone adalah
pilihan wajib. Saya tak mau sampai di Aceh hanya berbagi cerita lewat suara,
beda orang beda pula cerita yang saya suguhkan. Dengan sebuah foto, siapapun di
kampung nanti bebas mendeskripsikan apa yang terlihat di dalam hasil kamera
tersebut.
Perang melawan Belanda – Bai Ruindra
Keramaian di dalam museum – Bai Ruindra
Salah satu peralatan dapur – Bai Ruindra
Dilarang duduk di kursi ini – Bai Ruindra
Keluar
dari museum itu, saya berselfie ria. Eh, tahu-tahunya mata saya hampir
meloncat keluar begitu berhadapan dengan patung telanjang.
“Hei,
patung itu nggak pakai baju!” ujar saya histeris. Saya yang porno atau
patung itu yang memang sangat porno. #ups
Patung
itu adalah patung “porno” pertama kali saya lihat. Lebih tepatnya saya jarang
sekali melihat patung di Aceh. Mumpung masih di Kota Tua dan belum ada yang
tertarik untuk memotret patung tak tahu malu itu, saya membidikkan kamera ke
arahnya. Sekonyong-konyong patung itu melompat ke arah saya dan memeluk saya
dengan erat. 



Tak ayal saya mengelak dan patung itu telungkup ke lantai, patah
lengan dan siku. Tahu-tahunya Citra membelai patung itu saking sayangnya dia
patah arah. Tak tahu malu saya mencubit sedikit bagian dari tubuh patung tak
berbaju itu. Begitu kembali ke alam nyata, si patung porno masih berdiri dengan
ganjennya menunjuk ke langit. 



Entah apa tujuan dari patung porno itu
menunjuk langit dan memegang semacam tongkat sihir. Patung porno ini pastilah
menyimpan rahasia yang enggan dia bagi kepada kami. 



Tapi benar, apabila bola
sebagai alas kakinya berputar, patung porno itu pastilah memekik begitu saya
memotretnya. Saya pikir, patung itu juga memiliki perasaan halus seperti kapas.
Mana tahu dia malu terlalu sering dilihat orang banyak. Hahaha!
Awas, ada patung porno! –  Bai Ruindra

Garing
banget ya cerita ini. Tapi ya, nggak mungkin patung itu berdiri
sepornonya tanpa ada sebab akibat. Saya dan Citra seakan lupa asal-muasal
patung ini. Biarlah jadi kenangan dan rahasia. Saatnya kami menikmati kerak
telur yang dijual tak jauh dari patung porno ini berdiri tegak! 
Categories
Uncategorized

Menapak Sejarah di Kota Tua Ibu Kota

 Ibu KotaJakarta
– selalu menjadi impian sebagian besar orang untuk mengunjunginya. Termasuk saya! 
Selama
ini, saya orang yang belum beruntung menginjakkan kaki di Jakarta. Perjalanan yang
saya tempuh biasanya hanya sekadar
transit atau ganti pesawat di Bandar
Udara Soekarno-Hatta sebelum bertolak ke destinasi tujuan.
Ingin sih
berteduh sesaat
di Ibu Kota namun waktu belum mengizinkan saya ke
arah sana.

Di
antara sekian banyak paket wisata di Ibu Kota, satu saja yang sangat ingin saya
kunjungi, Kota Tua JakartaMungkin,
pemikiran saya terlalu mundur ke belakang. Sejarah tak boleh dilupa. Kota Tua
Jakarta menyimpan sejarah yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. 



Sejarah adalah
pelajaran untuk tidak mengulang kejadian yang serupa di masa mendatang. Sejarah
tak lain kenangan untuk mengenang sebuah kisah pahit dan bahagia di masa
lampau. Dari sejarah pula kita belajar sesuatu yang tidak ada menjadi ada
bahkan sebaliknya. Sejarah musti dipelajari karena jika dilupa ia tak akan
pernah dikenang.
Di
Kota Tua Jakarta adalah Gedung Arsip Nasional yang menyimpan
banyak literatur tentang sejarah Indonesia. Membaca sedikit referensi penting
saja akan membuka cakrawala tentang sejarah. Dokumen-dokumen yang hanya
tersimpan di gedung ini selayaknya dibolak-balik sesaat untuk meneguhkan hati
bahwa sejarah (perjuangan) benar-benar nyata dan abadi.
Langkah
selanjutnya ke Museum Sejarah Kota Tua atau dikenal juga dengan Museum
Fatahillah
. Namanya museum adalah tempat menyimpan “cenderamata”
sejarah yang menjadi saksi bisu kepedihan perjuangan kemerdekaan.

Benar atau
tidak, saya akan tahu jika bertandang ke sana suatu saat nanti. Museum ini
setidaknya dapat menjawab keraguan saya bahwa perjuangan melawan penjajah itu
tidak sulit. Penjajah musti “diusir” dengan senjata pikiran (taktik) dan
senjata fisik sebelum sadar bahwa Indonesia memiliki kedaulatan dan berhak
merdeka.

Museum Sejarah Kota Tua – Wikipedia Indonesia 
Ingat
waktu, ada Tugu Jam Kota Tua yang bisa saya abadikan dalam kenangan
dan diperlihatkan kepada anak-cucu kelak. Berdiri sejenak di depan Tugu Jam
Kota Tua ini mengingatkan saya bahwa meraih kemerdekaan tidaklah semudah
membalik telapak tangan. Butuh waktu yang sangat lama sebelum pembangunan dimulai
dan hidup damai dinikmati hingga saat ini.

Istirahat
sejenak sambil menikmati pemandangan Kota Tua Jakarta adalah di Lapangan
Fatahillah
tempatnya. Berada di Lapangan Fatahillah untuk merasakan
aura pengunjung lain yang ingin memaknai sejarah sebagai pelajaran dalam hidup
mereka.

Pasti akan banyak sekali ras dan suku bangsa yang berlalu-lalang di
depan saya. Memotret kesibukan mereka tentu saja menjadi keharusan bahwa
orang-orang belum melupakan jejak sejarah bangsa ini.

Mengulang
kesuksesan perdagangan di masa dulu, Pelabuhan Sunda Kelapa
adalah tempat yang cocok untuk menyelami hiruk pikuk penjual dan pembeli masa
itu. Memang, saya tidak bisa berada di masa lampau namun aura yang tersimpan di
sana pastilah bisa membuka kenangan transaksi masa dulu.

Rasa
syukur telah sampai di Kota Tua Jakarta adalah berteduh sejenak di Masjid
Luar Batang
. Sebagai muslim, sudah menjadi kewajiban untuk menunaikan shalat
dua rakaat
setiap menjumpai masjid selama perjalanan. Masjid adalah rumah Tuhan
kami yang selalu dijaga keagungan dan kemuliaannya. Masjid tempat kami mencari
perlindungan karena tak ada larangan memasukinya bagi seluruh umat Islam di
bumi ini.

Waktu
memang mengizinkan saya berkunjung ke sana. Hanya saja kepala mengerut saat
memikirkan tiket pesawat ke Ibu Kota. Bagi saya,
pesawat yang aman selama penerbangan dari Banda Aceh
ke Jakarta adalah Garuda Indonesia.

Maskapai
penerbangan bintang lima ini termasuk salah satu maskapai yang “menghargai”
penumpangnya. Selain jarang delay juga memberikan kenyamanan lebih
melalui pelayanan dari awak kabin. Selain itu, custumer service maskapai
yang termasuk 10 besar terbaik dunia ini siap melayani kapan pun (offline maupun
online). Saya tidak merasa takut jika terjadi sesuatu selama perjalanan
panjang.

Ah, tak sabar rasanya
mengepak aroma tubuh di sekeliling Kota Tua Jakarta. Distinasi ini wajib masuk
ke dalam buku catatan perjalanan. Anda setuju?