Categories
Uncategorized

Jakarta Suatu Ketika dalam Kemewahan dan Imajinasi Pinggir Kali

Ibu Kota itu gemerlap. Ibu Kota bernama Jakarta itu penuh bintang; di langit lalu masuk ke atmosfer Bumi dengan tarikan gaya gravitasi tiada ampun. Bintang di Jakarta begitu indah bagaimana pun definisi untuk menjabarkannya. Tiada yang peduli bintang itu jatuh ke pinggir kali, tiada pula yang akan mengiba pada waktu agar dapat memeluk bintang. Karena semua itu, berjalan dengan cepat, dalam sekejap, dalam periode yang mengibas kelambanan dalam meraih mimpi-mimpi.
Kupikir, dulu sekali, Jakarta itu
kayak di televisi. Manis dalam
kemasan. Licin bermarmer. Harum bagai kasturi. Kupikir sekali lagi, Jakarta itu
tak ada susahnya sama sekali. Persepsi yang membawa pikiran itu adalah
orang-orang ‘hebat’ tinggal di Jakarta. Maupun, orang-orang ingin menjadi hebat
akan ‘hijrah’ ke Jakarta. Ibu Kota
adalah segala rupa. Beragam keinginan. Jutaan godaan. Manis sekali diteguk;
berulangkali akan ingin mencicipinya. Busuk sekali dicium; mau tidak mau akan
dibuang meski pembelaan telah dilakukan.
Mungkin, orang telah bosan
membicarakan Jakarta. Semraut yang nyata. Gemerlap yang memengkakkan telinga. Rupa
penuh penipuan dan persaingan. Dan waktu pun seolah tidak mau bersahabat dengan
baik pada ‘kita’ yang mudah terlena. Tetapi, aku mungkin terlalu ‘manja’
melukiskan Jakarta – karena – berkali-kali disebabkan ragaku yang jauh
dengannya; bisa juga karena aku seekor
gagak kampung yang melihat mewahnya kehidupan di sana sebagai mutiara terpendam
.
Magrib saja, Jakarta itu cantik
sekali dalam pandanganku. Matahari yang menukik entah di sisi mana, memencarkan
siluet ke gedung-gedung yang telah menyalakan lampu – atau memang lampunya
tidak pernah padam sama sekali. Percumbuan sinar matahari dengan cahaya lampu
memadukan irama yang kuat sekali dalam mendeskripsikan akhir hari itu. Jika panas
sinar matahari perlahan-lahan memudar, mana gurauan cahaya lampu adalah
keindahan yang setimpal dengan keinginan dan keinginan serta hawa nafsu yang
semestinya dielokkan saat malam tiba.
Jembatan di Neo Soho, misalnya, adalah
favoritku tiap singgah di Jakarta Central Park, Jakarta Barat. Tidak hari terik
maupun malam menggoda, jembatan ini menjadi ‘destinasi’ yang wajib bagi siapa
saja yang ingin berfoto. View Central
Park yang indah terburai begitu saja dari atas jembatan ini. Waktu yang paling
dinanti adalah senja hari, seolah harumnya jembatan tidak putus. Banyak sekali
orang-orang lewat, berhenti sejenak, mengambil foto sebelum berlalu. Demikian seterusnya
sampai aku juga melakukan hal yang sama, terlebih karena sesekali aku ke sini.
Jembatan di Neo Soho, Jakarta Central Park, Jakarta Barat
Berbeda dengan siang, di senja
hari suasananya begitu romantis. Lampu berwarna kuning telah menyala di tiap
tiang penyangga yang juga dicat dengan warna yang sama. Tiang yang melengkung
di sisi kanan – jika dari Hotel Pullman – memiliki atap dengan langit-langit
berwarna putih. Sisi kiri dibiarkan terbuka dengan lampu memancarkan cahaya
dengan konteks yang sulit dilupakan begitu saja. Hampir di tiap tiang penyangga
melengkung itu, berdiri  mereka dengan
penuh gaya dan senyum silih-berganti. Di sisi lain, datang pemuda berseragam
khas yang menjajakan ‘sesuatu’ dalam kertas. Mereka hanya akan ‘ramai’ di atas
jembatan yang tak kalah ramai itu kala senja saja.
Foto ‘wajib’ di jembatan Neo Soho, Jakarta Central Park
Malam yang menjemput mimpi begitu cepat, memancarkan cahaya lampu di mana-mana. Dari lantai 9, menghadap langsung ke jembatan yang sorenya ku injaki, tak kalah indahnya. Warna kekuningan terlihat sepanjang jembatan yang menjadi primadona. Lampu kendaraan yang masuk ke area Central Park atau melewatinya untuk ke tujuan lain, terlihat padat sekali. Seolah tak pernah berhenti, denyut nadi ini begitu menggoda siapa saja.
Kupikir – lagi – Jakarta di malam
hari adalah aroma yang sangat diidamkan oleh banyak orang. Begitu banyak godaan
yang datang. Begitu banyak pula ‘uang’ yang dihabiskan hanya untuk seteguk air mineral di kafe-kafe
ternama. Namun, begitulah aroma yang melekat, begitulah gaya hidup yang
selayaknya dirayakan, begitulah kebutuhan yang harus diselaraskan; meskipun
tidak semua ‘pemilik’ hati Jakarta itu mampu menyeimbangkannya.

Malam di Jakarta Central Park dari Pullman Hotel
Gedung-gedung tertinggi dengan
cita rasa kemewahan tiada henti, mungkin akan menjadi idaman mereka yang ada di
pinggir kali. Tidak hanya keberuntungan dalam ketampanan untuk sekadar duduk
manis saja di meja dengan sapu tangan dan alas piring tersusun rapi. Dentingan sendok
garpu dengan piring tidak selamanya dapat dinikmati oleh ‘pencinta’ Jakarta yang
mungkin di fajar sampai senja hanya melihat boat
yang kebetulan lewat di pinggir kali.
Kursi kayu dengan warna buram
namun kokoh untuk diduduki dengan busa lembut. Belum lagi jika duduk di sofa
yang berwarna kecokelatan, akan terasa lebih nyaman sekali. Pemandangan ini,
hanya sebagian kecil dari ruangan hotel berbintang. Namun, sekali pandang saja,
aroma kemewahan begitu kentara sekali.
Kemewahan di ruang makan Pullman Hotel
Di pinggir kali, jauh dari
bangunan yang dingin dan memiliki pengharum, jemuran bergantungan di sisi depan
maupun belakang bangunan kumuh yang tidak beraturan. Baru saja keluar dari
ruangan gemerlap lampu, seakan silau di luar yang panas terik itu benar-benar
tidak seimbang. Dan sekali lagi, ini Jakarta yang seirama dengan mau
kamu, mau dia, mau siapa saja. Bagaimana mau kamu, begitulah keadaannya. Di pinggir
kali yang berbau lumut, dengan sampah berserak di mana-mana, dengan suara suing
dari boat yang lewat, maupun dengan
debu beterbangan bebas, di situlah kehidupan Ibu Kota sebenarnya.
Meski kusebut mereka mungkin ‘merana’
namun padat penduduk dengan kesibukan masing-masing seolah tak mau ambil pusing
dengan indahnya Jakarta. Indah Jakarta di sisi berbeda,  belum tentu indah di definisi mereka yang
entah kusebut siapa namanya. Musik konser boleh berdenyut sampai ke nadi dari
gedung bertingkat di depan mereka. Peragaan busana boleh saja melintas dengan
mudah di atas catwalk tak jauh dari
tempat mereka tinggal. Selebritas boleh melintas di depan mereka dengan kaca
mobil tertutup rapat. Tetapi, mereka telah seirama dan senyawa dengan kehidupan
yang demikian adanya.
Pemandangan pinggir kali Jakarta
Imajinasi pinggir kali, seperti
imajinasiku kepada bintang jatuh yang memudar sinarnya sembari terus mengerucut
ekornya. Di sudut hati kecil mereka di pinggir kali, tentu membekas
keinginan-keinginan untuk sekali bahkan lebih melintasi jembatan di Neo Soho
lalu masuk mal meskipun tidak membeli apapun. Barangkali, anak-anak mereka
telah cukup sering memotret diri di sudut Central Park yang mewah dengan sebuah
Ferrari terparkir indah. Mungkin juga, meskipun rumah di pinggir kali mereka
adalah sosialita yang paham betul di mal mana tempat paling asyik untuk
bercengkrama.
Sebuah Ferrari parkir di Jakarta Central Park
Semua bisa jadi mungkin. Semua bisa
jadi tidak mungkin. Karena ini Jakarta, diajarkan begitu saja keinginan demi
keinginan walaupun tidak mampu lagi menopang gaya hidup. Jakarta suatu ketika,
selalu begitu saja; elegan, mewah,
melankolis, tak tidur, penuh hawa nafsu, orang kaya yang bebas melakukan
apapun, orang miskin yang menonton penuh harap!
Jakarta suatu ketika, dalam
kubangan kali, mau tidak mau harus melebur jika ingin sukses atau digusur
waktu. Jakarta suatu ketika, penuh godaan, penuh kreativitas yang melebur dalam
waktu. Siap untuk itu, maka tak ada kata pergi meninggalkan Jakarta. Ragu-ragu
untuk itu, biar sepertiku saja yang menjadi tamu sesaat dan menikmati aromanya
yang kentara!
Categories
Uncategorized

Suara Cantik di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta

Bagi seorang traveler, Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, atau bandara
lain, adalah termpat istirahat dari segala lelah. Langkah yang diayun langsung
lega seketika dalam ruangan dingin ini dengan berbagai keindahan yang ada. Di
Terminal 3 Ultimate, Pesona Indonesia, meliuk-liuk di segala sisi. Terminal
maskapai ekslusif ini memang dibangun dengan cita rasa Indonesia sehingga
pelancong bisa menikmati pemandangan meski dari lukisan atau gambar ukuran
besar.

Penumpang ini terkesima akan dua hal, pesawat yang parkir bebas dan suara cantik yang terus didengar.
Meski sudah beberapa kali saya
singgah di Terminal 3 – Kedatangan dan Keberangkatan – saya tetap saja terpesona
dalam diam. Traveler yang berjalan
sendirian, bisa membunuh rindu bertalu-talu kepada rumah yang masih jauh di
mata. Rindu saya kepada rumah dalam 3 jam perjalanan udara seakan benar
terlewati saat melihat keindahan demi keindahan di terminal ini. Di setiap
lekuk tubuhnya adalah keseksian yang tiada tara. Di setiap sudut bersemi troli
dan orang mendorong koper yang terasa berat di atas permadani bercorak indah. Namun,
semua berpacu dalam waktu, semua mengejar yang tidak mau ditinggal, semua
seirama dalam diam meski berjalan beriringan dengan kerabat.
Gate berapa?”
“Di mana Gate yang tertulis di boarding
pass
?”
“Masih jauhkah untuk sampai ke Gate 14?”
Tanya itu akan muncul tiba-tiba,
meski saya telah berpengalaman mendorong langkah ke Gate 14, untuk Pintu Keberangkatan pulang ke Aceh dan beberapa kota
lain misalnya Bali. Turun eskalator setelah melewati X-Ray masih harus memutar
beberapa langkah ke depan dengan terus memperhatikan Gate berapa yang baru saja dilewati. Detik menghitung maju di dalam
hati untuk segera mencapai ke Gate 14
karena di beberapa Gate yang dilewati
petugas bandara tampak sedang menyobek boarding
pass
passenger yang akan segera
berlabuh dalam mimpi di dalam pesawat.
Petugas memeriksa penumpang dengan jeli, di sini tali pinggang, alat elektronik maupun jam harus melewati X-Ray maka jangan tidak melakukannya karena peringatan akan berbunyi keras.
Diam saya adalah waktu untuk
berserah kepada pendar-pendar keindahan di Terminal 3 ini. Tak ingin saya
bandingkan, namun terminal ini benar-benar elegan, melankolis di sisi lain,
menjulang tinggi dengan atap tak bertepi, gagah di kaca jendela yang
menampakkan deretan pesawat terparkir indah, bunga-bunga yang seakan harumnya
menusuk sampai ke sanubari dan kesibukan bandara yang tidak bisa dijabarkan dengan
begini atau begitu. Terminal 3 di Cengkareng ini termasuk salah satu terminal
yang benar-benar sibuk.
Tempat pengambilan bagasi yang rapi untuk penumpang baru saja tiba.
Diam saja sebenarnya tidak cukup.
Kepekaan akan waktu dan jam yang tertera di boarding
pass
haruslah jeli. Langkah terengah saya untuk mencapai Gate 14 begitu memekikkan keringat.
Waktu boarding tertulis 11.30 – lebih
kurang demikian – yang artinya pesawat yang saya tumpangi akan segera berlabuh.
Benar kemudian tepat pada jam yang telah ditentukan pintu pesawat dibuka dan
kami segera berbaris di depan pintu masuk, di lorong yang sempit, yang lantas
membawa kami ke bawah untuk diberangkatkan dengan bis menuju pintu pesawat yang
sebenarnya.
Namun, sepanjang waktu yang
menggebu tersebut, sepanjang diam sebagai seorang traveler di bandara, saya tetap aktif di media sosial. Sekadar
berbasa-basi akan pulang ke Aceh. Kirim foto untuk menampakkan keindahan
bandara ini. Dan berinteraksi dengan teman-teman di grup WhatsApp dengan segala
keculuan yang menggoda. Internet tentu menjadi bagian terpenting untuk traveler. Jangkauan cerita ini dan itu
adalah bagian terpenting dalam setiap perjalanan. Share ke media sosial atau berkabar ke kerabat melalui layanan chatting menjadi keasyikan tersendiri.
Belum lagi saat membunuh jenuh sebelum pintu pesawat dibuka. Kebiasaan saya adalah
membuka aplikasi berita yang telah tersimpan di smartphone untuk membaca update
terbaru. Terlintas tweet berjajar
dari akun Twitter yang saya follow. Wall Facebook
yang penuh amarah dan pongah akan hidup tak seimbang. Wall Instagram dengan foto-foto terbaik dari akun yang saya ikuti. Dan
sekelumit kisah lain dari smartphone
dengan jari saya bolak-balik membuka beberapa aplikasi. Maka, saya butuh jaringan XL untuk memanjakan mata dan menyegarkan
pikiran saat di bandara.
 
Petugas bandara mondar-mandir dengan seragam khas, tanyakan ke mereka jika ada keraguan jangan ke sesama penumpang.

Antrean panjang di konter check-in, ada bagasi atau tanpa bagasi harus jeli ya jangan sampai salah antre.
Siapapun itu, selama di bandara
jangan lupa memasang mata awas dan telinga setajam silet ke pintu keberangkatan
atau suara cantik dari petugas bandara. Suara cantik ini sangat saya nantikan sejak
awal menginjakkan kaki di pintu masuk bandara. Bunyi bel sebelumnya menjadi
pembuka yang indah sebelum suara cantik itu memulai panggilan mesra. Saya menanti
dengan sabar. Saya akan terpukau dengan suaranya. Saya akan terlena sejenak. Saya
akan terkesima. Saya penasaran. Saya ingin tahu siapa dibalik suara cantik
tersebut!
Ting tong ting tiong – mungkin demikian intro dari pengeras suara
yang akan diperdengarkan kepada seluruh penumpang di terminal luas tersebut. Suara
cantik pengeras suara itu menjadi pusat perhatian bagi seluruh penumpang. Karena
apa? Tentu untuk jaga-jaga pesawat dengan nomor penerbangan yang tertera di boarding pass akan segera berangkat,
pintu masuk pesawat telah dibuka, atau pemberitahuan passenger yang sudah check-in
namun belum masuk ke dalam pesawat. Tentu juga, takut nama kita dipanggil
untuk segera masuk pintu pesawat. Bagian terakhir in rasanya malu sekali,
makanya saya selalu bergegas untuk duduk manis di ruang tunggu agar nama indah
tidak dipanggil oleh suara cantik itu. Saya pun bebas mau update ini itu ke media sosial. Saya juga lebih leluasa membaca
banyak informasi tanpa harap-harap cemas akan ditinggal pesawat.
Papan pengumuman yang besar wajib ditengok untuk cek nomor penerbangan berada pada garis apa, siap berangkat atau boarding.
Suara cantik di Terminal 3 Bandara
Internasional Soekarno-Hatta terus terngiang tak jeda lama. Apakah itu
panggilan untuk seluruh penumpang untuk masuk ke pesawat. Apakah itu panggilan
kepada penumpang yang mungkin saja akan tertinggal pesawat. Bisa juga
pemberitahuan yang lain. Namun yang pasti, suara cantik itu berulangkali
menyerukan keindahan dan keseksiannya.
Kurang lebih, suara cantik itu
menyeru, “Perhatian, panggilan terakhir
kepada penumpang pesawat GA dengan nomor penerbangan GA000 tujuan Palembang,
dipersilakan segera menuju pesawat udara melalui pintu 13!”
lalu diartikan
kembali dalam bahasa Inggris.
Penumpang mendorong koper dengan aman dan dikelilingi oleh toko beragam barang jajanan.
Lagi dan lagi, suara cantik itu
bersenyawa dalam diri penumpang yang akan segera berangkat, akan berangkat
dalam waktu tak lama lagi dan mungkin saja sedang mengantre untuk dapat masuk
ke dalam pesawat. Suara cantik ini akan terus didengarkan oleh penumpang di
mana pun berada di dalam pesawat. Rasanya, kerinduan terhadap suara cantik itu
begitu membuncah. Seperti, ingin berkenalan dengannya. Rasa ingin tahu rupanya
yang cantik seperti suaranya. Dan pancaran lain yang sulit dijabarkan. Singgah
saja ke Terminal 3 di Tangerang, Banten. Kamu akan terpesona dengan banyak hal,
tidak hanya dengan suara cantik yang mungkin akan memanggil namamu karena sibuk
berfoto di segala sudut dan lupa menuju Gate
yang tertera di boarding pass.
Begitu mudah melihat pilot atau pramugari di terminal 3 ini.
Ah, tak sabar saya ingin segera
mendengarkan panggilan mesra dari suara cantik ini. Entah siapa dia, entah
bagaimana wujudnya. Terima kasih sudah kepadanya karena tak jemu mengingatkan
penumpang yang segera masuk ke pesawat udara. Bukankah suara cantik ini seperti
alarm yang tak mau berhenti meski
tidur telah terbangun? 
Categories
Uncategorized

Dua Malam Bercinta dengan Kamar Mandi Transparan Hotel Pullman, Jakarta Central Park

Lorong-lorong dengan aneka
lukisan seakan mencekam di lantai sembilan, Hotel Pullman, Jakarta Central
Park. Aku mendorong koper berwarna cokelat menuju kamar dengan nomor cantik
yang tertulis di card yang baru
kuterima dari resepsionis. Bunyi lift terbuka masih terngiang di telinga, meski
waktu berburu melihat arah kamar yang kutuju. Sunyi bukan lagi sebuah tawa yang
bisa kuajak bicara. Roda koper tersendat-sendat di atas permadani lorong dengan
lampu temaram itu. Berderit bunyi gesekan lain yang kutaksir hanya angan-angan
di ambang batas kekhawatiran yang kurasa.

Langkahku terhenti di depan pintu
kamar dengan nomor – sekian – yang telah kuhapal betul. Nomor kamar ini juga
nanti, besok pagi, akan kusebutkan di depan pramusaji di lantai L saat sarapan
dengan menu terlezat mereka. Kutempelkan card
yang masih tersarung dalam sangkarnya berupa kertas putih dengan tulisan ID dan
password Wi-Fi di bagian depan, ke
gagang pintu dan bunyi klak dengan
lampu warna kuning menyala. Kudorong pintu yang terasa berat itu. Kutarik koper
mengikuti langkah ke dalam. Dan aku terbinar dalam gelap saat lampu belum
menyala dan gorden yang menghadap ke Central Park masih tertutup.
Kamar Hotel Pullman, Jakarta Central Park.

Aku memutar pandangan ke sudut
tempat tidur yang lengang. Lampu hias dengan warna keemasan terbungkus dalam
bingkai indah berputar bagai tangga rumah tingkat dua. Bantal merah sebagai
pemanis berbaring sendirian, oh, berdua di sisi masing-masing di atas tempat
tidur double bed itu. Aku menyibak
gorden sekali, tertahan begitu saja, kusibak kembali dengan keras sampai kedua
lapisnya berpencar ke kiri dan kanan. Kuraih pandangan ke segala sisi dan
terhenyak dengan alam Jakarta yang berkabut dari kamar ini.
Jakarta berkabut dari kamar Hotel Pullman.

Central Park yang padat dari kamar Hotel Pullman. 
Pullman Hotels and Resorts dengan
warna kaca biru adalah tempat bermanis manja punggawa di sisi lain Jakarta. Hotel
ini termasuk salah satu penginapan yang mewah dan elegan bahkan melankolis
karena berada di tengah-tengah pusat keramaian. Di mana Neo Soho, salah satu
peradaban manusia masa kini yang seakan tak ada habisnya sepanjang waktu. Di
mana-mana adalah mereka yang menenteng tas branded,
sepatu yang seolah tak menginjak tanah, baju yang berwarna-warni seakan tak
boleh masuk mesin cuci. Serta, jembatan yang menjadi bagian dari arena foto
bagi kami dan bagi semua yang melewatinya di bawah pandangan mataku dari lantai
sembilan itu.
Lampu di samping tempat tidur yang indah.

Double bed yang nyaman untuk tidur berdua.

Lukisan di samping televisi sebagai pemanis ruangan.
Aku berbalik badan, mencari
sesuatu yang memang perlu kucari saat itu juga. Kamar mandi. Ya, di mana kamar
mandi? Aku melingkari – tepatnya mondar-mandir di sisi tempat tidur, ke westafel, ke ruangan kecil di mana WC
berada, namun aku tidak menemukan sesuatu yang biasa dipakai orang untuk mandi.
Bukan aku ingin mandi, bukan badanku gerah tetapi aku harus segera tahu di mana
kamar mandi itu, tempat di mana aku harus membasuh seluruh tubuh menjelang
tidur malam nanti.
Tanganku tergerak untuk menyentuh
gagang pintu kaca di depan cermin, di atas westafel.
Itu kamar mandi. Aku yakin itu kamar mandi. Dan itu benar saat aku menemukan shower di dalam ruangan persegi yang
transparan. Oh, tidak salah. Ini benar, kamar mandi ini adalah transparan meski
tidak seluruhnya tetapi bagian bawah begitu jelas dapat melihat orang lain
mondar-mandir di dalam kamar. Aku harus tegar, aku akan ‘bercinta’ dan aku akan
‘bercumbu’ dengan kamar mandi ini selama dua malam dari hari itu. Tak perlu
kubayang bagaimana rupanya nanti, tak pula harus kuubah posisi saat mandi tetapi
aku benar-benar harus bercinta dengannya sepanjang waktu saat perkara mandi
tiba.

Kamar mandi Hotel Pullman, Jakarta Central Park.

Sejarah akan mencatat cekikian
air yang turun dari shower yang
membasahi tubuhku. Rongga-rongga kamar mandi itu seakan memperlihatkan jejak
sabun dan sampo yang seolah membekas tanpa sempat kubilas. Kamar mandi di
tengah ruangan itu tak ubahnya piramida di tengah padang pasir Kairo. Ia
menjadi pusat perhatian dan segala rahasia dari siapa saja yang mandi di
dalamnya. Dinding-dinding kaca transparan seolah tidak malu kepada mereka yang
tiba-tiba masuk ke dalamnya. Namun, irama lain muncul saat upacara mandi
terjadi.
“Jangan ngintip ya!” Mas Bocah yang sekamar denganku berujar dengan galak.
“Awas kalau kamu ngintip!” ujarku sambil menarik handuk
dan bergegas menghidupkan shower.
Cerita yang sebenarnya basi, kami
sama-sama tahu tidak perlu mengintip satu sama lain. Masuk ke dalam kamar mandi
transparan itu telah menjadi suatu keajaiban untuk bergegas membersihkan diri,
berpacu dalam waktu untuk segera memulai aktivitas yang seharusnya.
Lukisan besar di samping televisi
menjadi teman bercakap-cakap saat Mas Bocah mandi. Siaran televisi tidak
semenarik yang kuinginkan karena channel Korea
Selatan tidak begitu banyak. Ingin ku berjingkrat ke sebelah, ke dekat pintu
masuk, mengambil gelas, memanaskan air dan menuangkan teh beserta cream ke dalamnya, tetapi tidak bisa
kulakukan karena Mas Bocah pasti akan meneriakiku. Aku menelan ludah saat haus
tiba karena botol air mineral belum sempat kuambil di depan cermin samping westafel.
Kamar Hotel Pullman yang buram di
malam hari. Segala sisi yang seolah berbicara dan mandi menjadi tradisi
menyelidik bagi kami. Rasa lapar tak bisa ditepikan seusai acara dan langkah
tak tergerak untuk turun ke bawah, ke lantai L untuk mencicipi aneka makanan
lezat.
Central Park di malam hari.
Karena, pada malam hari hidangan ‘gratis’
sudah tidak ada lagi dan tersisa hanya menu-menu yang harus ditukar dengan
rupiah. Berlalu hari seakan menjadi pelampiasan tersendiri saat kembali mandi
di kamar mandi transparan ini. Tetapi lagu tetap harus didendangkan dan keran
air terus mengeluarkan air yang dingin jika ditarik ke warna biru dan panas
jika ke warna merah.
Kursi berderit saat kutinggalkan
di pagi itu, kutengok kamar mandi transparan sekali lagi, mungkin akan bertemu
dengannya di waktu berbunga rindu lainnya. Kususuri seluruh ruangan sebelum
meninggalkannya, mungkin rindu akan berbuah simalakama akan rasa yang tak bisa
kujabarkan dalam raga. Kutinggal sepi yang bertalu-talu menuju pintu kamar. Kutarik
berat dan kukeluarkan kunci dari tempat sebenarnya ia berada untuk menghidupkan
lampu – listrik – di seluruh kamar.
Dan, lorong-lorong kembali sunyi.
Padahal, kutaksir hotel ini dipenuhi oleh banyak orang tetapi tak pernah
bersenggolan senyum mereka dengan senyumku. Lorong itu bersenyawa dengan udara
dingin yang kurasa dari pendingin ruangan yang entah berada di sisi mana. Kutarik
koper dengan berat hati, masih enggan kutinggal kenangan di dalam kamar mandi
transparan dan segenap kegelian yang ada di dalamnya. Tertahan langkahku menuju
lift ke lantai G, untuk menyerahkan kembali kunci kepada resepsionis sambil
berujar, “Terima kasih,” kepadanya.
Lorong menuju kamar yang sepi dan dipenuhi lukisan.
Begitu pintu lift tertutup, aku
merasa bahwa daya tariknya tertahan tetapi pembenaran akan bunyi pintu terbuka
terjadi tiba-tiba. Aku keluar, menghidup panas di Central Park. Mungkin, besok
kembali lagi ke hotel ini, bercinta lagi dengan kamar mandi transparan Hotel
Pullman!
Categories
Uncategorized

Sepucuk Rayuan dalam Sepiring Kerak Telur



Masih
di Kota Tua yang panas, saya dan Citra duduk manis setelah menghabiskan
sepiring Kerak Telur dan Toge Goreng. Sebenarnya Kerak Telur itu kami makan
sepiring berdua karena saya tidak habis menyantapnya. Saya ngos-ngosan menghabiskan
Kerak Telur yang banyak untuk ukuran saya yang tidak banyak malah. #alah.

Kerak Telur di Kota Tua Saksi Bisu “Perjodohan” Banten dengan Aceh – Bai Ruindra
Toge Goreng yang dipesan Citra – Bai Ruindra

Penjual Kerak Telur di Kota Tua – Bai Ruindra

Kerak
Telur dan Toge Goreng telah habis kami santap, kami cerita ini dan itu serta
menyusun rencana ke tempat berikutnya. Sambil menunggu waktu kami diskusi soal
kisah cinta yang gagal Sabari di buku Ayah dari Andrea Hirata, lalu buku-buku
Trinity yang menawan karena kisah keliling dunia, kisah melankolis Ahmad Fuadi
dalam Negeri 5 Menara, diksi dan kekayaan intelektual Dee dalam Gelombang, sampai
tokoh-tokoh bersemak dalam buku Ayat-Ayat Cinta Habiburrahman El-Shirazy.
Belum
usai kami tertawa haha hihi, seorang ibu meminta tempat duduk di depan
kami. Beliau telah celingak-celinguk ke tempat lain namun telah penuh oleh
pengunjung lain. 



Kami menyilakan perempuan yang berusia sekitar 50-an itu duduk
bersama kami. Tidak tahunya, tak berselang lima menit seorang gadis ikut nimbrung
bersama kami, gadis itu tak lain rekan dari perempuan yang mengenalkan namanya Fatimah. Gadis itu memanggil Ibu Fatimah dengan sebutan ummi.
Ummi Fatimah memulai
perbincangan yang membuat waktu kami tertambat di sana lebih kurang setengah
jam lebih.
“Abang
ini dari Aceh tho?” gaya khas Ummi Fatimah yang masih saya ingat
sampai sekarang. Kata Mas berubah menjadi Abang begitu mengetahui kami dari
Aceh. Ummi Fatimah bercerita pernah ke Aceh dan suaminya baru saja pulang
dari Aceh dalam rangka Pekan Olahraga Mahasiswa. 



Ummi Fatimah tak lain
seorang guru yang sangat bersahaja, guru agama yang anggun, tutur kata yang
lembut, sifat keibuan yang terlihat kentara sekali dengan pembawaannya, dan
terlihat cukup senang berbicara dengan kami dua lajang dari Aceh!
Ummi
senang sekali lho dengan anak laki-laki yang paham agama!”
Mungkin,
mendengar Aceh yang telah menerapkan hukum Islam, Ummi Fatimah lantas
berkesimpulan bahwa kami berdua benar-benar sangat paham sekali Islam. Padahal jika
dibandingkan dengan orang-orang Aceh lainnya, saya merasa tidak ada apa-apanya. 



Barangkali karena di Aceh, Islam telah menjadi makanan sehari-hari, ke
mana-mana adalah orang Islam, azan berkumandang lima kali sehari semalam, bulan
puasa begitu istimewa, hari raya meriah sekali, dan berbagai alasan lain. Mungkin
juga di daerah Ummi Fatimah yang terdapat banyak perbedaan, anak muda
yang berbicara tentang Islam jadi begitu menarik sekali.
“Sudah
menikah?”
Serentak
saya dan Citra menjawab belum. Dalam hati saya telah dipenuhi bunga-bunga
asmara segera ingin berlalu dari situ, karena soalan pernikahan itu sungguh
rumit di Aceh ini. Saya menjabarkan beberapa alasan kepada Ummi Fatimah mengenai
adat pernikahan di Aceh yang membuat beliau ternga-nga.
Aih!
Inilah rayuan itu. Ummi Fatimah memulai sepucuk rayuannya dengan kalimat
lanjutan. “Mau ndak pulang ke Banten?”
Saya
dan Citra tersenyum simpul saja. Ibarat punguk merindukan bulan, pembicaraan
ini menjadi simalakama. Bukan urusan menikahnya yang mudah namun jarak yang
menjadi penghalang. #alasan.
Ummi Fatimah mengarahkan
pandangan kepada gadis di sampingnya – saya lupa namanya siapa. #eh.
“Kamu
mau ndak pulang ke Aceh?” gadis itu tertawa. Ujarnya kemudian, “Ummi ini
ada-ada sajalah…,”
Mesiu
senapan telah dilontarkan sekuat tenaga. Kesempatan telah dibuka
selebar-lebarnya. Memang tidak terlihat si gadis menolak maupun mengiyakan,
namun kisah lanjutan dari sepenggal ucapan Ummi Fatimah menggetarkan hati
siapa saja yang mudah dibuai. “Dari pada abang ini mencari wanita Aceh yang
mahal di mahar lebih baik kamu mau saja ndak sama pria Aceh yang kuat
agamanya!”
Kepala
saya tiba-tiba mau pusing. Gara-gara sepiring Kerak Telur, pucuk-pucuk asmara
barangkali akan tercipta. Ummi Fatimah tak henti memuji kami berdua di
depannya, seakan-akan beliau telah mengenal kami cukup lama. 


Baca juga Gadis Aceh yang Layak Dipinang



Di akhir
pembicaraan, beliau meminta nomor handphone untuk melanjutkan
silaturahmi. Rayuan Ummi Fatimah memang berlanjut di beberapa pesan
singkat yang beliau kirimkan kepada kami. Saya dan Citra cekikikan di dalam bus
TransJakarta. Saya tidak melupakan niat baik Ummi Fatimah kepada kedua lajang
yang entah kapan kawin ini. 



Rayuan Ummi Fatimah untuk “meminang” salah
seorang gadis di daerahnya menjadi tanda tanya terbesar dalam hidup saya sampai
kini. Apakah ada gadis di luar Aceh yang mau menikah dengan saya? Pertanyaan
yang kepo terhadap diri sendiri. Apabila saya utarakan pada Citra waktu
itu, traveler ini pasti akan terpingkal-pingkal.

Sepucuk
rayuan yang tak disengaja di Kota Tua. Tentang jodoh. Tentang pertemanan. Tentang
penilaian. Tentang daerah masing-masing. Juga tentang silaturahmi sesama
muslim.
Categories
Uncategorized

Patung Porno di Kota Tua Jakarta

Kota Tua Jakarta – Bai Ruindra
“Ke
mana kita?” tanya Citra begitu
kami bertemu. Pertengahan November 2015 saya mendapat kesempatan untuk
berkunjung ke Ibu Kota. Memang, selama ini kerap kali saya berujar, “Kapan
ya bisa ke Jakarta?

Perkataan adalah doa.
Saya mempercayainya begitu kesempatan ke Jakarta terkabul. Sebenarnya, ke
Jakarta kali bukan semata jalan-jalan saja dengan biaya sendiri. Berkat ngeblog
mengenai teknologi, sering mereview produk dari produsen asal Taiwan (laptop, tablet
dan smartphone), saya diundang untuk menghadiri acara terbesar dan
termegah yang mereka adakan di tahun 2015.
Sering
pula saya berkata, “Ke Jakarta wajib ke Kota Tua!”
Beberapa
kali saya membaca ulasan mengenai Kota Tua di Jakarta, sampai saya pun menulis
review tentangnya di blog beberapa waktu lalu. Kota Tua adalah tempat
berdirinya bangunan bersejarah republik ini selama perang melawan kolonial
Belanda. Banyak saksi sejarah yang membuat saya iri bahwa perjuangan masa dulu
tak semudah injakan kaki saya di tempat ini.
Saya
dan Citra berdiri sempoyongan di dalam bus TransJakarta. Manis-manis asam gula
Jawa berada di dalam kendaraan sejuta umat ini. Saya yang awam sekali dengan
Ibu Kota merapatkan diri dalam kungkungan anak muda yang sedang pulang dari
lari pagi di hari Minggu itu. Citra tak henti-hentinya mengingatkan saya, “Dompet,
handphone, ransel taruh di depan!
Anjuran
Citra ternyata juga terdengar di dalam bus TransJakarta. Kondektur (benar sebut
ini?) berulang kali pula mengingatkan supaya menjaga barang bawaan dengan baik.
Dari suara perempuan di pengeras suara pun tak henti-henti mengingatkan untuk
memperhatikan kembali barang bawaan jika ingin turun di salah satu halte.

Tibalah
kami di Kota Tua. Berlagak kampungan saya berujar, “Orang Jakarta itu nggak ada
liburnya ya, Cit?”
Citra
tak menjawab kala itu. Langkah kakinya besar-besar, mungkin sudah terbiasa
dengan suasana Jakarta. Saya sedikit pelan dan seringkali tertinggal di
belakang karena saya pikir Jakarta ini ya sama dengan di Aceh, nggak mesti
ngejar-ngejar kalilah



Padahal saya salah, langkah Citra yang lebih
cepat karena untuk menghemat waktu kami. Setelah Kota Tua, kami akan ke
beberapa tempat lain, termasuk nonton bioskop – kami mencari bioskop yang
menawarkan harga paling murah.
Keramaian di Kota Tua – Bai Ruindra
Citra yang hampir melupakan saya – Bai Ruindra
Saya
benar-benar heran dengan kondisi Kota Tua. Bukan soal bangunannya. Tetapi lautan
manusia yang padat sekali. Bagi saya, pengunjung di Kota Tua cukup ramai di
hari Minggu itu. Beragam usia menikmati suguhan manis dari sejarah Indonesia. 



Beberapa
bangunan bisa dimasuki – dijadikan museum – dengan harga tiket lumayan murah
sekitar Rp. 5.000,00 perorang untuk umum dan Rp.2.000,00 perorang untuk siswa.
Halaman
yang luas membuat suasana di Kota Tua panas sekali dengan tanpa pohon yang
rindang. Panas matahari tidak membuat pengunjung berteduh ke dalam museum namun
berlomba-lomba mengabadikan kenangan di sekitar bangunan. 



Latar belakang
bangunan tua adalah salah satu kesan menarik bahwa zaman Belanda menjadi kekal
di dalam ingatan masyarakat Indonesia. Kolonial Belanda tak pernah bisa dilupa
sampai ke anak cucu karena dari merekalah Batavia merajang duka sampai ke
seluruh negeri. Memang, tidak ada lagi keperihan di dalam museum di Kota Tua
ini. 



Saksi sejarah lebih kepada penampilan para elit Belanda kala itu dan pernak-pernik
rumah tangga yang abadi. Kayu jati itu terkesan sangat “mahal” sebagai saksi
sejarah dan pemanis museum. Sayangnya, saya tidak bisa duduk manis di salah
satu kursi tersebut karena terdapat larangan untuk menyentuhnya.
Satu
keunikan saat memasukin salah satu museum adalah dengan menanggalkan sepatu
atau sandal. Penjaga di dalam museum kemudian memberikan kantung kain berisi
sandal yang bersih. 



Kami semua mengganti sepatu dengan sandal tersebut dan
menentengnya ke mana-mana selama berada di dalam museum. Saya dan Citra memilih
mengikat kantung kain itu di antara tali ransel. Lebih aman  dan praktis karena tangan kami sibuk dengan smartphone



Tentu saja kegiatan mengabadikan kenangan melalui kamera smartphone adalah
pilihan wajib. Saya tak mau sampai di Aceh hanya berbagi cerita lewat suara,
beda orang beda pula cerita yang saya suguhkan. Dengan sebuah foto, siapapun di
kampung nanti bebas mendeskripsikan apa yang terlihat di dalam hasil kamera
tersebut.
Perang melawan Belanda – Bai Ruindra
Keramaian di dalam museum – Bai Ruindra
Salah satu peralatan dapur – Bai Ruindra
Dilarang duduk di kursi ini – Bai Ruindra
Keluar
dari museum itu, saya berselfie ria. Eh, tahu-tahunya mata saya hampir
meloncat keluar begitu berhadapan dengan patung telanjang.
“Hei,
patung itu nggak pakai baju!” ujar saya histeris. Saya yang porno atau
patung itu yang memang sangat porno. #ups
Patung
itu adalah patung “porno” pertama kali saya lihat. Lebih tepatnya saya jarang
sekali melihat patung di Aceh. Mumpung masih di Kota Tua dan belum ada yang
tertarik untuk memotret patung tak tahu malu itu, saya membidikkan kamera ke
arahnya. Sekonyong-konyong patung itu melompat ke arah saya dan memeluk saya
dengan erat. 



Tak ayal saya mengelak dan patung itu telungkup ke lantai, patah
lengan dan siku. Tahu-tahunya Citra membelai patung itu saking sayangnya dia
patah arah. Tak tahu malu saya mencubit sedikit bagian dari tubuh patung tak
berbaju itu. Begitu kembali ke alam nyata, si patung porno masih berdiri dengan
ganjennya menunjuk ke langit. 



Entah apa tujuan dari patung porno itu
menunjuk langit dan memegang semacam tongkat sihir. Patung porno ini pastilah
menyimpan rahasia yang enggan dia bagi kepada kami. 



Tapi benar, apabila bola
sebagai alas kakinya berputar, patung porno itu pastilah memekik begitu saya
memotretnya. Saya pikir, patung itu juga memiliki perasaan halus seperti kapas.
Mana tahu dia malu terlalu sering dilihat orang banyak. Hahaha!
Awas, ada patung porno! –  Bai Ruindra

Garing
banget ya cerita ini. Tapi ya, nggak mungkin patung itu berdiri
sepornonya tanpa ada sebab akibat. Saya dan Citra seakan lupa asal-muasal
patung ini. Biarlah jadi kenangan dan rahasia. Saatnya kami menikmati kerak
telur yang dijual tak jauh dari patung porno ini berdiri tegak!