kayak di televisi. Manis dalam
kemasan. Licin bermarmer. Harum bagai kasturi. Kupikir sekali lagi, Jakarta itu
tak ada susahnya sama sekali. Persepsi yang membawa pikiran itu adalah
orang-orang ‘hebat’ tinggal di Jakarta. Maupun, orang-orang ingin menjadi hebat
akan ‘hijrah’ ke Jakarta. Ibu Kota
adalah segala rupa. Beragam keinginan. Jutaan godaan. Manis sekali diteguk;
berulangkali akan ingin mencicipinya. Busuk sekali dicium; mau tidak mau akan
dibuang meski pembelaan telah dilakukan.
membicarakan Jakarta. Semraut yang nyata. Gemerlap yang memengkakkan telinga. Rupa
penuh penipuan dan persaingan. Dan waktu pun seolah tidak mau bersahabat dengan
baik pada ‘kita’ yang mudah terlena. Tetapi, aku mungkin terlalu ‘manja’
melukiskan Jakarta – karena – berkali-kali disebabkan ragaku yang jauh
dengannya; bisa juga karena aku seekor
gagak kampung yang melihat mewahnya kehidupan di sana sebagai mutiara terpendam.
sekali dalam pandanganku. Matahari yang menukik entah di sisi mana, memencarkan
siluet ke gedung-gedung yang telah menyalakan lampu – atau memang lampunya
tidak pernah padam sama sekali. Percumbuan sinar matahari dengan cahaya lampu
memadukan irama yang kuat sekali dalam mendeskripsikan akhir hari itu. Jika panas
sinar matahari perlahan-lahan memudar, mana gurauan cahaya lampu adalah
keindahan yang setimpal dengan keinginan dan keinginan serta hawa nafsu yang
semestinya dielokkan saat malam tiba.
favoritku tiap singgah di Jakarta Central Park, Jakarta Barat. Tidak hari terik
maupun malam menggoda, jembatan ini menjadi ‘destinasi’ yang wajib bagi siapa
saja yang ingin berfoto. View Central
Park yang indah terburai begitu saja dari atas jembatan ini. Waktu yang paling
dinanti adalah senja hari, seolah harumnya jembatan tidak putus. Banyak sekali
orang-orang lewat, berhenti sejenak, mengambil foto sebelum berlalu. Demikian seterusnya
sampai aku juga melakukan hal yang sama, terlebih karena sesekali aku ke sini.
![]() |
Jembatan di Neo Soho, Jakarta Central Park, Jakarta Barat |
hari suasananya begitu romantis. Lampu berwarna kuning telah menyala di tiap
tiang penyangga yang juga dicat dengan warna yang sama. Tiang yang melengkung
di sisi kanan – jika dari Hotel Pullman – memiliki atap dengan langit-langit
berwarna putih. Sisi kiri dibiarkan terbuka dengan lampu memancarkan cahaya
dengan konteks yang sulit dilupakan begitu saja. Hampir di tiap tiang penyangga
melengkung itu, berdiri mereka dengan
penuh gaya dan senyum silih-berganti. Di sisi lain, datang pemuda berseragam
khas yang menjajakan ‘sesuatu’ dalam kertas. Mereka hanya akan ‘ramai’ di atas
jembatan yang tak kalah ramai itu kala senja saja.
![]() |
Foto ‘wajib’ di jembatan Neo Soho, Jakarta Central Park |
hari adalah aroma yang sangat diidamkan oleh banyak orang. Begitu banyak godaan
yang datang. Begitu banyak pula ‘uang’ yang dihabiskan hanya untuk seteguk air mineral di kafe-kafe
ternama. Namun, begitulah aroma yang melekat, begitulah gaya hidup yang
selayaknya dirayakan, begitulah kebutuhan yang harus diselaraskan; meskipun
tidak semua ‘pemilik’ hati Jakarta itu mampu menyeimbangkannya.
![]() |
Malam di Jakarta Central Park dari Pullman Hotel |
cita rasa kemewahan tiada henti, mungkin akan menjadi idaman mereka yang ada di
pinggir kali. Tidak hanya keberuntungan dalam ketampanan untuk sekadar duduk
manis saja di meja dengan sapu tangan dan alas piring tersusun rapi. Dentingan sendok
garpu dengan piring tidak selamanya dapat dinikmati oleh ‘pencinta’ Jakarta yang
mungkin di fajar sampai senja hanya melihat boat
yang kebetulan lewat di pinggir kali.
namun kokoh untuk diduduki dengan busa lembut. Belum lagi jika duduk di sofa
yang berwarna kecokelatan, akan terasa lebih nyaman sekali. Pemandangan ini,
hanya sebagian kecil dari ruangan hotel berbintang. Namun, sekali pandang saja,
aroma kemewahan begitu kentara sekali.
![]() |
Kemewahan di ruang makan Pullman Hotel |
bangunan yang dingin dan memiliki pengharum, jemuran bergantungan di sisi depan
maupun belakang bangunan kumuh yang tidak beraturan. Baru saja keluar dari
ruangan gemerlap lampu, seakan silau di luar yang panas terik itu benar-benar
tidak seimbang. Dan sekali lagi, ini Jakarta yang seirama dengan mau
kamu, mau dia, mau siapa saja. Bagaimana mau kamu, begitulah keadaannya. Di pinggir
kali yang berbau lumut, dengan sampah berserak di mana-mana, dengan suara suing
dari boat yang lewat, maupun dengan
debu beterbangan bebas, di situlah kehidupan Ibu Kota sebenarnya.
namun padat penduduk dengan kesibukan masing-masing seolah tak mau ambil pusing
dengan indahnya Jakarta. Indah Jakarta di sisi berbeda, belum tentu indah di definisi mereka yang
entah kusebut siapa namanya. Musik konser boleh berdenyut sampai ke nadi dari
gedung bertingkat di depan mereka. Peragaan busana boleh saja melintas dengan
mudah di atas catwalk tak jauh dari
tempat mereka tinggal. Selebritas boleh melintas di depan mereka dengan kaca
mobil tertutup rapat. Tetapi, mereka telah seirama dan senyawa dengan kehidupan
yang demikian adanya.
![]() |
Pemandangan pinggir kali Jakarta |
imajinasiku kepada bintang jatuh yang memudar sinarnya sembari terus mengerucut
ekornya. Di sudut hati kecil mereka di pinggir kali, tentu membekas
keinginan-keinginan untuk sekali bahkan lebih melintasi jembatan di Neo Soho
lalu masuk mal meskipun tidak membeli apapun. Barangkali, anak-anak mereka
telah cukup sering memotret diri di sudut Central Park yang mewah dengan sebuah
Ferrari terparkir indah. Mungkin juga, meskipun rumah di pinggir kali mereka
adalah sosialita yang paham betul di mal mana tempat paling asyik untuk
bercengkrama.
![]() |
Sebuah Ferrari parkir di Jakarta Central Park |
jadi tidak mungkin. Karena ini Jakarta, diajarkan begitu saja keinginan demi
keinginan walaupun tidak mampu lagi menopang gaya hidup. Jakarta suatu ketika,
selalu begitu saja; elegan, mewah,
melankolis, tak tidur, penuh hawa nafsu, orang kaya yang bebas melakukan
apapun, orang miskin yang menonton penuh harap!
kubangan kali, mau tidak mau harus melebur jika ingin sukses atau digusur
waktu. Jakarta suatu ketika, penuh godaan, penuh kreativitas yang melebur dalam
waktu. Siap untuk itu, maka tak ada kata pergi meninggalkan Jakarta. Ragu-ragu
untuk itu, biar sepertiku saja yang menjadi tamu sesaat dan menikmati aromanya
yang kentara!