![]() |
Rakit penyeberangan yang mengangkut sepeda motor, termasuk merek Honda, pada awal tsunami Aceh – Photo by Bai Ruindra |
Jauh
sebelum memiliki sepeda motor sendiri, saya terlalu enggan mengendarai sepeda
motor orang lain, bahkan milik saudara terdekat. Saya juga tidak berani meminta
dibelikan sepeda motor kepada kedua orang tua. Kondisi ekonomi pada masa itu
tidak memungkinkan kami untuk memiliki sepeda motor “bagus” menurut pandangan
orang. Usai tsunami yang melanda Aceh akhir 2004, semuanya berubah. Memang tidak
secara mendadak, perlahan-lahan tetapi saya merasa benar perubahan itu.
sebelum memiliki sepeda motor sendiri, saya terlalu enggan mengendarai sepeda
motor orang lain, bahkan milik saudara terdekat. Saya juga tidak berani meminta
dibelikan sepeda motor kepada kedua orang tua. Kondisi ekonomi pada masa itu
tidak memungkinkan kami untuk memiliki sepeda motor “bagus” menurut pandangan
orang. Usai tsunami yang melanda Aceh akhir 2004, semuanya berubah. Memang tidak
secara mendadak, perlahan-lahan tetapi saya merasa benar perubahan itu.
Saya
tidak begitu mengingat tanggal dan bulan berapa orang tua membelikan sepeda
motor. Tahun 2009 menjadi tahun di mana kami memiliki sepeda motor sendiri, Honda
Supra X. Sepeda motor ini pula yang kemudian menjadi saksi tangis, tawa, lelah,
letih, hujan badai, jalan berlumpur, rakit penyeberangan sampai perjalanan pagi
ke sore dari Banda Aceh ke Meulaboh (Aceh Barat). Masa transisi dari musibah
besar ke pembangunan di seluruh Aceh menjadikan bukti begitu besar pengaruh
sepeda motor dalam kehidupan saya.
tidak begitu mengingat tanggal dan bulan berapa orang tua membelikan sepeda
motor. Tahun 2009 menjadi tahun di mana kami memiliki sepeda motor sendiri, Honda
Supra X. Sepeda motor ini pula yang kemudian menjadi saksi tangis, tawa, lelah,
letih, hujan badai, jalan berlumpur, rakit penyeberangan sampai perjalanan pagi
ke sore dari Banda Aceh ke Meulaboh (Aceh Barat). Masa transisi dari musibah
besar ke pembangunan di seluruh Aceh menjadikan bukti begitu besar pengaruh
sepeda motor dalam kehidupan saya.
Jarak
tempuh dari Banda Aceh menuju Meulaboh pada masa itu bisa saya katakan
seharian. Pagi berangkat dari Banda Aceh, sore bahkan magrib baru sampai ke
rumah. Keberanian dan kenekatan telah menjadi satu kesatuan untuk kami
dari pesisir barat Aceh kala itu. Tidak ada kata menyerah menghalau jalanan
yang sedang diperbaiki, intensitas hujan yang tidak bisa diprediksi, jalan
tikus di pinggir pantai, antrian di rakit penyeberangan, semuanya dilalui
dengan mata perih dan badan pegal. Tidak bisa dibandingkan dengan masa kini yang
hanya ditempuh antara 4 sampai 5 jam saja.
tempuh dari Banda Aceh menuju Meulaboh pada masa itu bisa saya katakan
seharian. Pagi berangkat dari Banda Aceh, sore bahkan magrib baru sampai ke
rumah. Keberanian dan kenekatan telah menjadi satu kesatuan untuk kami
dari pesisir barat Aceh kala itu. Tidak ada kata menyerah menghalau jalanan
yang sedang diperbaiki, intensitas hujan yang tidak bisa diprediksi, jalan
tikus di pinggir pantai, antrian di rakit penyeberangan, semuanya dilalui
dengan mata perih dan badan pegal. Tidak bisa dibandingkan dengan masa kini yang
hanya ditempuh antara 4 sampai 5 jam saja.
Honda
Supra X yang kini masih meraung, jika seandainya makhluk hidup, barangkali
telah meminta istirahat panjang. Perjalanan saya bersama Supra X ini tidak bisa
didefinisikan dengan kata-kata sepanjang apapun. Dengan kondisi dan keadaan
yang sedemikian parahnya masa itu, Supra X masih mampu menarik untuk pulang
dengan selamat.
Supra X yang kini masih meraung, jika seandainya makhluk hidup, barangkali
telah meminta istirahat panjang. Perjalanan saya bersama Supra X ini tidak bisa
didefinisikan dengan kata-kata sepanjang apapun. Dengan kondisi dan keadaan
yang sedemikian parahnya masa itu, Supra X masih mampu menarik untuk pulang
dengan selamat.
Sekilas tentang perjalanan itu….
![]() |
Antrian rakit penyeberangan di Aceh Jaya – Photo by Bai Ruindra |
Terseok
kami memulai pagi dari Banda Aceh. Supra X menderu dengan kuat. Gagahnya
melebihi motor besar yang melintasi jalan. Jalanan berembun saya lalui bersama
mahasiswa lain yang pulang berlibur ke pantai barat Aceh. Deru mesin
menderu-deru. Kebanyakan dari kami mengendarai sepeda motor dengan merek Honda.
Lintasan yang dilalui cukup memengaruhi kepenatan maupun konsentrasi. Keluar dari
jalur utama Banda Aceh, sepeda motor kami mulai terbatuk-batuk, menderu lebih
kencang dan menjerit saat ban menginjak lumpur.
kami memulai pagi dari Banda Aceh. Supra X menderu dengan kuat. Gagahnya
melebihi motor besar yang melintasi jalan. Jalanan berembun saya lalui bersama
mahasiswa lain yang pulang berlibur ke pantai barat Aceh. Deru mesin
menderu-deru. Kebanyakan dari kami mengendarai sepeda motor dengan merek Honda.
Lintasan yang dilalui cukup memengaruhi kepenatan maupun konsentrasi. Keluar dari
jalur utama Banda Aceh, sepeda motor kami mulai terbatuk-batuk, menderu lebih
kencang dan menjerit saat ban menginjak lumpur.
Perjalanan
meninggalkan Banda Aceh, melintasi kawasan Aceh Besar, bukit-bukit menanjak,
jalan alternatif mulai terasa menggoda. Di sepanjang jalan adalah mobil-mobil
alat berat sedang bekerja; membelah gunung, mengerok bebatuan di bawahnya, dan mengangkut
pohon-pohon yang baru saja ditumpang. Jalan alternatif yang disediakan untuk
pengendara tak lebih seperti jalan menuju ke kamar mandi; sempit, becek, dikelilingi
hutan belantara, sepi dan menakutkan. Penunjuk jalan demi penunjuk jalan
tertera di mana-mana. Salah belok, kami akan mengarah ke dunia antah-berantah. Tersungkur
di jalan, entah siapa yang mau menolong. Kehabisan bensin di tengah jalan yang sepi,
entah sampai mana kami harus mendorong sepeda motor itu.
meninggalkan Banda Aceh, melintasi kawasan Aceh Besar, bukit-bukit menanjak,
jalan alternatif mulai terasa menggoda. Di sepanjang jalan adalah mobil-mobil
alat berat sedang bekerja; membelah gunung, mengerok bebatuan di bawahnya, dan mengangkut
pohon-pohon yang baru saja ditumpang. Jalan alternatif yang disediakan untuk
pengendara tak lebih seperti jalan menuju ke kamar mandi; sempit, becek, dikelilingi
hutan belantara, sepi dan menakutkan. Penunjuk jalan demi penunjuk jalan
tertera di mana-mana. Salah belok, kami akan mengarah ke dunia antah-berantah. Tersungkur
di jalan, entah siapa yang mau menolong. Kehabisan bensin di tengah jalan yang sepi,
entah sampai mana kami harus mendorong sepeda motor itu.
Rasa
syukur masih melekat dalam diri saya. Musibah fatal yang paling mengerikan
adalah terpeleset, jatuh di jalan berlumpur, namun Supra X ini tidak mati
bahkan mogok sehingga harus didorong. Ia menderu kuat, meminta saya kembali
mengangkatnya, menarik gas dan berjalan kembali melintasi arena balap seperti pertarungan
Marc Márquez dengan Valentino Rossi. Saya
bahkan tidak yakin Márquez maupun Rossi bisa menang dengan mudah melintasi jalan yang saya lalui
masa itu.
syukur masih melekat dalam diri saya. Musibah fatal yang paling mengerikan
adalah terpeleset, jatuh di jalan berlumpur, namun Supra X ini tidak mati
bahkan mogok sehingga harus didorong. Ia menderu kuat, meminta saya kembali
mengangkatnya, menarik gas dan berjalan kembali melintasi arena balap seperti pertarungan
Marc Márquez dengan Valentino Rossi. Saya
bahkan tidak yakin Márquez maupun Rossi bisa menang dengan mudah melintasi jalan yang saya lalui
masa itu.
![]() |
Lelah sudah tidak terasa di terik matahari dan deru ombak yang ganas – Photo by Bai Ruindra |
Lepas
dari pengunungan, Gunung Geureute maupun Gunung Kulu, yang keelokannya
menghanyutkan, pandangannya ke lautan lepas, kami harus lebih bersiap menerima
jalan di bibir pantai. Ombak berderu dengan ganas, kaki langit terkadang hitam
pekat, angin sekencang-kencangnya tidak menciutkan niat kami untuk menghalau
jalan tak bertuan. Deru mesin menjerit sejadi-jadinya begitu tertanam ke dalam
pasir. Sepanjang mata memandang adalah pesepeda motor dengan helm tertutup
rapat, masker diikat kencang dan ransel melekat erat. Tak ada yang peduli satu
sama lain kecuali teman dekat. Ada yang berhenti di pinggir jalan, hanya
ditengok dengan ekor mata.
dari pengunungan, Gunung Geureute maupun Gunung Kulu, yang keelokannya
menghanyutkan, pandangannya ke lautan lepas, kami harus lebih bersiap menerima
jalan di bibir pantai. Ombak berderu dengan ganas, kaki langit terkadang hitam
pekat, angin sekencang-kencangnya tidak menciutkan niat kami untuk menghalau
jalan tak bertuan. Deru mesin menjerit sejadi-jadinya begitu tertanam ke dalam
pasir. Sepanjang mata memandang adalah pesepeda motor dengan helm tertutup
rapat, masker diikat kencang dan ransel melekat erat. Tak ada yang peduli satu
sama lain kecuali teman dekat. Ada yang berhenti di pinggir jalan, hanya
ditengok dengan ekor mata.
Ke
manapun mata memandang hanya sepi. Rumah-rumah penduduk belum ada di jalan
alternatif ini. Sesekali hanya kami jumpai kios kecil yang menjual bensin,
minuman dan makanan dengan harga cukup mahal. Mau tidak mau, jika waktu tidak
memihak, kami terpaksa singgah dan mengisi bensin di sana.
manapun mata memandang hanya sepi. Rumah-rumah penduduk belum ada di jalan
alternatif ini. Sesekali hanya kami jumpai kios kecil yang menjual bensin,
minuman dan makanan dengan harga cukup mahal. Mau tidak mau, jika waktu tidak
memihak, kami terpaksa singgah dan mengisi bensin di sana.
Kesabaran
dari lelah benar terasa saat kami mengantri di rakit penyeberangan. Setidaknya,
ada beberapa rakit penyeberangan yang mesti kami lalui. Saya lupa akan hal itu.
Tiap menaiki sepeda motor ke atas rakit tersebut, kami wajib melunasi lima ribu
rupiah. Hati sudah pasti tak tentu. Saya dengan mereka yang lain hanya bisa
menatap dangkal ke sungai dalam. Deru mesin rakit penyeberangan bagai pesakitan
yang meminta pertolongan. Beban 10 sepeda motor lebih beserta pengendaranya di
atasnya membuat rakit ini tertatih-tatih ditarik arus sungai. Kiri dipandang
adalah hutan belantara dengan segenap keangkuhannya. Kanan dilihat adalah deru
ombak dengan ganasnya. Tak pernah saya bayangkan apabila tiba-tiba mesin rakit
ini terbatuk lalu mati, maka kami akan segera menjumpai bibir pantai. Inilah kawasan
Aceh Jaya yang menggoda, penuh gairah, penuh taktik, angkuh dengan keelokannya
dan diam-diam makan dalam dengan jalannya yang terjal.
dari lelah benar terasa saat kami mengantri di rakit penyeberangan. Setidaknya,
ada beberapa rakit penyeberangan yang mesti kami lalui. Saya lupa akan hal itu.
Tiap menaiki sepeda motor ke atas rakit tersebut, kami wajib melunasi lima ribu
rupiah. Hati sudah pasti tak tentu. Saya dengan mereka yang lain hanya bisa
menatap dangkal ke sungai dalam. Deru mesin rakit penyeberangan bagai pesakitan
yang meminta pertolongan. Beban 10 sepeda motor lebih beserta pengendaranya di
atasnya membuat rakit ini tertatih-tatih ditarik arus sungai. Kiri dipandang
adalah hutan belantara dengan segenap keangkuhannya. Kanan dilihat adalah deru
ombak dengan ganasnya. Tak pernah saya bayangkan apabila tiba-tiba mesin rakit
ini terbatuk lalu mati, maka kami akan segera menjumpai bibir pantai. Inilah kawasan
Aceh Jaya yang menggoda, penuh gairah, penuh taktik, angkuh dengan keelokannya
dan diam-diam makan dalam dengan jalannya yang terjal.
Supra
X yang telah mandi lumpur itu tetap tabah. Tertatih dengan napas
tersengal-sengal. Mungkin saja jika ia bisa berbicara seperti Lightning McQueen yang
manis maupun Mater yang polos di film Car, ia akan segera meminta saya untuk menyudahi
perjalanan ini. Supra X ini hanya mampu memekik sendirinya, hanya saya saja
yang terus menggerutu agar segera tiba di rumah.
X yang telah mandi lumpur itu tetap tabah. Tertatih dengan napas
tersengal-sengal. Mungkin saja jika ia bisa berbicara seperti Lightning McQueen yang
manis maupun Mater yang polos di film Car, ia akan segera meminta saya untuk menyudahi
perjalanan ini. Supra X ini hanya mampu memekik sendirinya, hanya saya saja
yang terus menggerutu agar segera tiba di rumah.
![]() |
Harap-harap cemas untuk sampai ke seberang – Photo by Bai Ruindra |
Tsunami
memang telah lama berlalu. Duka itu bahkan tak teringat lagi. Perjalanan di
2009 sampai dua tahun setelahnya, membuat saya pilu jika melihat Supra X terparkir
sendu di depan rumah. Ia terlalu lelah untuk sebuah perjalanan terjal. Kini ia
pun masih dipaksa untuk mengarungi kehidupan kami di jalan yang mulus. Rangkanya
masih kokoh dan mesinnya jarang berkeluh-kesah. Bahkan, jika saya menulis lebih
panjang sampai ke tepian di lautan lepas, terima kasih kepada Supra X ini belum
tentu semanis madu. Tentu, saya harus berterima kasih walaupun ia hanyalah
benda mati. Daripadanya pula saya bisa menulis artikel ini sambil duduk manis,
ditemani secangkir susu hangat, di bawah mendung berkelebat, di tengah semarak
jagad maya dengan aroma permusuhan dan kelucuan maupun keluguan pelakunya.
memang telah lama berlalu. Duka itu bahkan tak teringat lagi. Perjalanan di
2009 sampai dua tahun setelahnya, membuat saya pilu jika melihat Supra X terparkir
sendu di depan rumah. Ia terlalu lelah untuk sebuah perjalanan terjal. Kini ia
pun masih dipaksa untuk mengarungi kehidupan kami di jalan yang mulus. Rangkanya
masih kokoh dan mesinnya jarang berkeluh-kesah. Bahkan, jika saya menulis lebih
panjang sampai ke tepian di lautan lepas, terima kasih kepada Supra X ini belum
tentu semanis madu. Tentu, saya harus berterima kasih walaupun ia hanyalah
benda mati. Daripadanya pula saya bisa menulis artikel ini sambil duduk manis,
ditemani secangkir susu hangat, di bawah mendung berkelebat, di tengah semarak
jagad maya dengan aroma permusuhan dan kelucuan maupun keluguan pelakunya.
Kisah
perjalanan panjang saya bersama Honda Supra X cuma aroma yang kini tinggal
kenangan. Mau saya bumbuhi dengan manis, asam dan asin sekalipun, kenangan ini
tetaplah berasa kue termahal di dunia.
perjalanan panjang saya bersama Honda Supra X cuma aroma yang kini tinggal
kenangan. Mau saya bumbuhi dengan manis, asam dan asin sekalipun, kenangan ini
tetaplah berasa kue termahal di dunia.