Categories
Uncategorized

A Taxi Driver: Film ‘Sederhana’ dengan Banyak Penghargaan

Dibuka dengan sedikit aksi ‘curang’, A Taxi Driver mengalir menjadi film yang tak ingin ditinggal begitu saja. Begitulah pelaku dunia hiburan Korea Selatan, seolah tak ingin bermanja dengan satu tema universal – asmara – sehingga film yang dilahirkan sangat beragam. Apik dan menawan tentu saja. Saya hanyut dalam scene pembuka dengan sebuah kecurangan tersebut; mencuri rejeki orang yang kemudian membawa malapetaka!
Salah satu scene dalam A Taxi Driver – cloudfront.net
Song Kang Ho sangat tidak menarik
jika selama ini kita hanya terbuai dengan tokoh utama drama Korea Selatan, yang
mulus bagai persolen. Kang Ho adalah pria gemuk yang tidak tampan bahkan
memiliki daya tarik lain dari segala bentuk fisiknya.

Namun, sebagai Kim Man
Seob, sopir taksi yang mengalami krisis keuangan panjang setelah istrinya
meninggal, menjadikan sosok Kang Ho sebagai tokoh penting dalam kesuksesan film
ini. Sopir taksi yang selalu sepi penumpang ini harus membiayai hidupnya dan
juga anak perempuannya – 11 tahun – yang selalu ditinggal sendiri di rumah
kontrakan, dengan pemilik rumah semena-mena terhadapnya.

Mula dari kericuhan hatinya itu,
saat Man Seob ingin membelikan sepatu untuk putrinya. Di sisi lain, rongrongan
pemilik kontrakan juga menjadi sebuah ‘teguran’ panjang untuk dompetnya. Mulailah
babak pilu dalam sebuah dialog di warung makan, di mana sopir taksi berkumpul
untuk makan siang.

Man Seob mencuri cerita dari meja lain, lantas cerita itu
yang kemudian mengantarnya berkenalan dengan penumpang berharga. Turis Jerman
yang tak lain adalah seorang wartawan, Jurgen Hinzpeter, diperankan Thomas
Kretschmann seorang bule yang telah banyak bermain dalam film lintas negara.

Man Seob mencuri start menuju Hinzpeter yang telah
memesan taksi sebelumnya. Pendengarannya yang peka, iming-iming ongkos yang
menggiurkan, Man Seob menarik pedal gas dengan kencang sekali menuju 100.000
won.

Senang hati Man Seob berubah senyap saat pada scene-scene berikutnya. Man Seob yang tidak tahu-menahu, memacu
kendaraan reotnya menuju Provinsi Gwangju pada musim dengan daun-daun
berterbangan di Mei tahun 1980. Taksi hijau miliknya menembus jalanan sepi
menuju tempat yang diinginkan oleh Hinzpeter.

Wartawan yang bosan dengan berita
bahagia di Jepang menapak tilas ke Korea Selatan dengan satu tujuan utama; membuka tabir kebengisan militer di Provinsi
Gwangju
, dan itu tidak diketahui oleh Man Seob. Pria gemuk itu hanya tahu
dirinya mengantarkan Hinzpeter ke tempat yang jauh dari Seoul, lalu pulang
dengan membawa ongkos taksi yang lebih dari cukup untuk membeli sebuah sepatu
cantik lalu diberikan kepada putrinya yang sedang bahagia menanti!

Hinzpeter seorang wartawan Jerman yang meliput kekejaman militer di Gwangju – blogspot.com
Jang Hoon mengarahkan A Taxi
Driver menjadi film yang lucu dan sedikit ‘konyol’ tetapi menegangkan pada
beberapa bagian. Eom Yu Na menulis dialog-dialog yang menegangkan bahkan
mengelikan antara Man Seob dan Hinzpeter.

Sopir taksi hampir paruh baya itu
seolah berbicara dengan dirinya sendiri dalam dialog bahasa Inggris yang
terkumur-kumur. Hinzpeter yang tidak mengerti dan bahkan terjadi kesalahpahaman
antara keduanya, membawa kepada pertengkaran kecil yang kemudian menggunung
saat mereka dihadang oleh jalan yang ditutup.

Man Seob sempat menghentikan
taksinya, berdialog lagi dengan Hinzpeter dalam bahasa isyarat panjang namun
juga tidak curiga apa yang terjadi di depan matanya nanti. Hinzpeter adalah
wartawan yang membidik rahasia sampai ke ubun-ubun hatinya. Tak terbersit
sedikit pun bahwa mereka akan menuju ke medan ‘perang’ kepada sopir taksi yang
emosi dan meringis sendiri. Man Seob juga seakan bodoh dengan kamera yang
dipegang wartawan itu; karena kembali lari kepada berapa won yang akan ia terima.

Kota yang sepi. Beberapa orang
yang mereka lewati terdiam dan menuduk lesu. Pintu rumah dan toko-toko tertutup
rapat. Lalu pintarnya Man Seob naik ke permukaan, ia tahu telah ‘ditipu’ oleh Hinzpeter
dengan 100.000 won. Perdebatan panjang terjadi saat mereka bertemu dengan
mahasiswa yang sedang arak-arakan di jalan.

Mata hati Man Seob baru terbuka
lebar saat bertemu Gu Jae Shik yang diperankan dengan singkat namun apik oleh
aktor tampan Ryu Jun Yeol. Jae Shik pada beberapa bagian menjelaskan apa maksud
Hinzpeter kepada Man Seob. Emosi meledak tetapi tidak bisa kembali dengan mudah
karena Hinzpeter belum membayar ongkos taksinya.

Film yang diproduksi dengan total
biaya 15 juta won ini membawa cerita dari sudut pandang seorang sopir taksi.
Sudut yang unik dan menyentuh dengan keinginan-keinginan Man Seob untuk segera
kembali ke Seoul; karena ia takut telah
meninggalkan putrinya seorang diri
.

Man Seob lantas goyah mengingat
‘sepatu’ untuk putrinya yang belum dibeli. Sopir taksi itu memutar haluan untuk
kembali pulang ke Seoul dengan meninggalkan Hinzpeter dalam medan pertempuran. Nama
juga film, dan Man Seob adalah tokoh utamanya, maka ia harus kembali ke ‘arena’
di mana ia seharusnya berada.

Wawancara dengan Jae Shik, mahasiswa yang bisa berbahasa Inggris – blogspot.com
137 menit terasa cepat di awal
namun tersendat-sendat di bagian pertengahan sampai akhir. Meski demikian,
tidak membuat film ini terasa bosan, setiap babak dihadirkan dengan menawan
sehingga memunculkan bekas berkepanjangan.

Misalnya, babak di mana Man Seob
terpaksa ‘tanpa sengaja’ kembali ke Gwangju karena alasan seorang nenek
meradang di jalanan begitu tahu anaknya masuk ke rumah sakit. Alih-alih Man
Seob bisa kembali ke Seoul, ia harus tertahan di rumah sakit yang sesak dengan
‘korban’ kekerasan militer.

Ia kembali bertemu dengan Hinzpeter, Jae Shik dan
sopir taksi baik hati Hwang Tae Sool, diperankan oleh Yoo Hae Jin. Kemudian
sopir taksi baik ini yang mengantarkan cerita berbeda dalam sebuah pertolongan
pulang Man Seob dan Hinzpeter ke Seoul.

Ada saat, di mana perdebatan
panjang kembali antara Man Seob dengan Hinzpeter yang masih ingin segera
pulang. Perdebatan kecil itu menjadi awal sebuah kerusuhan atau lebih tepatnya
penangkapan mereka oleh intel militer berkuasa.

Man Seob sempat pulang kembali
ke Seoul setelah mengambil ongkos taksi – setengah bagian dari yang dijanjikan
– melalui jalanan sepi. Sopir taksi ini kemudian memutar haluan setelah di
suatu rumah makan melihat pemberitaan yang tidak benar terhadap apa yang
terjadi di Gwangju. Ia memutar kembali stir menemui Hinzpeter yang pada saat
itu tengah berjuang meliput berita bersama Jae Shik.

Ryu Jun Yeol memerankan mahasiswa Jae Shik yang banyak membantu Man Seob – hancinema.net
Akhir cerita yang tragis, bisa
saya sebut, film Korea Selatan memang seleranya selalu begitu. Jae Shik
meninggal setelah menerima pukulan bertubi-tubi dari militer berkuasa, Tae Sool
dan beberapa sopir lain ikut menjadi korban saat menghalau pasukan militer yang
mengejar Man Seob dan Hinzpeter pulang ke Seoul.

Bagian akhir yang bagai dipacu
kencang membuat degup jantung seakan berhenti. Man Seob melewati banyak
rintangan namun ia lantas bertemu dengan seorang militer baik hati di salah
satu pos penjagaan. Karena seorang militer ini, Man Seob berhasil membawa Hinzpeter
kembali ke Seoul dengan berita menegangkan di Provinsi Gwangju.

Barangkali, ini bukan lagi
menjadi spoiler tetapi cerita singkat
dari kemasan menarik film yang rilis pada 02 Agustus 2017. Bisa saya sebut,
Korea Selatan ‘menutup’ akhir tahun dengan film sederhana – kemasannya – namun
berhasil menarik penonton lebih dari 12 juta orang. Bahkan di hari ke-11, A
Taxi Driver telah meraih 7 juta penonton dan dalam 5 hari meraup 4 juta
penonton! (liputan6.com, 14/08/2017).
Film yang meraih keuntungan
sampai USD 88,4 juta ini berhasil mempertahanan box office dan mengalahkan film-film lain yang dibintangi aktor
populer dan tampan.

Kesuksesan film ini di negeri asalnya membawa pengaruh
besar, salah satunya menjadi perwakilan Korea Selatan ke ajang bergengsi dunia,
Academy Awards (OSCAR) ke-90 untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Presiden
Korea Selatan, Man Jae, juga ikut menonton film yang diangkat dari kisah nyata
ini. (bintang.com, 22/08/2017).

Mengenang Sejarah dari Kacamata Orang Biasa

Sejarah, menyebutnya saja seperti
nyesak di dada. Namun tanpa sejarah
maka tanpa kita. Sebuah film kemudian menjadi saksi sejarah yang kelam jika
diceritakan dengan sudut pandang seperti yang umum kita tonton selama ini. Namun,
sejarah kelam itu bisa menjadi tontonan yang ‘ringan’ manakala dikemas dari
sudut pandang yang berbeda; lain daripada yang lain.
A Taxi Driver adalah kemasan unik
dan menarik itu. Jang Hoon menghadirkan sosok Man Seob dengan sederhana namun
begitu kuat dalam sosok sebenarnya. Ia memegang kendali dari keseluruhan film
tersebut sampai kemudian penonton terkesima.

Kacamata sejarah dari sudut
pandang orang biasa, yang bisa disebut nggak penting tetapi sebenarnya dia memiliki
peran yang cukup penting. Sosok Man Seob yang mengantarkan berita masuk ke
media massa dan mengakhiri konflik di Gwangju. Tanpa pedal gasnya dalam
menghalau pos-pos militer dan jalanan sepi, maka mungkin saja kisruh di daerah
itu terdiam begitu saja.

Man Seob sedang menghitung pemasukannya – korea.iyaa.com
Orang biasa yang dianggap tak ada
sebenarnya adalah saksi bisu dari sebuah kisah, sejarah maupun perjalanan
panjang lainnya. Tinggal kita mencari orang-orang ini lalu menghadirkan kisah
menarik untuk dipersembahkan kepada pembaca maupun penonton.

Penulis dan
sutradara film ini saya kira sangat piawai mencari tokoh penting tak kasat mata
tersebut. Semua bermula dari wartawan Jerman yang ingin kisahnya diabadikan
dalam bentuk film. Memang, di akhir film disebut bahwa Hinzpeter ‘mencari’
sahabatnya, si sopir taksi Man Seob yang sampai kini tak kunjung ditemuinya.

Man Seob adalah kacamata biasa
yang membawa penerangan kisah itu. Ia datang tanpa sengaja, terdesak waktu dan
terbuai oleh uang karena alasan kebahagiaannya yang tertunda. Kisah sederhana
ini membingkai film yang benar-benar menegangkan dan menghibur dalam tiap
babak.

Penonton akan terkesima karena alur cerita yang tak biasa – tak banyak
arak-arakan pendemo – pemandangan indah Korea Selatan, dan juga ketegangan dan
kesedihan di akhir cerita. Memang tiada bahagia yang terlihat pasti tetapi film
ini cukup baik dalam penggarapan tema biasa menjadi luar biasa.


Film ‘Sederhana’ dengan Banyak Penghargaan

Sebenarnya, tema film ini cukup
berat tetapi karena berangkat dari sudut pandang yang berbeda, menjadikannya
begitu ringan dan enak dinikmati. Man Seob hadir sebagai sosok yang santai,
kadang-kadang emosional, tetapi bisa membuat tawa di beberapa scene.

Meski begitu, A Taxi Driver
adalah film ‘sederhana’ yang merangkai banyak penghargaan selain berkompetisi
di OSCAR. Di luar nominasi di berbagai kategori, berikut ini saya sertakan
penghargaan yang berhasil di bawa pulang oleh Kang Ho dan tim film taksi hijau
ini.

Buil Film Awards ke-26

Ajang penghargaan yang diadakan
oleh Busan Ilbo ini memberikan penghargaan tinggi kepada A Taxi Driver. Di
antara penghargaan yang diterima adalah Best Film, Best Actor untuk Song Kang
Ho, dan Buil Readers’ Jury Award untuk Jang Hoon. Meski di beberapa kategori
seperti Best Cinematography, Best Music, Best Art Direction, tidak berhasil
membawa pulang piala, tetapi film ini tetap mencuri perhatian di ajang
tersebut.

Fantasia Internasional Film Festival ke-21

Dalam ajang penghargaan
internasional ini, A Taxi Driver hanya menerima satu kemenangan saja untuk
aktor yaitu Song Kang Ho (Best Actor). Diliriknya oleh penghargaan yang berada
di Montreal, Kanada, ini memberikan dedikasi tinggi terhadap film tersebut yang
tidak hanya jaya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri sekalipun.

Grand Bell Awards ke-54

Ajang penghargaan yang juga
bernama Daejong Film Award diadakan oleh The Motion Pictures Association of
Korea sejak tahun 1962. Ajang penghargaan ini memberikan nominasi cukup banyak
kepada A Taxi Driver namun hanya dua saja yang meraih kemenangan, Best Film dan
Best Planning.

Di antara nominasi yang tidak berhasil dibawa pulang piala
antara lain Best Director (Jang Hoon), Best Actor (Song Kang Ho), Best
Screenplay (Eom Yu Na), Best Music (Jo Yeong Wook), Best Art Direction (Cho Hwa
Sung dan Jeong Yi Jin), Best Costume Design (Cho Sang Kyung), Best
Cinematography (Go Nak Seon), Best Editing (Kim Sang Bum dan Kim Jae Bum), dan
Technical Award.

Korean Association of Film Critics Awards ke-37

Penghargaan yang diberikan oleh
Korean Association of Film Critics ini memberikan dua kemenangan untuk A Taxi
Driver, yaitu Top 10 Films dan Best Supporting Actor untuk Yoo Hae Jin.

The Seoul Awards

Penghargaan yang baru pertama
kali diadakan ini diadakan oleh Sports Seoul dilaksanakan di Grand Peace
Palace, Kyung Hee University, memberikan kemenangan kepada Song Kang Ho sebagai
Best Actor dan nominasi kepada A Taxi Driver di Grand Prize, yang selanjutnya
dimenangkan oleh Anarchist from Colony.

Asian World Film Festival ke-3

Penghargaan ini berada di Los
Angeles, California yang disponsori oleh Sher-Niyaz. A Taxi Driver menang di
tiga penghargaan, yaitu Special Mention Award untuk Song Kang Ho, Best Picture
dan Humanitarian Award untuk film itu sendiri. Menariknya, penghargaan ini
menjadi batu loncatan untuk dikenal lebih luas oleh masyarakat dunia.

Blue Dragon Film Awards ke-38

Penghargaan ini bisa disebut
sebagai ajang yang cukup bergensi bagi perfilman Korea Selatan. Penghargaan ini
diadakan oleh Sports Chosun yang merupakan satu grup dengan Chosun Ilbo. Penghargaan
ini memberikan piala kepada aktor maupun artis yang telah memberikan dedikasi
terbaik di industri hiburan negara itu.

A Taxi Driver membawa pulang 4 piala
dari beberapa nominasi. Piala yang berhasil dibawa pulang adalah Best Picture,
Best Actor (Song Kang Ho), Best Music, dan Audience Choice Award for Most
Popular Film. Sedangkan nominasinya antara lain Best Director, Best Supporting
Actor, Best New Actor (Ryu Jun Yeol), Best Screenplay, dan Best Art Direction.

Director’s Cut Awards ke-17

Penghargaan ini memberikan piala
kepada A Taxi Driver pada dua kategori yaitu Special Mentions dan Best New
Actor untuk Choi Gwi Hwa.

Korean Culture & Entertaiment Awards ke-25

A Taxi Driver membawa pulang
piala Best Picture di ajang penghargaan ini, dan Jang Hoon membawa pulang piala
Best Director.

Korea World Youth Film Festival ke-17

Jang Hoon membawa pulang piala
Favorite Director dan Song Kang Ho membawa Favorite Actor for Middle-Aged
Actor.

Korean Film Producers Association Awards

Penghargaan ini memberikan piala
kepada Song Kang Hoo sebagai Best Actor berkat penampilan memukaunya dalam A
Taxi Driver.
Tae Sool sopir taksi baik di Gwangju – thegrandcinema.com
Dengan banyak penghargaan yang
diterima oleh A Taxi Driver, saya pikir tidak masalah sebuah film tanpa
iming-iming asmara dan cinta ala remaja. Asalkan penggarapan yang pas, sudut
pandang yang berbeda maka ia akan jadi beda dari biasanya – kebanyakan film
yang beredar di pasaran.

Film ini menjadi contoh yang benar-benar nyata, tanpa
didukung oleh aktor yang digilai remaja masa kini, terbukti mampu menjadi film
laris dan meraih banyak penghargaan, khususnya untuk pemain utama di mana
dirinya tak setampan yang diidolakan oleh pemuja drama Korea Selatan.

Pesan Moral yang Tersirat

Artinya; setiap orang tua akan memberikan yang terbaik untuk anaknya dan
selain itu jangan mudah tergiur dengan
materi berlimpah!
Man Seob tak lain sosok yang rela
berkorban untuk putrinya. Niatnya adalah membeli kado untuk putrinya berupa
sebuah sepatu. Namun perjalanan panjang mendapatkan sepatu itu membawa dirinya
kepada apa yang selama ini tidak diketahuinya. Man Seob seolah berpikir bahwa
hanya dirinya yang susah dan kesulitan ekonomi.

Namun, begitu berada di Gwangju
ia merasa semuanya telah sama bahkan lebih berat. Man  Seob melihat sisi-sisi berbeda dari kehidupan
dalam konflik. Maka saat itu, ia ingin segera pulang, ingin segera menemui
putrinya, ingin segera melindungi putrinya, ingin segera memberikan semua apa
yang dimaui putrinya sebelum semua usai, yaitu kebahagiaan.

Pesan moral yang pertama ini
mungkin bagian terpisah dari kunci sejarah seorang sopir taksi. Tetapi, pesan
ini tersampaikan kepada penonton melalui kegusaran hati Man Seob dan
keegoisannya ingin segera kembali ke Seoul untuk menemui putrinya, setelah
melihat konflik tak terselesaikan di Gwangju. Man Seob menggambarkan, tiada
orang tua yang rela melukai anak-anak mereka.
Tergiur dengan uang adalah hal
yang benar-benar manusiawi. Apalagi, saat kebuntuan melanda maka tiada cara
untuk berpikir jernih dan apapun akan dilakukan untuk ‘meneguk’ bahagia. Man
Seob ‘mencuri’ start sopir taksi
pesanan karena sebuah sepatu – materi. Kemudian, karena materi menggiurkan itu
perlahan-lahan membawanya kepada peristiwa yang sulit untuk kembali.

A Taxi
Driver mengisahkan bagaimana militer membungkam siapapun agar tidak membawa
berita keluar dari Gwangju. Di satu sisi, keputusan mendadak seperti yang
dialami Man Seob tidak ada salahnya. Di sisi lain, keputusan demikian akan
menyengsarakan.

Namun untuk Man Seob, saya bisa menyebut bahwa sejarah yang
memanggil tokoh ini – sopir taksi sebenarnya – untuk membuka tabir tersembunyi
dalam bingkai militer yang membantai warga sipil dengan kejam.

Akhir yang Pilu

Film A Taxi Driver cukup berani
mengangkat kisah nyata setelah sekian lama. Hinzpeter adalah sosok yang membuka
kisah itu ke seluruh dunia namun wartawan Jerman ini kehilangan Man Seob
sepanjang masa.

Di akhir cerita, dikisahkan bahwa sopir taksi yang membawa Hinzpeter
ke Gwangju sejatinya bukanlah bernama Man Seob yang mengenalkan diri sebagai
Kim Sa Bok. Kim Man Seob menyembunyikan identitas dirinya kepada Hinzpeter
entah karena alasan apa.

Mungkin karena sebuah ketakutan panjang setelah
menyaksikan kisah tragis di Gwangju, mungkin juga karena di awal dirinya
bukanlah sopir taksi yang dipesan Hinzpeter untuk membawanya ke Gwangju.

Hinzpeter di bagian akhir film
datang kembali ke Seoul setelah Gwangju aman. Namun wartawan tersebut tidak
menemukan Man Seob atau Sa Bok yang menolongnya. Prolog yang muncul adalah
pesan dari Hinzpeter kepada Sa Bok untuk menemuinya; sekadar ngopi untuk mengenang perjalanan mereka dari Seoul ke Gwangju!
Perdebatan Man Seob dengan seorang militer yang menghalangi mereka ke Gwangju – variety.com
A Taxi Driver, sebuah penggalan
sejarah dari kacamata seorang sopir taksi. Kemasan yang apik, ending yang menyedihkan namun dibuat
dengan penuh dedikasi kepada Kim Sa Bok, maka jadilah film ini sesuatu yang
menggetarkan.

Meski banyak film Korea Selatan yang lahir pada tahun 2017, bagi
saya film ini tetap menginspirasi dan memberikan nilai lebih dalam
kesederhanaan. Apakah kamu telah menontonnya? 

Categories
Uncategorized

Mainlah Bersama Anak sebelum Train to Busan Dimulai

 

train to busan film ayah dan anak membunuh zombie
Seok-woo memeluk putrinya, Soo-ahn – frolichawaii.com

Pesan moral TRAIN TO BUSAN; mainlah bersama anak atau luangkanlah waktu
bersama anak!
Train
to Busan merupakan salah satu film Korea Selatan yang menghipnotis penonton,
bisa dikatakan demikian. Satu alasan tentu promosi yang gencar sekali dari film
ini dan pemeran utama pria adalah sosok yang sedang dalam kejayaannya, bahkan
pria ini merupakan aktor termahal di Korea Selatan untuk tahun 2016. Akting Gong
Yoo memang tidak bisa diragukan lagi, saya suka akting pria ini setelah Silenced
(Dokani)
tahun 2011.  

Film
yang sebenarnya cukup “ringan” jika menilik pesan moralnya telah mencapai Box
office
di Korea Selatan dengan laba 80.2 juta dollar. Train to Busan
(Busanhaeng)
yang dirilis Juli 2016 hanya mengeluarkan 182.000 dollar untuk
produksinya. Sang director Yeon Sang-ho tentu boleh bermain-main setelah
kesuksesan film ini. Film yang berdurasi 1 jam 58 menit ini kemudian termasuk
ke dalam golongan kelas berat, bukan lagi tontonan untuk anak-anak ketika para zombie
mulai menyerang.
Train
to Busan dimulai dengan kerinduan Kim Soo-ahn, anak perempuan Seok-woo aka Gong
Yoo kepada ibu kandungnya yang telah bercerai dan menetap di Busan. Seok-woo
yang bekerja di pasar saham tidak memiliki waktu untuk mengasuh Soo-ahn
sehingga anak ini sering kesepian walaupun tinggal bersama neneknya, ibu
Seok-woo. Tiap pulang kerja, Soo-ahn akan menagih janji kepada ayahnya agar ke
Busan. Seok-woo selalu berjanji namun belum menepatinya sehingga pada ulang
tahun anaknya tersebut, pria itu terpaksa harus menepati janji setelah mendapai
Soo-ahn menerima telepon dari ibunya. “ibu” hanya tokoh bisu di dalam film ini
namun cukup kuat walaupun tidak diperlihatkan nyata. Anak mana yang tidak rindu
kepada ibunya sedangkan sosok ayah sibuk dengan aktivitas sendiri.
Permainan
ayah dan anak dimulai sejak perjalanan mereka menuju stasiun kereta api cepat. Kedekatan
Seok-woo dengan putrinya tidak terlihat secara gamblang di awal perjalanan
mereka. Seok-woo sibuk dengan smartphone, tertidur dan mengabaikan
putrinya. Dalam hati, saya mengatakan bahwa pria ini hanya melepas “hajat”
mengantar anaknya kepada sosok ibu yang dirindui. Saya sengaja tidak membaca
resensi Train to Busan sebelum menonton film ini walaupun sangat tergoda karena
media sosial menaikkannya ke permukaan. Semula, saya pikir ini hanya film
pembunuh zombie yang hambar dan kemenangan ada di pihak tokoh utama. Namun
jangan kecewa, rata-rata film Korea Selatan yang saya tonton, endingnya
mengecewakan dan mengejutkan. Seperti Silenced, Gong Yoo juga membuat saya
kecewa di akhir Train to Busan.
Totalitas
Gong Yoo dalam memerankan Seok-woo saya acungi jempol. Kekakuan antara ayah
dengan anak di menit-menit awal begitu terasa. Namun hentakan demi hentakan ala
Korea mulai maju saat seorang wanita yang telah digigit zombie naik ke
dalam kereta api tanpa ada yang tahu. Alur Train to Busan tergolong cepat
tetapi tidak hambar. Dialog-dialog amarah dan perdebatan yang menurut saya
tidak penting hanya selintas saja. Lebih dari itu, kemasannya adalah seorang
anak sedang bermain dengan ayahnya tetapi dikemas dalam permainan mengerikan.
Tokoh-tokoh
lain, ada yang penting ada pula yang selintas saja. Wanita hamil, Sung-gyeong,
yang diperankan oleh Jung Yu-mi cukup berandil besar. Kamu yang belum menonton
jangan berharap akhir dari cerita Train to Busan begitu mengharu-biru. Train to
Busan bukan untuk happy-happy ala-ala ayah dan anak. Kedekatan ayah dan
anak dibangun dari penumpasan zombie-zombie yang terus berkeliaran. Naluri
Seok-woo sebagai seorang ayah tampak nyata saat zombie-zombie mulai tak
keruan sifatnya. Siapa saja yang digigit akan berubah menjadi zombie. Seok-woo
menjadi ayah yang memainkan permainan petak umpet di dalam kereta api
dalam menjaga putrinya. Seok-woo melakukan apa saja agar permainan tersebut
selesai dengan bahagia, harapannya tentu sang anak ketemu ibunya di Busan.
Train
to Busan menjadi sebuah perjalanan panjang antara ayah dan anak dalam menyelami
isi hati masing-masing. Soo-ahn yang menginginkan permainan masa kecil happily
ever after
malah bermain dengan zombie-zombie. Seok-woo yang tidak
memiliki waktu untuk putrinya kemudian mengerti arti pengorbanan seorang ayah. Begitu
kisah zombie yang tidak begitu menarik apabila dikemas dengan
bunuh-membunuh saja. Train to Busan adalah sebuah permainan “zombie
antara ayah dengan anak. Kedekatan batin antara ayah dengan anak akan terjalin
begitu kuat saat sesuatu yang berhubungan dengan nyawa terjadi. Seorang ayah
akan rela melakukan apa saja dalam menjaga, menyelamatkan dan memberikan
kehidupan lebih baik kepada anaknya kelak. Ayah akan berkorban waktu, tenaga, bahkan
cinta untuk anaknya. Gong Yoo dalam Seok-woo telah memberikan semua apa yang
saya sebutkan ini. Niscaya ayah akan menyelamatkan nyawa anaknya sekalipun
segerombolan zombie mencabik-cabik tenaganya.
Train
to Busan bukan film zombie mengerikan. Train to Busan adalah film yang
mengajarkan arti kasih sayang dan cinta antara ayah dan anak. Sekali lagi, film
ini akan membuat kamu menitikkan air mata di akhir cerita. 

Baca Juga Eksplore Bali dengan Kamera Zenfone 3

Categories
Uncategorized

Hebatnya Wali Kota Banda Aceh Main Film Saat Bioskop Haram di Aceh

aceh tidak punya bioskop
Illiza Sa’aduddin Djamal, Wali Kota Banda Aceh main film Surga Menanti bersama Ummi Pipik – jawapos.com
Anak
diperkosa oleh seorang ayah yang bejat. Sekelompok pemuda memperkosa seorang
gadis yang masih perawan.

Seorang anak membunuh orang tua karena harta warisan.
Orang tua mengurung anak yang diduga depresi akibat tak kunjung dapat
pekerjaan.


Eh, tapi ini berita fakta lho. Di media massa cetak
maupun online ramai memberitakan ini. Bahkan media sosial populer paling
kebakaran jenggot untuk share berita terkini.

Saya
pikir ini hanya ada di negeri dongeng saja. Kayak di film-film. Tahunya di Aceh
juga kejadian, tidak hanya di kota saja namun di pelosok yang katanya media
informasi kurang beruntung di sana. 



Namun jangan salah, internet bisa lebih
kencang di pedalaman jika BTS 3G telah terpasang. 



Belum lagi televisi yang
semarak dengan kekerasan melalui berita resmi maupun sinetron-sinetron tak
mendidik. Kamu
search deh berita itu di internet, pasti ketemu. 


Kasus-kasus
yang saya sebutkan di atas kamu tahu. Saya tahu. Mereka tahu. Film hanya
menampilkan seolah-olah kekerasan terjadi. 



Sinetron yang katanya lulus sensor eh
kecolongan minta ampun. Jika di film masih bisa diatasi dengan nggak semua
orang mau nonton dan boleh nonton film ini dan itu.



Contohnya untuk film Ada
Apa dengan Cinta 2
khusus untuk mereka yang 17 atau 18 tahun ke atas. Film Captain America: Civil War dan X-Men: Apocalypse, siapa saja
boleh nonton
toh cuma berantam-berantam saja kayak di negeri khayalan. 


Adapula
film-film sejenis Suster Bunuh Diri, Dokter Nyesot, Malam Jumat Kliwon yang
berbau seks dari A sampai Z tentu anak-anak di bawah umur dilarang masuk
bioskop dan tidak semua bioskop boleh tayang. 



Giliran sinetron di televisi, balap-balapan
kendaraan bermotor, sepeda terbang biasa saja, siapa pun boleh tonton.
Bioskop
itu lebih aman lho dari yang dibayangkan. Katanya, bioskop itu ladang
mesum. Memang ada orang yang hamil karena bioskop?

Ada orang yang berhubungan
seks di dalam bioskop dalam remang-remang, ramai orang, bising suara film. Oh,
cuma pegang-pegang tangan, ciuman saja, kamu saja yang ganjen. 

Belum lagi
kita masih memegang teguh adat ketimuran. Tahu malu dong berbuat mesum
di tempat ramai walaupun itu gelap-gelapan.

Saya pria lho, nggak bangun “itu”
saat konsentrasi ke film dan ke orang lain di depan, belakang, kiri dan kanan!

Namun
Pemerintah Aceh itu memang sesuatu lho. Cetar membahana badai, istilah
Tante Syahrini. Sebelum tsunami – mungkin konflik – Banda Aceh pernah berdiri
bioskop yang cukup terkenal.

Tsunami menggulung Aceh, pendapat ini itu muncul
bahwa nggak boleh ada lagi bioskop di Aceh karena: rawan mesum!

Ampun
DJ! Tuh di pedalaman yang nggak ada bioskop bentar-bentar sudah
hamil anak SMA. Di kos-kosan yang jauh dari pemilik kos tahunya sedang
loncat-loncat di atas kasur.

Pantai yang tersembunyi di Aceh tahunya sedang
banyak yang bahenol. Banyak jalan menuju Roma, banyak cara pula mau berbuat
salah.

Salahnya saat ini adalah mereka yang terlanjur meletakkan pemikiran di
antara selangkangan sehingga kabur antara nyata dan ilusi.

Baiklah.
Aceh memang haram bioskop. Kata ulama. Kata pemimpin negeri ini. Kata DPR. Kata
merekalah, pokoknya.

Tapi kan, baru-baru ini Wali Kota Banda Aceh, Hj.
Illiza Sa’aduddin Djamal, main film lho, Surga Menanti, bersama
istri almarhum Uje, Ummi Pipik, Agus Kuncoro dan lain-lain. Bahkan, Bunda –
sebutan akrab wali kota cantik ini – baru saja menggelar premiere film
ini di Jakarta bersama kru film dan tentu saja pejabat-pejabat Aceh. Mesum
nggak tuh?

Film
Surga Menanti adalah sebuah film religi. Bagus untuk menyasar masyarakat Aceh. Film
ini tentang seorang anak yang menjadi hafiz al-Quran.

Skenario film ini
ditulis oleh Dyah Kalsitorini dan disutradarai oleh Hastobroto. Film yang
diproduksi oleh Khanza Film Production dan Yayasan Syekh Ali Jaber membawa
semangat hapal al-Quran untuk generasi saat ini.

Nggak ada yang salah dengan
film ini, bahkan sangat bagus untuk di tonton oleh banyak orang seperti halnya
Laskar Pelangi.

Aceh Haram Bioskop

Salahnya
itu di Aceh nggak ada bioskop. Di Aceh haram ada bioskop. Tetapi, film Surga
Menanti itu syuting di Aceh dan dibintangi oleh orang nomor satu di Banda Aceh.


Kok bisa dapat izin syuting film di Aceh? Katanya bioskop itu tempat
mesum. Atas nama film layar lebar itu tayangnya di bioskop bukan di televisi
atau layar tancap.

Terus kok mau Wali Kota Banda Aceh ikut main? Pencitraan?
Dapat honor besar? Karena naskahnya bagus? Karena pemainnya bagus? Karena soal
agama?

Lho? Film-film
sebelumnya apa yang kurang? Coba deh kamu sebutin berapa banyak film
religi yang telah diproduksi oleh pegiat film Indonesia.

Kalau mau berpikiran
mesum di mana-mana saja mentok di situ. Setingkat film Harry Potter bisa saja dibilang
mesum.

Film-film kartun Disney dikatai ngajarin hal jelek. Apa kata
jengkrik yang ikut main?

Ini
nih yang buat kecewa penonton. Apa benar untuk sekadar nonton Ibu Wali Kota
yang cantik itu kami harus ke Medan – yang terdekat dengan Aceh.

Itu sama saja
melempar devisa ke “negara” tetangga. Bioskop itu nggak salah sama sekali. Hanya
perilaku orang-orang yang salah.

Sudah banyaklah orang-orang Jakarta hamil di
luar nikah karena bioskop menayangkan ratusan film tiap tahun!

Ilusi
para pemangku kebijakan di Aceh teramat tinggi setingkat dewa. Masyarakat yang
nggak punya biaya cuma diminta tonton televisi dengan drama-drama impor penuh
manipulasi.

Giliran pejabat Aceh tercinta duduk manis manja di dalam bioskop
tiap kali “sidak” ke luar daerah. Di Aceh omongannya mendayu-dayu dan
merajuk-rajuk bahwa bioskop banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya. Nah,
kok ikut nonton juga?

Sisi
mudharat mana yang disasar oleh mereka yang buta terhadap perilaku mesum
di depan mata? Perilaku mesum tanpa sangkut paut dengan bioskop sama sekali.

Bioskop
dan mesum belum memiliki kesamaan sejauh ini. Di Barat saja yang lebih moderat
hanya secuil orang berbuat “jahat” di dalam bioskop.

Siapa yang mau itu yang
ikut. Toh,
malu itu manusiawi sekali. Pemikiran mesum itu kan milik mereka yang
mengangkatnya ke layar lebar.

Nggak ada yang bicarakan, nggak ada yang peduli
dan nggak ada yang cari.

Bioskop
di Aceh tak ada dengan berbagai argumentasi mereka yang mungkin saja belum
pernah masuk ke dalam bioskop dan merasakan “kengerian” di dalam sana.

Wali
Kota Banda Aceh yang terlibat aktif dalam film ini kenapa tidak dicekal? Mau
nggak mau setelah 2 Juni 2016, beliau akan tampil manis di layar lebar.

Bioskop
dipandang haram sama saja mengatakan film yang sedang tayang itu haram!

Film Surga Menanti – movie.co.id
Saya,
kamu, anak-anak, orang tua, remaja, dewasa, konsentrasi ke depan layar dengan
suara gaduh luar biasa.

Setingkat nonton Hunger Games: Mockingjay Part 2 saja
bersama Citra Rahman, saya “ketakutan” minta ampun begitu aksi berkelahi dengan
suara menggelegar atau saat Katniss Everdeen – diperankan oleh Jennifer
Lawrence yang nggak tampil seksi dalam konotasi sebenarnya di film ini – mengendap-endap
masuk ke ruangan bawah tanah yang rawan ranjau, saya hampir pipis dalam celana.

Mau keluar bioskop rugi telah bayar dan malu sama penonton lain. Deg-degan,
ngeri, nyeri, penasaran, campur aduk jadi satu.

Kapan mau menyaluri hasrat
seksual saya saat kondisi ini jika sedang bersama pasangan?

“Tapi,
Bang, coba nonton film yang agak gimana di bioskop. Pasti akan…,” kata
kamu.
Akan
saya nggak tonton. Saya pemilih lho, sama dengan kamu. Masa film hantu
penuh gairah di tonton juga, nanti hilang deh selera makan.

Dan kamu
tahu dong, nggak semua film bisa tayang di bioskop. Jika Aceh ada
bioskop, tim seleksi berhak untuk menayangkan atau tidak sebuah film.

Film yang
mengarahkan ke adegan dewasa, kembalikan ke distributor. Film sejenis Iron Man
atau Pirates of the Caribbean yang banyak lucunya masa dikembalikan juga?