Dia telanjang. Oh, tidak, mungkin, dia hanya telanjang dada saja; yang menampakkan lekuk tubuh kokoh membelah awan bergumpal pada hari terik sekali itu. Nusa Dua, Bali, pada sepenggalah janji matahari, mengintip dari balik jeruji, ternama daun kelapa yang meliuk-liuk dihempas angin. Desiran melodi membawa keringat lebih deras, menyusuri jalan setapak Nusa Dua yang benar-benar segar di pagi hari.
Tahukah engkau? Bahwa ini, sedang tidak dalam Hari Raya Nyepi,
waktu akhir tahun 2016, aku singgah di sana. Kenangan setahun lalu, tetapi
begitulah pancaran menyalak dari mata sendu, merayu dari teduhnya sapaan dan
berhati-hati dalam balik menyapa suara lembut bagai persolen. Begitulah Bali,
terkisah dengan sempurna dalam mahakarya siapa saja; audio maupun visual. Jenaka
muncul dari Elizabeth Gilbert dalam Eat,
Pray, Love yang diperankan dengan apik oleh artis kenamaan, Julia Roberts. Mungkin
juga ilustrasi romantis lain dari Dee Lestari dalam mengemas Kugi di novel Perahu Kertas.
waktu akhir tahun 2016, aku singgah di sana. Kenangan setahun lalu, tetapi
begitulah pancaran menyalak dari mata sendu, merayu dari teduhnya sapaan dan
berhati-hati dalam balik menyapa suara lembut bagai persolen. Begitulah Bali,
terkisah dengan sempurna dalam mahakarya siapa saja; audio maupun visual. Jenaka
muncul dari Elizabeth Gilbert dalam Eat,
Pray, Love yang diperankan dengan apik oleh artis kenamaan, Julia Roberts. Mungkin
juga ilustrasi romantis lain dari Dee Lestari dalam mengemas Kugi di novel Perahu Kertas.
Kusebut sekali waktu itu, “Bali
itu negerinya bule, di mana-mana bule, bule lagi, bule lagi!” sekali pandang engkau akan mendapati tatapan
kegantengan bule; di bibir pantai, di jalanan, di dalam hotel, di trotoar,
bahkan di minimarket saat ku mampir untuk membeli permen, ada bule bertransaksi
dalam diam sebelum, “Thank you!” terucap dari mulutnya lalu berlalu.
itu negerinya bule, di mana-mana bule, bule lagi, bule lagi!” sekali pandang engkau akan mendapati tatapan
kegantengan bule; di bibir pantai, di jalanan, di dalam hotel, di trotoar,
bahkan di minimarket saat ku mampir untuk membeli permen, ada bule bertransaksi
dalam diam sebelum, “Thank you!” terucap dari mulutnya lalu berlalu.
Nikmatnya memandang mata biru
bule-bule itu, segera beralih ke kekaguman lain. Meski kusebut ini ‘tak begitu’
penting namun sisi inilah yang mengantarkan kedahsyatan maupun keelokan Bali. Mungkin, bule tak perlu dicari dan bisa
dihampiri tanpa sengaja. Namun‘dia’
yang kokoh, seksi, dan diam dalam segala rupa sulit sekali didapati, kecuali
jika engkau menghampirinya.
bule-bule itu, segera beralih ke kekaguman lain. Meski kusebut ini ‘tak begitu’
penting namun sisi inilah yang mengantarkan kedahsyatan maupun keelokan Bali. Mungkin, bule tak perlu dicari dan bisa
dihampiri tanpa sengaja. Namun‘dia’
yang kokoh, seksi, dan diam dalam segala rupa sulit sekali didapati, kecuali
jika engkau menghampirinya.
Pugaran tangan seniman Bali ini
tidak sombong, ia hanya tangkas dan menjurus pandangan pada satu sisi saja. Misal,
engkau singgah di Hotel
Courtyard by Marriot Nusa Dua, seorang ‘ibu’ duduk memangku
bakul yang mungkin isinya hanya ‘tanah’ dengan senyum tulus, dengan alis
terangkat, busana khas wanita Bali, yang seolah-olah ia sedang menunggu
seseorang, pulang ke rumah dari tempat yang jauh. Rambutnya disisir rapi ke
belakang yang mungkin terdapat sanggul sedikit, jika ku lihat lebih jeli waktu
itu. Kaki tak beralas menginjak batu yang usang oleh waktu. Jari-jemarinya
terlihat keriput dengan kuku-kuku yang tidak digambarkan kelihatan seperti
keinginanku dalam ilusi tak pasti.
tidak sombong, ia hanya tangkas dan menjurus pandangan pada satu sisi saja. Misal,
engkau singgah di Hotel
Courtyard by Marriot Nusa Dua, seorang ‘ibu’ duduk memangku
bakul yang mungkin isinya hanya ‘tanah’ dengan senyum tulus, dengan alis
terangkat, busana khas wanita Bali, yang seolah-olah ia sedang menunggu
seseorang, pulang ke rumah dari tempat yang jauh. Rambutnya disisir rapi ke
belakang yang mungkin terdapat sanggul sedikit, jika ku lihat lebih jeli waktu
itu. Kaki tak beralas menginjak batu yang usang oleh waktu. Jari-jemarinya
terlihat keriput dengan kuku-kuku yang tidak digambarkan kelihatan seperti
keinginanku dalam ilusi tak pasti.
Rumput liar di sekelilingnya
bahkan hampir sepinggul. Rupanya, ibu ini tidak sendirian, tak jauh mata
memandang di halaman hotel dengan corak Bali dalam ademnya ini, terdapat
ibu-ibu lain yang juga memiliki bakul. Seragam ‘putih’ mereka tak pernah
tergores oleh debu bahkan basah oleh hujan lebat, dan embun pun tak bisa
menyulapnya menjadi dingin. Mereka ada yang mengangkat bakul, memangku,
meletakkannya di kepala, dalam ikhlas yang tak jelas untuk apa.
bahkan hampir sepinggul. Rupanya, ibu ini tidak sendirian, tak jauh mata
memandang di halaman hotel dengan corak Bali dalam ademnya ini, terdapat
ibu-ibu lain yang juga memiliki bakul. Seragam ‘putih’ mereka tak pernah
tergores oleh debu bahkan basah oleh hujan lebat, dan embun pun tak bisa
menyulapnya menjadi dingin. Mereka ada yang mengangkat bakul, memangku,
meletakkannya di kepala, dalam ikhlas yang tak jelas untuk apa.
Padahal, ku ingin bertanya pada
seniman yang memahat mereka, tetapi entah mungkin waktu tidak mengizinkan atau
memang aku hanya dipersilakan untuk melihat saat melintas berkali-kali di depan
ibu-ibu ini. Mereka tentu tidak tersenyum kepadaku. Juga tidak kepada orang
lain. Mereka hanya menggambar senyum untuk mereka sendiri dalam tubuh tak
bernyawa!
seniman yang memahat mereka, tetapi entah mungkin waktu tidak mengizinkan atau
memang aku hanya dipersilakan untuk melihat saat melintas berkali-kali di depan
ibu-ibu ini. Mereka tentu tidak tersenyum kepadaku. Juga tidak kepada orang
lain. Mereka hanya menggambar senyum untuk mereka sendiri dalam tubuh tak
bernyawa!
![]() |
Seorang ‘ibu’ yang memangku bakul. |
Burung hantu menyalak dalam mata
kecokelatan, bulat tak berkedip dengan moncong penuh keangkuhan. Ia berdiri di
atas batang pohon mati yang telah ditebang ‘pemilik’nya suatu waktu lalu. Bulu-bulunya
membungkus tubuh yang gemuk dengan kuku-kuku panjang tak pernah dipotong. Aku berpikir,
berapa lama seniman itu mengukir sisik-sisik di seluruh tubuh burung hantu ini.
Mungkin dua hari, seminggu, dua bulan, mungkin hampir setahun bahkan lebih.
kecokelatan, bulat tak berkedip dengan moncong penuh keangkuhan. Ia berdiri di
atas batang pohon mati yang telah ditebang ‘pemilik’nya suatu waktu lalu. Bulu-bulunya
membungkus tubuh yang gemuk dengan kuku-kuku panjang tak pernah dipotong. Aku berpikir,
berapa lama seniman itu mengukir sisik-sisik di seluruh tubuh burung hantu ini.
Mungkin dua hari, seminggu, dua bulan, mungkin hampir setahun bahkan lebih.
Aku menikmati tatapan matanya;
meski takut seolah ia telah hidup, menjelma menjadi burung hantu yang ribut
di tengah malam. Jalan beraspal yang telah kering, daun-daun luruh di rumput
yang masih berembun, anak kelapa sawit yang baru menuju usia remaja, akan
menemani tiap waktu burung hantu itu.
meski takut seolah ia telah hidup, menjelma menjadi burung hantu yang ribut
di tengah malam. Jalan beraspal yang telah kering, daun-daun luruh di rumput
yang masih berembun, anak kelapa sawit yang baru menuju usia remaja, akan
menemani tiap waktu burung hantu itu.
![]() |
Burung hantu di siang hari dengan tatapan galak. |
Burung hantu itu menjadi bias
dari sebuah gunungan yang terbuat dari batu, mengalir air yang dipancarkan dari
air mancur buatan. Di kaki gunungan itu, dalam angkuh, dalam keseksian yang
nyata, dalam mata menjerit penuh amarah atau ketakutan, lentikan jari seolah
mengeluarkan sakti mandraguna untuk mengusir kekuatan jahat di lingkarannya. Aku
lupa dengan pasti berapa ‘nyawa’ yang terekam dalam bahtera seniman itu. Tiga wujud
yang kutatap dalam lensa kamera, mampu mendeskripsikan keperihan dan kemarahan
dalam balutan kain yang menjuntai ke bawah, mungkin juga terkelupas dari tubuh
mereka.
dari sebuah gunungan yang terbuat dari batu, mengalir air yang dipancarkan dari
air mancur buatan. Di kaki gunungan itu, dalam angkuh, dalam keseksian yang
nyata, dalam mata menjerit penuh amarah atau ketakutan, lentikan jari seolah
mengeluarkan sakti mandraguna untuk mengusir kekuatan jahat di lingkarannya. Aku
lupa dengan pasti berapa ‘nyawa’ yang terekam dalam bahtera seniman itu. Tiga wujud
yang kutatap dalam lensa kamera, mampu mendeskripsikan keperihan dan kemarahan
dalam balutan kain yang menjuntai ke bawah, mungkin juga terkelupas dari tubuh
mereka.
Tak terkira, bagaimana seniman
entah bernama apa itu melukis ‘dara’ melalui imajinasinya. Di bawah biru langit
memuncaki siang, bahtera punggawa wanita itu tak bisa menepi ke manapun. Mereka
kokoh, mereka bertahan, mereka melawan, dalam arti sebenarnya mereka adalah
abadi dari apa yang tidak kuketahui yang seharusnya kuintip sejarahnya di dekat
itu. Mungkin jika papan nama menjelaskan segala pandangan.
entah bernama apa itu melukis ‘dara’ melalui imajinasinya. Di bawah biru langit
memuncaki siang, bahtera punggawa wanita itu tak bisa menepi ke manapun. Mereka
kokoh, mereka bertahan, mereka melawan, dalam arti sebenarnya mereka adalah
abadi dari apa yang tidak kuketahui yang seharusnya kuintip sejarahnya di dekat
itu. Mungkin jika papan nama menjelaskan segala pandangan.
Di malam nanti, keelokan tubuh
mereka dipantulkan melalui cahaya lampu yang terpasang di kaki bahtera. Sayangnya,
aku tidak sempat melewati mereka di malam hari karena mengejar bayangan di
tempat berbeda.
mereka dipantulkan melalui cahaya lampu yang terpasang di kaki bahtera. Sayangnya,
aku tidak sempat melewati mereka di malam hari karena mengejar bayangan di
tempat berbeda.
![]() |
Bahtera ‘putri’ yang seksi dengan kengerian dalam jiwanya. |
Di tengah kota yang tidak hiruk
pikuk itu, berdiri dengan kokoh seorang gagah berani. Ia memakai mahkota yang
menandakan dirinya bersenyawa dengan atribut kekuasaan. Tangan kanannya meremas
bola api yang akan dihunuskan kepada mata naga yang memerah. Tangan kirinya mencekik
leher naga yang juga bermahkota. Matanya mengisyaratkan amarah sampai ke
ubun-ubun. Dadanya mengeras dengan puting susu yang mungkin menjadi kehitaman. Otot-otot
pahanya terlihat jelas, menahan ekor naga yang lebih kuat dari dirinya.
pikuk itu, berdiri dengan kokoh seorang gagah berani. Ia memakai mahkota yang
menandakan dirinya bersenyawa dengan atribut kekuasaan. Tangan kanannya meremas
bola api yang akan dihunuskan kepada mata naga yang memerah. Tangan kirinya mencekik
leher naga yang juga bermahkota. Matanya mengisyaratkan amarah sampai ke
ubun-ubun. Dadanya mengeras dengan puting susu yang mungkin menjadi kehitaman. Otot-otot
pahanya terlihat jelas, menahan ekor naga yang lebih kuat dari dirinya.
Cerita yang terpukau dari seniman
itu kuresapi dengan baik. Tokoh sejarah Bali yang pinggul kerasnya dililit naga
raksasa, di atas ‘lautan’ masa itu. Pahatan sempurna akan sosok ini cukup
menjelaskan makna yang tersembunyi. Mudah pula menikmati karena jalanan Nusa
Dua memang ‘seakan-akan’ diperuntukkan kepada pejalan kaki saja. Sisik naga
yang terpahat jelas serupa dengan kain kotak-kotak yang mengikat bagian intim
penakluk naga itu. Entah di bagian mana celah itu ada untuk mencacatkan pahatan
seniman yang memahatnya.
itu kuresapi dengan baik. Tokoh sejarah Bali yang pinggul kerasnya dililit naga
raksasa, di atas ‘lautan’ masa itu. Pahatan sempurna akan sosok ini cukup
menjelaskan makna yang tersembunyi. Mudah pula menikmati karena jalanan Nusa
Dua memang ‘seakan-akan’ diperuntukkan kepada pejalan kaki saja. Sisik naga
yang terpahat jelas serupa dengan kain kotak-kotak yang mengikat bagian intim
penakluk naga itu. Entah di bagian mana celah itu ada untuk mencacatkan pahatan
seniman yang memahatnya.
![]() |
‘Sang Raja’ dan seekor naga yang memperebutkan mahkota. |
Negeri ini adalah negeri patung. Negeri patung ini bernama Bali. Tiap langkah yang engkau luruskan, patung-patung itu menyapa dengan segenap keelokan
di dalam dirinya. Tidak senja. Tidak pula fajar. Engkau dengan mudah menatap matanya, selurus tubuh gagahnya, seisi
seksi di dalam dirinya. Di mana-mana, dengan keunikan tersendiri, dengan
penghambaan yang absurd maupun untuk mengenang sesuatu, asal-muasal yang pernah
meletus di suatu masa.
di dalam dirinya. Tidak senja. Tidak pula fajar. Engkau dengan mudah menatap matanya, selurus tubuh gagahnya, seisi
seksi di dalam dirinya. Di mana-mana, dengan keunikan tersendiri, dengan
penghambaan yang absurd maupun untuk mengenang sesuatu, asal-muasal yang pernah
meletus di suatu masa.
Itulah Bali. Kusebut juga, negeri
seniman yang tak pernah henti. Dua karya yang kusentuh di awal; Eat, Pray, Love
maupun Perahu Kertas, keduanya berbicara soal seniman di Bali, pahatan patung
maupun bau ‘dupa’ yang menyengat indera penciuman. Jika patung mudah engkau lihat, maka ‘dupa’ lebih mudah
lagi dalam menciumnya.
seniman yang tak pernah henti. Dua karya yang kusentuh di awal; Eat, Pray, Love
maupun Perahu Kertas, keduanya berbicara soal seniman di Bali, pahatan patung
maupun bau ‘dupa’ yang menyengat indera penciuman. Jika patung mudah engkau lihat, maka ‘dupa’ lebih mudah
lagi dalam menciumnya.
![]() |
Halaman yang dihiasi oleh ‘ibu-ibu’ dengan bakul miliknya. |
Di tiap persinggahan; di teras
rumah, di depan bangunan, adalah patung dengan pahatan penuh makna yang di
dalamnya keluar asap ‘doa’ yang mungkin akan memakmurkan pemiliknya. Suatu saat
engkau ke sana, ceritakan kepadaku,
patung mana yang membuat terkesima atau bahkan terkejut karena rupanya!
rumah, di depan bangunan, adalah patung dengan pahatan penuh makna yang di
dalamnya keluar asap ‘doa’ yang mungkin akan memakmurkan pemiliknya. Suatu saat
engkau ke sana, ceritakan kepadaku,
patung mana yang membuat terkesima atau bahkan terkejut karena rupanya!