Categories
Uncategorized

Negeri Patung dengan Pancuran Dupa Itu Bernama Bali

Dia telanjang. Oh, tidak, mungkin, dia hanya telanjang dada saja; yang menampakkan lekuk tubuh kokoh membelah awan bergumpal pada hari terik sekali itu. Nusa Dua, Bali, pada sepenggalah janji matahari, mengintip dari balik jeruji, ternama daun kelapa yang meliuk-liuk dihempas angin. Desiran melodi membawa keringat lebih deras, menyusuri jalan setapak Nusa Dua yang benar-benar segar di pagi hari.
Tahukah engkau? Bahwa ini, sedang tidak dalam Hari Raya Nyepi,
waktu akhir tahun 2016, aku singgah di sana. Kenangan setahun lalu, tetapi
begitulah pancaran menyalak dari mata sendu, merayu dari teduhnya sapaan dan
berhati-hati dalam balik menyapa suara lembut bagai persolen. Begitulah Bali,
terkisah dengan sempurna dalam mahakarya siapa saja; audio maupun visual. Jenaka
muncul dari Elizabeth Gilbert dalam Eat,
Pray, Love
yang diperankan dengan apik oleh artis kenamaan, Julia Roberts. Mungkin
juga ilustrasi romantis lain dari Dee Lestari dalam mengemas Kugi di novel Perahu Kertas.
Kusebut sekali waktu itu, “Bali
itu negerinya bule, di mana-mana bule, bule lagi, bule lagi!” sekali pandang engkau akan mendapati tatapan
kegantengan bule; di bibir pantai, di jalanan, di dalam hotel, di trotoar,
bahkan di minimarket saat ku mampir untuk membeli permen, ada bule bertransaksi
dalam diam sebelum, “Thank you!” terucap dari mulutnya lalu berlalu.
Nikmatnya memandang mata biru
bule-bule itu, segera beralih ke kekaguman lain. Meski kusebut ini ‘tak begitu’
penting namun sisi inilah yang mengantarkan kedahsyatan maupun keelokan Bali. Mungkin, bule tak perlu dicari dan bisa
dihampiri tanpa sengaja. Namun‘dia’
yang kokoh, seksi, dan diam dalam segala rupa sulit sekali didapati, kecuali
jika engkau menghampirinya.
Pugaran tangan seniman Bali ini
tidak sombong, ia hanya tangkas dan menjurus pandangan pada satu sisi saja. Misal,
engkau singgah di Hotel
Courtyard by Marriot Nusa Dua
, seorang ‘ibu’ duduk memangku
bakul yang mungkin isinya hanya ‘tanah’ dengan senyum tulus, dengan alis
terangkat, busana khas wanita Bali, yang seolah-olah ia sedang menunggu
seseorang, pulang ke rumah dari tempat yang jauh. Rambutnya disisir rapi ke
belakang yang mungkin terdapat sanggul sedikit, jika ku lihat lebih jeli waktu
itu. Kaki tak beralas menginjak batu yang usang oleh waktu. Jari-jemarinya
terlihat keriput dengan kuku-kuku yang tidak digambarkan kelihatan seperti
keinginanku dalam ilusi tak pasti.
Rumput liar di sekelilingnya
bahkan hampir sepinggul. Rupanya, ibu ini tidak sendirian, tak jauh mata
memandang di halaman hotel dengan corak Bali dalam ademnya ini, terdapat
ibu-ibu lain yang juga memiliki bakul. Seragam ‘putih’ mereka tak pernah
tergores oleh debu bahkan basah oleh hujan lebat, dan embun pun tak bisa
menyulapnya menjadi dingin. Mereka ada yang mengangkat bakul, memangku,
meletakkannya di kepala, dalam ikhlas yang tak jelas untuk apa.
Padahal, ku ingin bertanya pada
seniman yang memahat mereka, tetapi entah mungkin waktu tidak mengizinkan atau
memang aku hanya dipersilakan untuk melihat saat melintas berkali-kali di depan
ibu-ibu ini. Mereka tentu tidak tersenyum kepadaku. Juga tidak kepada orang
lain. Mereka hanya menggambar senyum untuk mereka sendiri dalam tubuh tak
bernyawa!
Seorang ‘ibu’ yang memangku bakul.
Burung hantu menyalak dalam mata
kecokelatan, bulat tak berkedip dengan moncong penuh keangkuhan. Ia berdiri di
atas batang pohon mati yang telah ditebang ‘pemilik’nya suatu waktu lalu. Bulu-bulunya
membungkus tubuh yang gemuk dengan kuku-kuku panjang tak pernah dipotong. Aku berpikir,
berapa lama seniman itu mengukir sisik-sisik di seluruh tubuh burung hantu ini.
Mungkin dua hari, seminggu, dua bulan, mungkin hampir setahun bahkan lebih.
Aku menikmati tatapan matanya;
meski takut seolah ia telah hidup, menjelma menjadi burung hantu yang ribut
di tengah malam. Jalan beraspal yang telah kering, daun-daun luruh di rumput
yang masih berembun, anak kelapa sawit yang baru menuju usia remaja, akan
menemani tiap waktu burung hantu itu.
Burung hantu di siang hari dengan tatapan galak.
Burung hantu itu menjadi bias
dari sebuah gunungan yang terbuat dari batu, mengalir air yang dipancarkan dari
air mancur buatan. Di kaki gunungan itu, dalam angkuh, dalam keseksian yang
nyata, dalam mata menjerit penuh amarah atau ketakutan, lentikan jari seolah
mengeluarkan sakti mandraguna untuk mengusir kekuatan jahat di lingkarannya. Aku
lupa dengan pasti berapa ‘nyawa’ yang terekam dalam bahtera seniman itu. Tiga wujud
yang kutatap dalam lensa kamera, mampu mendeskripsikan keperihan dan kemarahan
dalam balutan kain yang menjuntai ke bawah, mungkin juga terkelupas dari tubuh
mereka.
Tak terkira, bagaimana seniman
entah bernama apa itu melukis ‘dara’ melalui imajinasinya. Di bawah biru langit
memuncaki siang, bahtera punggawa wanita itu tak bisa menepi ke manapun. Mereka
kokoh, mereka bertahan, mereka melawan, dalam arti sebenarnya mereka adalah
abadi dari apa yang tidak kuketahui yang seharusnya kuintip sejarahnya di dekat
itu. Mungkin jika papan nama menjelaskan segala pandangan.
Di malam nanti, keelokan tubuh
mereka dipantulkan melalui cahaya lampu yang terpasang di kaki bahtera. Sayangnya,
aku tidak sempat melewati mereka di malam hari karena mengejar bayangan di
tempat berbeda.
Bahtera ‘putri’ yang seksi dengan kengerian dalam jiwanya.
Di tengah kota yang tidak hiruk
pikuk itu, berdiri dengan kokoh seorang gagah berani. Ia memakai mahkota yang
menandakan dirinya bersenyawa dengan atribut kekuasaan. Tangan kanannya meremas
bola api yang akan dihunuskan kepada mata naga yang memerah. Tangan kirinya mencekik
leher naga yang juga bermahkota. Matanya mengisyaratkan amarah sampai ke
ubun-ubun. Dadanya mengeras dengan puting susu yang mungkin menjadi kehitaman. Otot-otot
pahanya terlihat jelas, menahan ekor naga yang lebih kuat dari dirinya.
Cerita yang terpukau dari seniman
itu kuresapi dengan baik. Tokoh sejarah Bali yang pinggul kerasnya dililit naga
raksasa, di atas ‘lautan’ masa itu. Pahatan sempurna akan sosok ini cukup
menjelaskan makna yang tersembunyi. Mudah pula menikmati karena jalanan Nusa
Dua memang ‘seakan-akan’ diperuntukkan kepada pejalan kaki saja. Sisik naga
yang terpahat jelas serupa dengan kain kotak-kotak yang mengikat bagian intim
penakluk naga itu. Entah di bagian mana celah itu ada untuk mencacatkan pahatan
seniman yang memahatnya.
‘Sang Raja’ dan seekor naga yang memperebutkan mahkota.
Negeri ini adalah negeri patung. Negeri patung ini bernama Bali. Tiap langkah yang engkau luruskan, patung-patung itu menyapa dengan segenap keelokan
di dalam dirinya. Tidak senja. Tidak pula fajar. Engkau dengan mudah menatap matanya, selurus tubuh gagahnya, seisi
seksi di dalam dirinya. Di mana-mana, dengan keunikan tersendiri, dengan
penghambaan yang absurd maupun untuk mengenang sesuatu, asal-muasal yang pernah
meletus di suatu masa.
Itulah Bali. Kusebut juga, negeri
seniman yang tak pernah henti. Dua karya yang kusentuh di awal; Eat, Pray, Love
maupun Perahu Kertas, keduanya berbicara soal seniman di Bali, pahatan patung
maupun bau ‘dupa’ yang menyengat indera penciuman. Jika patung mudah engkau lihat, maka ‘dupa’ lebih mudah
lagi dalam menciumnya.
Halaman yang dihiasi oleh ‘ibu-ibu’ dengan bakul miliknya.
Di tiap persinggahan; di teras
rumah, di depan bangunan, adalah patung dengan pahatan penuh makna yang di
dalamnya keluar asap ‘doa’ yang mungkin akan memakmurkan pemiliknya. Suatu saat
engkau ke sana, ceritakan kepadaku,
patung mana yang membuat terkesima atau bahkan terkejut karena rupanya!
Categories
Uncategorized

Traveling ke Bali Akhir Tahun? Hal Ini Sangat Direkomendasikan

Traveling ke Bali Akhir Tahun? Transportasi Ini Sangat Direkomendasi
Pura ini ada di Pura Taman Ayun – Photo by Bai Ruindra
Traveling akhir tahun
ke mana saja boleh. Kamu yang telah menyiapkan waktu liburan akhir tahun dan
memilih Bali sebagai destinasi terbaik, ada baiknya memikirkan matang-matang
apa yang harus dilakukan selama di Bali. Kamu tentu telah mempunyai planning
ke beberapa tempat wisata seperti Pura
Taman Ayun, Tanah Lot, Pura Ulun Danu Bratan atau singgah di masjid di
kawasan Denpasar untuk menunaikan salat sunat dua rakaat.

Selama
di Bali kamu tentu akan jalan-jalan, bukan? Nggak mungkin kamu cuma diam saja
di hotel kawasan Seminyak, di Ubud saja dengan suasana romantis yang alami atau
jalan
kaki di seputar Pantai Kuta. Kamu tidak akan mendapatkan suasana lain.
Ini
Bali, lho, jelajahi saja tempat-tempat wisata yang unik dan menarik. Bukan
cuma kita, semua wisatawan baik dalam dan luar negeri yang ke Bali akan
jalan-jalan ke beberapa tempat yang jauh. Untuk itu, kamu perlu menyiapkan
rencana jenis transportasi apa yang boleh atau tidak selama traveling di
Bali. Karena apa? Berikut saya tulis alasannya berdasarkan pengalaman pribadi
selama di Bali.
Roda Dua Pilihan untuk Pasangan Romantis
Roda
dua atau sepeda motor menjadi pilihan untuk mereka yang traveling sendirian
atau berdua pasangan. Selain hemat biaya sewa juga hemat bensin. Namun kekurangannya
kamu harus berani dan paling tidak tahu arah agar tidak tersesat. Saya melihat
banyak pasangan bule yang berkendara bersama pasangan mereka ke Pura
Ulun Danu Bratan. Romantis begitu saja dan bebas mau mengendarai sekencang
mana. Soal keselamatan tentu kembali kepada kita semua. Mau menikmati suasana
alam Bali yang adem menuju tempat wisata, tentu pelan-pelan saja mengendarai
sepeda motor.
Sewa
kendaraan roda dua relatif murah, pengakuan Pandu – sahabat saya di Bali – saat
menyewa sepeda motor harus teliti sekali. Sebelum membawa sepeda motor keluar
dari tempat parkiran pemilik sewa, kita harus meneliti dengan benar apa saja
dari sepeda motor tersebut. Hal paling kecil harus diperhatikan, misalnya spion
tidak retak, bodi tidak retak, helm dalam kondisi bagus dan lain-lain. Pemilik sepeda
motor tersebut – tempat kita menyewa – akan mengenakan denda jika terjadi
sesuatu pada sepeda motor walaupun itu telah ada sebelum kita sewa. Misalnya
saja, kamu tidak sadar spion telah retak dan langsung membawa sepeda motor
untuk keliling Bali. Tanpa sengaja, di jalan berlubang spion tersebut jatuh dan
pecah, maka kamu harus mengganti spion sepeda motor tersebut satu pasang.
Roda Empat untuk Kelompok Kecil
Traveling kami waktu
itu adalah bertiga, saya, Pandu dan Sandi. Jauh-jauh hari kami mencari rental
mobil yang murah. Pilihan waktu itu pada rental yang menyediakan mobil dengan
harga sewa selama 10 jam adalah Rp.450.000 beserta driver-nya. Kami
mendapatkan banyak keuntungan selama 2 hari tersebut. Kami bebas ‘memerintah’ driver
yang ramah itu untuk jalan sesuka hati. Harga sewa di luar makan siang driver
yang kami tanggung dan tidak seberapa jika dibandingkan pelayanan yang kami
dapatkan. Jenis kendaraan ini memuat sekitar 6 sampai 7 orang. Kamu yang
memiliki rombongan kecil waktu akhir tahun nanti, rental kendaraan roda empat
ini layak untuk dipertimbangkan.
Trik
yang perlu dicatat bahwa kita harus menjaga 10 jam. Jika lebih semenit saja –
bisa mendapat dispensasi kalau drivernya baik – kita harus membayar
denda sebesar Rp.50.000 atau lebih. Saran saya, waktu 10 jam tersebut
dipergunakan sehemat mungkin apabila kamu akan traveling lagi esoknya. Selama
berada di dalam kendaraan, ada baiknya untuk melakukan pendekatan secara
personal dengan driver agar kamu dapat menjadikannya sebagai guide.
Driver yang kami temui waktu itu cukup ramah dan tidak meminta komisi
lebih padahal di hari kedua telah lewat beberapa menit dari waktu yang
ditentukan.
Transportasi Umum Tidak Dianjurkan
Saran
saya, jangan dekati transportasi umum jika kamu takut tersesat. Transportasi umum
memang murah di satu tempat, termasuk di Bali namun kamu akan kerepotan jika
menggunakan sarana ini dari satu tempat ke tempat lain. Tempat wisata di dalam
kota seperti Pura Taman Ayun maupun Lapangan Renon bisa dengan mudah
menggunakan transportasi umum. Ke daerah-daerah lain sarana transportasi ini
akan sulit karena kamu harus berganti kendaraan.
Transportasi Jenis Taksi akan Repot dan Mahal
Transportasi
jenis ini bukan milik traveler yang ingin berhemat. Taksi akan membuat
isi dompet kamu terkuras cukup banyak. Jarak dari satu tempat wisata ke tempat
lain cukup jauh. Memang sudah ada jenis taksi online di Bali namun
mereka akan menggunakan kilometer ke berapa atau sampai sejauh mana boleh
berjalan. Artinya, kamu harus mengganti lagi taksi lain agar sampai ke tempat
tujuan. Taksi aman digunakan sekali pakai saja. Misalnya kamu perlu diantar ke
bandara untuk mengejar perjalanan pulang. Taksi online boleh dipesan
dengan harga tak sampai Rp.50.000 dari penginapan kami waktu itu, di kawasan
Kuta.

Traveling ke Bali akhir
tahun menjadi pilihan banyak orang. Selain mengurus tiket pesawat promo kamu
juga mencari tahu transportasi selama di sana. Pesan lebih awal dari waktu
sebaiknya dilakukan agar kamu mendapatkan tempat. Jangan salah, akhir tahun
waktunya Bali penuh wisatawan dan agen rental kendaraan akan memberikan kepada
siapa lebih cepat. 
Nah,
kamu tentu telah memilih jenis transportasi untuk menyemarakkan traveling
selama di Bali. Agar liburan terasa lebih menyenangkan, kamu memerlukan tempat
menginap yang asri, adem, nyaman dan aman untuk kamu dan pasangan atau
teman-teman. Suasana yang asyik itu bisa didapatkan jika kamu sewa villa di kawasan Ubud, Seminyak atau di daerah lain.
Kenapa kamu harus sewa villa?
Karena
hal ini lebih memudahkan segala aktivitas kamu selama di Bali. Kamu dapat
bercengkrama dengan pasangan tanpa ada yang ganggu, kamu dapat bermain
sepuasnya bersama teman-teman, kamu dapat melakukan apapun sesuka hati tanpa
ada yang menegur. Suasana villa yang private sebagai modal untuk
membangun kembali kedekatan antara kamu dengan pasangan. Liburan yang sejatinya
untuk merefresh kembali hari-hari lelah, juga dapat dijadikan sebagai
ajang mengeratkan ikatan yang renggang.
Selain
itu, sewa villa saat liburan di Bali akhir tahun juga lebih menguntungkan karena
tersedia ruang khusus untuk bekerja, keluarga, dan kamu dengan pasangan. Biasanya,
letak villa di Bali yang dekat dengan perumahan warga terasa lebih mudah
berbaur dengan mereka. Kamu dapat menjalin hubungan baik, melihat kehidupan
sosial selama di sana, melebur dalam khusyuknya ibadah mereka maupun mendalami
perbedaan yang menjadi kehangatan bersama untuk saling melengkapi.
Categories
Uncategorized

Panggilan Mesra Pawang Laut kepada Pemakai Underwear di Pantai Kuta Bali

Pantai Kuta, Bali,
hampir seluruh pandangannya adalah mereka yang mengenakan underwear saja. Salah sendiri jika memilih pantai ini untuk berlibur, jika tidak sanggup
menahan napsu. Jangan salahkan mereka yang berjemur dengan pakaian dalam saja di
Pantai Kuta ini jika langkahmu masih tetap kokoh ke sana.

Panggilan Mesra Pawang Laut kepada Pemakai Underware di Pantai Kuta Bali
Pria ini adalah pawang laut di Pantai Kuta, Bali – Photo by bai Ruindra

Senja
yang menanti rindu ke peraduan menjadi sebuah hal yang sangat dinantikan. Pantai
Kuta menjadi sangat padat pada sore, 10 September 2016. Saya, Sandi dan Pandu
baru saja sampai ke pantai ini setelah sebelumnya ke Pura
Ulun Danu Bratan di Bedugul. Kami menyiapkan kamera untuk membidik sunset
yang sebentar lagi turun.
“Di
mana-mana bule berjemur ya?” seru saya yang membuat Sandi dan Pandu terkekeh. Bidikan
kamera smarphone baru kami pun menjelma menjadi monster dalam film laga,
menangkap setiap objek yang sudut pandangnya menarik dan unik.
“Puas-puasin
deh, Bang, lihat bule berjemur pakai underwear,” celutuk Pandu
dengan senda gurau. Eh, memang benar sih, bule-bule itu santai
saja berjemur, berkeliaran di seputaran Pantai Kuta hanya menggunakan pakaian ‘renang’
saja. Pakai kacamata hitam sekalipun, pemandangan ini akan terasa putih
berseri-seri. Kecuali, jika kamu memakai penutup mata warna hitam pekat. Ruginya
tentu saja, kamu akan meraba-raba dan intinya nggak penting banget
capai-capai ke Pantai Kuta
!
Sepasang
bule melintas di depan kami. Matanya sempat terarah kepada kami namun terlanjur
berhadapan dengan seorang keturunan Cina. Suaminya meminta kepada si Cina untuk
memotret mereka dengan background matahari terbenam. Saya berulangkali
mengucap syukur. Bukan tidak mau menolong namun istrinya itu lho, hanya
memakai underware saja. Tangan saya bisa saja gemetar duluan memotret
mereka yang mesra, manja dan penuh gaya persis di depan mata.
Matahari
kian terbenam, anak-anak berkeliaran di bibir pantai dengan papan selancar. Orang-orang
dewasa surfing jauh ke dekat ombak. Sesekali mereka bermain dengan ombak
besar, dihantam dan jatuh ke laut. Satu dua ada yang ngotot melewati
ombak pertama.
Tiga
gadis Jepang melintas dengan cekikian manja. Entah lupa kepada kami. Entah
karena begitulah Pantai Kuta di Bali, mereka mengambil beberapa foto persis di
depan kami. Tiga gadis Jepang ini pun tidak kalah seksinya, walaupun mereka
tidak memakai underwear namun celana di atas lutut cukup membuat saya
ingin segera berpaling.
Gadis Jepang sedang memotret temannya di bawah sunset Pantai Kuta, Bali – Photo by Bai Ruindra
“Prittt!!!”
Suara peluit terdengar di samping kami. Saya kaget bukan main. Saya pikir siapa
pula pria yang berdiri saja dengan peluit digantung di lehernya. Pria itu
kembali meniupkan peluit berulangkali. Ia berlari ke dekat anak-anak yang
sedang bermain pasir di antara ombak yang mulai surut. Peluitnya makin tak
henti. Tangannya memanggil-manggil peselancar yang belum juga memeluk
selancarnya.
Penjagaan ketat dari pawang laut yang ada di segala sisi – Photo by Bai Ruindra
Saya
kemudian mulai peka. Dalam radius beberapa meter terdapat seorang pria yang
menggantungkan peluit di lehernya. Saya mengira mereka adalah wisatawan yang
menunggu anak berenang. Saya juga berpikir mereka adalah ayah dan suami dari
anak dan istri yang sedang berkeliaran di pantai ini. Saya tidak tahu badan
tegap dengan mata menyelidik ke mana-mana adalah orang penting di pantai ini. Mereka
kemudian menghalau siapa saja yang melewati batas di Pantai Kuta. Tidak hanya
anak-anak, orang dewasa yang melewati ombak pertama juga mendapat teguran untuk
kembali. Para bule yang sedang berselancar rupanya paham betul dengan hal ini. Dari
kejauhan terlihat semangat mereka keluar dari ombak pertama, lalu berselancar
kembali di ombak yang pecah.
Pawang laut yang berjaga – Photo by Bai Ruindra
Hari
yang semakin senja, wisatawan semakin mendekat ke bibir pantai. Waktu yang
ditunggu adalah saat-saat matahari berbentuk bulat dengan warna keemasan. Lembaran
kuning telah tersirat di kaki langit. Tak lama setelah itu, matahari menukik
tajam. Peluit pria-pria yang bertugas dengan lantang meniupkan perintah. Panggilan
kepada mereka yang memakai underwear, yang masih berselancar di bawah sunset
orange
.
Tampak
beberapa bule berlari ke daratan. Langkah mereka gagah. Pahanya berisi
otot-otot terlatih. Dada mereka bidang. Lengan gempal. Seksi dengan underwear sehabis surfing di Pantai Kuta yang indah dan adem. Jika boleh
membandingkan, ombak di pantai ini memang memiliki irama yang lebih lembut,
mendayu semerdu piano lagu slow. Hentakannya satu-satu dengan bunyi khas
dan dentuman yang tak garang seperti pantai yang pernah saya temui selama ini. Ombak
tempat para surfer mengalunkan keseksian mereka, naik turun seirama
dengan detak jantung mereka yang hati-hati dan penuh pertimbangan akan
keselamatan.
Surfing adalah aktivitas yang indah di Pantai Kuta, Bali – Photo by Bai Ruindra
Mereka
yang meniup peluit, pawang laut di Pantai Kuta menghalau semua
orang yang masih mandi di bibir pantai. Matahari yang terlihat lembut dan manis
tampak garang sedetik kemudian dengan panasnya masih terasa. Pawang laut itu
sesekali menarik lengan anak bule untuk keluar dari bibir pantai. Rupanya,
inilah aturan yang berlaku di Pantai Kuta. Sunset mengucap salam, saat
itu juga semua orang tidak dibenarkan lagi mandi atau berselancar!
“Itu
pawang laut?” tanya saya.
“Begitulah
kira-kira,” jawab Pandu.
Peran
yang begitu penting untuk sebuah tempat wisata. Memang, pawang laut ini bisa
menjadi bagian kecil dari keindahan alam di pantai. Seorang pawang yang
bertugas di bibir pantai begini membuat semua wisatawan aman dan terjaga. Patut
kiranya peran ini mengambil andil besar dalam hal keselamatan wisatawan.
“Mereka
selalu ada ya, Pan?”
“Iyalah,
Bang. Mereka jaga-jaga di sini!”
Menikmati orang surfing di Pantai Kuta, Bali – Photo by Bai Ruindra

Jaga-jaga.
Tapi ya bukan penjaga bule yang memakai underwear saja. Mereka menjaga agar
wisatawan tidak melewati batas sehingga akan pulang dengan selamat. Kamu tahu
pasti bahwa pengunjung pantai ini rata-rata mereka yang bukan berasal dari
Bali. Hampir semua orang menginginkan kaki terinjak di Bali. Aroma keindahannya
semerbak kasturi. Wisatawan lokal dan mancanegara berbondong-bondong mendekati
Bali. Kekhawatiran seperti ini telah dicemaskan oleh pemerintah Bali sehingga
menitipkan beberapa pria sebagai pawang di pantai yang membentang sampai ke Bandara
I Gusti Ngurah Rai. Dari sini pula kita bisa melihat pesawat yang sedang take
off
atau landing. Di senja begini, pesawat yang baru saja tiba dan
berangkat seperti kerlap-kerlip lampu disko di atas awan. Indahnya tentu tak
terkira dan manis semanis madu menjelang istirahat malam.
Sunset telah tenggelam
sempurna di Pantai Kuta. Wisatawan pun gerak jalan ke penginapan masing-masing,
atau bersantai lagi di kafe-kafe mewah dan mahal di seputaran pantai ini. Kafe-kafe
itu telah menghidupkan lampu-lampu di segala sudut. Campur aduk antara
kelembutan dan romantisme malam. Pawang laut yang tidak saya hapal wajahnya
juga tidak terlihat lagi di bibir pantai yang sepi. Sunyi yang seketika
menimbulkan auman romantis saat ombak memecah pasir satu persatu.
Seorang bule yang tampak kelelahan setelah surfing – Photo by Bai Ruindra

“Ayo
kita pulang!” Karena kisah Jalan-Jalan dengan pantai indah Kuta, Bali, telah berakhir sampai di sini, nanti, di waktu yang tak tentu, mungkin bisa bersua kembali!
Categories
Uncategorized

Kursi Kuning di Ruang Tunggu Keberangkatan Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali

Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali
Kursi kuning yang menggoda di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali – Photo by Bai Ruindra
Buru-buru,
saya dan Sandi ke Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, di pagi
11 September 2016. Udara pagi yang sejuk, perut yang telah terisi dengan menu
sarapan spesial di Bliss Surfer Hotel
, siap saja menerima penerbangan
bersama Garuda Indonesia, menuju Jakarta lalu ke Banda Aceh.
Saya
dan Sandi berpisah di pintu keberangkatan. Saya yang memiliki jadwal
penerbangan pukul 09.00 waktu Bali, harus segera melakukan check in. Sandi
harus sabar menunggu di siang hari dan katanya berimbas delay selama 2
jam. Saya baru mendarat di Aceh, Sandi juga baru saja mendarat di Surabaya
sebelum melanjutkan perjalanan ke Malang keesokan harinya.
Saya
langsung saja mengantri di konter check in Garuda Indonesia yang telah
berstatus open. Tentu saja setelah mengalami pemeriksaan awal di pintu
masuk. Antrian yang memakan waktu sepuluh menit itu saya gunakan untuk menengok
kiri kanan. Luasnya Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai ini semakin terasa.
Saya
mulai harap-harap cemas seperti jetlag, ada-ada saja memang namun itu
menjadi keharusan dalam diri saya sebelum memulai penerbangan. Tiba saat
menyerahkan print out tiket dan kartu identitas kepada petugas yang
ganteng itu, saya semakin didera cemas. Meledak-ledak sampai lupa tengah berada
di keramaian dan kesibukan masing-masing orang mengejar waktu agar tidak ketinggalan
pesawat.
Boarding pass saya
pegang dengan semangat. Mual yang mendera seakan-akan memuncak sampai ke batas
tertentu. Pikiran yang kalut kian berkonsentrasi penuh karena saya harus menuju
pintu ruang tunggu yang tertera, Gate 1C. Di mana dan bagaimana saya harus
sampai ke sana, saya mesti menapakkan kaki di lantai licin bersama calon
penumpang lain yang semua terburu-buru.
I
Gusti Ngurah Rai di Bali ini memang termasuk bandar udara internasional, tidak
hanya sebutan saja namun juga kesibukan yang saya rasakan. Orang-orang yang
menuju satu arah, sama dengan saya, hanya mencari pintu ruang tunggu untuk
merasa aman. Saya mulai melangkah. Kembali bermain dengan pemeriksaan barang
dan orang. Tali pinggang dilepas. Smartphone dimasukkan ke dalam
keranjang untuk melewati mesin X-Ray yang gagah dan angkuh. Ransel juga
ikut-ikutan terdorong masuk. Saya juga harus membentang tangan melewati ‘pemeriksaan’
ketat ini.
Bandar
udara kelas internasional ini membuat mata terpana. Ciri khas Bali masih sangat
terasa sampai-sampai saya lupa rasa mual yang mendera. Saya arahkan kamera smartphone
ke segala sisi. Setiap sudut yang terasa manis ini tidak mungkin saya lewatkan
begitu saja. Gambar-gambar di baliho besar memperlihatkan Pesona Indonesia yang
melankolis dan manis. Patung-patung berdiri genit dengan peran sebagai penari
Bali profesional. Lampu temaram menjadi suasana romantis di sepanjang lorong
menuju ruang tunggu keberangkatan.
Toko-toko
souvenir yang berjajar seperti saya berada di dalam gedung pusat perbelanjaan. Aneka
barang dijual; makanan dan pernak-pernik khas Bali yang enggan saya tanya.
Firasat
tidak baik mendera isi kantong jika berbelanja di bandara. Arena bermain
anak-anak terlihat begitu menggoda dengan kursi, boneka dan mobil-mobilan. Saya
terus melangkah cepat.

Herannya,
saya kok tidak menemukan pintu keberangkatan sesuai dengan gate
yang tertulis di boarding pass. Pegalnya terasa seperti mengitari
Terminal 3 Ultimate Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Rasanya nggak
sampai-sampai ke tempat duduk yang membuat badan saya lebih manis dalam kusut.
“Itu
dia!” seru saya saat melihat papan nama berwarna kuning dengan tulisan putih di
dalam kotak merah persegi empat. Arah panah naik ke atas. Saya harus melaju ke
situ. Lorong yang remang, toko souvenir yang sepi pengunjung membuat saya
benar-benar terasa sendiri. Nikmat di satu sisi namun kesepian di sisi lain.
Orang
yang lewat tidak memedulikan saya. Ada yang mendorong koper ukuran 15 kilogram.
Ada yang santai dengan tas kecil. Ada pula yang kesusahan dengan ransel besar. Anak-anak
berlarian menuju gate yang telah terlihat nyata di depan mata.
Departure
Gate
1C!” seru saya dalam hati, pura-pura pintar berbahasa Inggris. Di sini
saya akan menunggu penerbangan dengan sabar. Deretan kursi terlihat rapi. Saya melangkah
persis ke depan tulisan Pintu Keberangkatan 1C. Kiri adalah kamar kecil dan di
dekatnya terdapat komputer untuk akses internet. Belakangan, saya coba akses
namun koneksi bermain cantik sampai saya lelah menanti loading dan baru
terbuka lima menit kemudian. Saya bergaya buka blog dan melihat tampilannya di
desktop itu. Cantiklah untuk ukuran blog dari blogger newbie traveler.
Kanan
dari saya berdiri adalah pintu keluar menuju pintu pesawat. Dan di depannya,
kursi kuning itu berhadap-hadapan dengan manja. Ah, seandainya sedang jalan
berdua, duduk di atasnya dengan secangkir teh di pagi hari tentu terasa lebih
syahdu. Khayal yang membahana ke langit Bali dan nyangkut di antara atap
bandara karena tak rela lepas landas menjumpai rindu kepadanya.
Kursi
kuning ini tergolong unik dan menarik. Kursi ini seperti berada di dalam sebuah
rumah kecil dengan atap segitiga. Atapnya yang seperti piramida terlihat
seperti kayu alami. Lampu putih yang hidup dari dalam kotak kayu persegi
panjang menambah aroma romantis dan kehangatan. Meja kayu mengilap sangat cocok
untuk menopang lengan lelah. Di bawah kursi yang empuk terdapat colokan listrik
untuk siapa saja yang butuh pengisian daya alat elektronik.
Saya
mengintip ke arena ‘permainan’ pesawat terbang. Tampak kokoh gapura dengan
patung penjaga kiri dan kanan. Sayangnya, kami tidak turun melalui pintu bawah
namun langsung menuju ke dalam corong ke pintu pesawat. Petugas bandara telah
bersiap untuk membuka pintu keberangkatan. Suara panggilan terdengar indah
sekali. Saatnya pulang, kapan-kapan mungkin saja akan kembali, bisa saja di
waktu honeymoon nanti!
Categories
Uncategorized

Masjid Besar Al-Hidayah di Tepian Pura Ulun Danu Bratan Bali

masjid di bali
Masjid Besar Al-Hidayah di Bedugul, Bali – Photo by Bai Ruindra
Masjid di Bali? Barangkali,
ini tanda tanya yang besar sekali dalam diri saya. Bali dikenal sebagai
negerinya wisata, mayoritas beragama Hindu dan tentu saja ‘kebebasan’ menurut
definisi masing-masing. Apa yang saya pikirkan kemudian berubah total saat
menemukan masjid-masjid
di Bali
. Masjid Sudirman di Denpasar, Bali, menjadi masjid pertama yang
membuat saya kagum. Belum pernah saya merinding melihat masjid yang ramai dan
sesak di waktu salat Jumat, 09 September 2016. Alasannya tentu saja karena ini
Bali, Kawan. Kamu tahu sendiri apa, mengapa dan bagaimana rupanya Bali; dari
literasi bahkan dari kunjungan kamu sendiri.

Kagum
dan bulu kuduk kembali berdiri di keesokan harinya, di tepian Danau Bratan,
Bedugul, udara yang sejuk, angin menyalak-nyalak, jalanan padat menanjak, dan
wisatawan yang ramai, saya berdiri di depan salah satu masjid yang bangunannya
sungguh indah. Bersama Sandi dan Pandu, kami menaiki anak-anak tangga untuk
mencapai masjid ini. Masjid ini berada lebih tinggi dari bangunan lain, saat
memasukinya seperti meninggalkan bekas pada bangunan di samping kiri dan kanan.
Hempasan badan dan hentakan kaki yang melankolis begitu sampai di atas sana. Bangunan
bercita rasa Timur Tengah berdiri kokoh dengan menara khas dan menghadap ke
danau kebanggaan masyarakat Bedugul.
Masjid
Besar Al-Hidayah di tepian Danau Bratan, di antara ramainya wisatawan yang
melihat pura dan candi di Pura
Ulun Danu Bratan, di ikon uang Rp.50.000
dengan segenap keelokan dan
keangkuhannya. Masjid ini begitu gagah dan kokohnya. Keindahannya berasa negeri
padang pasir. Warna keemasan yang menawan. Kaligrafi yang indah. Kesejukan yang
terasa menusuk sampai ke tulang rusuk yang enggan saya jabarkan kembali.
Ke
mana-mana, adalah masjid tempat untuk kembali bagi kami seorang muslim. Kebetulan,
kami sampai di Danau Bratan pada 10 September 2016 di siang hari. Namun, jika
pun bukan pada siang hari – waktu salat – kami pun akan menyambangi rumah Ilahi
ini untuk memanjatkan syukur telah sampai ke Pulau Dewata. Hawa yang terasa
begitu syahdu, saya seperti terasing di negeri yang menjelaskan keislaman
secara abstrak. Terasing ini karena sepi di dalam masjid padahal azan baru saja
dikumandang. Sepi yang lain karena inilah ‘rumah’ untuk kami bersenang-senang,
beristirahat, mengadu dan meminta pertolongan jika kaki salah melangkah.

Saya
dan Sandi mendapat kesempatan untuk salat berjamaah, sementara Pandu menjaga
barang-barang bawaan kami. Salat berjamaah yang diisi satu saf saja ini pun
terasa khidmat dan khusyuk. Pikiran saya mengangkasa dan seakan-akan telah
kosong untuk kembali ke bumi. Wudhu yang telah dilakukan dengan air
sedingin es menambah kesejukan hati. Makna yang tersirat dari setiap doa yang
saya panjatkan seperti benar telah dikabulkan pada saat itu juga.

Bersantai
sejenak di saung yang menghadap ke Danau Bratan menimbulkan kesan lebih
mendalam. Sambil menunggu Pandu salat, kami mengitari masjid dan melihat-lihat
sana-sini. Di saung kecil tersebut, rombongan dari Makassar bercerita sambil
tertawa. Di pagar menghadap ke Danau Bratan, dua perempuan yang memakai cadar
saling bertukar foto dan selfie. Saya dan Sandi juga tak henti-henti
memotret keindahan dari atas sini. Boat yang melaju kencang di Danau
Bratan, memecah air danau seperti Tongkat Musa.
Perpaduan
yang nyata sekali di depan saya. Di bawah sana, orang-orang bersenang-senang
dengan keindahan alam Bali. Di atas ini, siapa saja yang terpanggil, dengan
segenap imannya datang menunaikan kewajiban dan berdoa untuk keselamatan.

Masjid
Besar Al-Hidayah terletak persis di tepian Danau Bratan. Kamu yang baru pertama
sekali ke sini dan tidak menggunakan guide pasti akan kebingunan. Namun,
masjid ini gampang sekali untuk ditemukan. Dengan jarak kira-kira
setengah kilometer dari pintu masuk ke Pura Ulun Danu Bratan, kamu bisa melihat
menara masjid di atas ketinggian sebelah kanan. Hal yang paling mudah kamu
lakukan adalah bertanya kepada orang-orang di sekitar agar dapat menemukan
pintu masuk ke dalam masjid.
Kamu
bisa bersantai sejenak di Masjid Besar Al-Hidayah sebelum memulai penjajakan
wisata di Pura Ulun Danu Bratan. Di lokasi masjid juga terdapat kamar mandi dan
toilet. Saung yang menghadap ke danau juga dapat digunakan sebagai tempat
berleha-leha.

Bali
dan semua yang dimilikinya telah mengantarkan saya kepada rasa takjub dan
kagum. Bicara Bali, tidak selamanya tentang sisi negatif. Satu saja kata kunci,
di manapun dan kapanpun, hanya kita sendiri yang memberi nilai negatif dan
positif!
Categories
Uncategorized

Cari Makanan Halal di Bali, Colek Saja Ayam Betutu Bu Agung Ulan

ayam betutu halal di bali
Ayam Betutu yang pedas dan khas di Bali – Photo by Bai Ruindra
ke Bali, ada nggak ya makanan halal?
Pertanyaan
yang wajar mengingat Bali merupakan salah satu destinasi yang didominasi oleh
umat Hindu. Kuliner halal tentu masuk ke dalam catatan paling atas. Pandu sebagai
guide dadakan juga telah memberikan list tempat makan yang layak
untuk saya, dirinya, dan Sandi.

Baca Juga

Bliss
Surfer Hotel Kuta Bali, Area Surfing untuk yang Belum Bisa Berenang
 

Saya
sempat berpikir akan susah sekali mendapatkan makanan halal di Bali. Saat sarapan
di penginapan
saja, saya sedikit deg-degan dan menyenggol Sandi. Penginapan
kami hampir semua dihuni oleh bule – turis luar negeri. Sejak check-in pada
malam harinya, kami belum bertemu dengan turis dalam negeri. Sandi tampak enjoy
menyantap breakfast yang benar-benar enak di penginapan endorse
kami tersebut.
Sehari
sebelumnya, 09 September, kami telah mampir ke salah satu warung makan yang
sempit, tertata seadanya, sepi dan tentu saja nyaman. Kekhawatiran saya akan
makanan tidak halal di Bali sirna sudah. Tenang saja, ada kok warung
makan halal di sudut-sudut kota tersembunyi. Asalkan jeli, kamu nggak akan nyasar
ke warung makan tidak halal.
Warung
makan ini terletak di Jalan Tukad Pakerisan, Panjer, Denpasar, Bali. Di pintu
masuk saja telah terlihat dengan jelas nama warung makan ini. Begitu duduk di
kursinya yang sederhana, keraguan itu benar-benar sirna saat wanita berjilbab
menghampiri. Warung Ayam Betutu Muslim Bu Agung Ulan bukanlah warung makan
berbintang dengan aneka makanan mahal. Warung makan ini cocok untuk
mengenyangkan perut kami; saya, Sandi, Pandu, Triadi dan Bli Kangin, driver
kami.
“Ayam
betutu itu seperti apa?” tanya saya. Agak lugu dan sebenarnya memang tidak
paham dengan nama kuliner ini.
“Lihat
saja nanti,” ujar Pandu.
“Sama
dengan ayam penyet?” kejar saya lagi.
“Beda!”
tegas Pandu.
“Beda
dia,” Sandi seakan-akan tahu juga kuliner yang akan kami santap nanti.
Celoteh
demi celoteh anak muda dalam kondisi perut keroncongan terjadi. Pikiran saya
benar-benar belum tenang sebelum sepiring nasi, ayam betutu, sambal yang pedas
itu sampai ke depan mata. Aromanya terasa khas. Ayam Betutu dibumbui dengan
kuah yang dikecap pedas walaupun telah saya sampaikan jangan terlalu pedas. Dasar
lidah yang tidak bisa merasakan pedas, saya tetap pedas meskipun mereka yang
lain terbahak saat mencicipi kuah di piring saya. Sandi lebih tertantang untuk
merasakan kuah Ayam Betutu dengan porsi sangat pedas. Tidak hanya itu, Sandi
juga mencolek sambal di piringnya dan di piring saya dengan lahap. Saya kira,
orang Jawa itu nggak begitu suka makan pedas. Sandi kok mau makan pedas?
– lupa saya tanya kepadanya waktu itu.
Ayam
Betutu disajikan dengan lebih besar dibandingkan dengan ayam penyet. Satu porsi
Ayam Betutu yang dijual sebesar 30 ribu dipotong besar-besar, baik dada maupun
paha. Untuk saya yang tidak banyak makan, satu porsi Ayam Betutu bisa disantap
sendirinya tanpa ditambah nasi. Bisa ditebak, saya menyisakan sedikit nasi
karena terlalu lahap menyantap Ayam Betutu. Mau meninggalkan potongan paha ayam
itu, kasihan telah bayar mahal, oh bukan yang itu, rugi benar karena di Aceh
saya tidak akan mendapatkan Ayam Betutu yang sama dengan di Bali, mungkin saja
di Aceh belum ada yang jual Ayam Betutu.
Ayam
Betutu terasa lebih istimewa di lidah saya. Barangkali karena ini kali pertama
saya merasakan kuliner ini. Satu kekurangan di lidah saya adalah makanan ini
terlalu lembek. Saya lebih menyukai ayam yang sedikit keras seperti ayam
kampung. Namun kuah dan sambal dari Ayam Betutu ini benar-benar belum pernah
saya rasakan. Kuahnya pas, semua bumbu terasa menusuk sampai ke daging ayam
yang lembut. Tulang-tulang ayam pun rasanya enggan untuk dibuang saking bisa
dikunyah.

Baca Juga

Keheningan
Pura Taman Ayun di Bali yang Eksotik danKental Ajaran Hindu

Bali
tidak selalu menyuarakan tentang panorama yang indah. Kuliner yang membuat
lidah bergoyang juga patut dicoba. Kamu yang seorang muslim tentu tak perlu
khawatir karena di Bali banyak sekali warung makan yang menghidangkan kuliner
halal. Cukup pasang mata dengan jeli, lirik kiri dan kanan, baca yang teliti,
kamu akan menemukan warung makan halal. Eh, bisa juga kamu searching di smartphone
mewah itu tempat makan halal di Bali.
ke Bali dan berburu kuliner halal, boleh kok kamu coba!