Categories
Uncategorized

Begini Tipe Wanita yang Mencampakkan Harga Diri Pria

Sabtu
selalu menarik untuk kongkow-kongkow. Tempat mangkal paling asyik
dan menguras isi dompet adalah warung bakso. Siapa sih yang nggak suka
bakso? Biar dikata banyak inilah, itulah, bakso tetap saja langganan mereka
yang kenyang dan lapar beneran!
Ilustrasi.

Kami
duduk manis menanti bakso disajikan. Aroma kuah bakso lumayan sedap. Para pembeli
datang tak keruan. Beragam usia menikmati sebongkah bakso dengan lahap
diselingi gelak tawa. 



Di kelompok kami pun tawa itu tak padam. Entah karena
suara perut atau memang suara isi hati yang ingin melepas lara. Celutuk-celutuk
kian menjadi-jadi sampai si Cantik kembali mengeluarkan “fatwa”nya yang
aduhai.

“Aku
males banget ke gym lagi, cowok-cowok itu pasti lihatin
aku terus pas pulang!”
Kawan-kawan
si Cantik yang merasa diri cantik pun menimpali seadanya. Saya mengetuk-ngetuk
meja sambil menunggu semangkuk mi ayam, berhubung rasa bakso tidak begitu
diterima dengan baik oleh perut.
“Pacarku
pun ngelarang,” sambung si Cantik. Cerocosnya kian panjang. Maksud si
Cantik komporin hal-hal begitupun entah untuk apa. Si Cantik terdengar
cukup bangga dengan kondisi apapun yang dimilikinya. Saya tak mau menilai
sebatas fisik karena itu sangat relatif. Cantik menurut saya belum tentu cantik
menurut orang lain.
“Bagaimana
pendapatmu, Bang?” tanya si Cantik.
“Apa
cowok itu kerjaannya cuma melototin cewek cantik?” geram juga saya
dengan anggapan-anggapan si Cantik. Wajar dong saya membela kaum
sendiri. Toh, nggak cuma kali ini saja si Cantik buat tingkah.

Berulangkali
si Cantik merasa bahwa dirinya sangat didiam-diamkan oleh semua pria. Poin cowok-cowok
yang lihat dia terus sepulang gym
itu nggak masuk akal bagi saya. Saya
balik bertanya karena saya merasa bahwa tempat gym bukan untuk
pamer-pamer  diri bermake-up
tebal. Lagian pria yang dimaksud si Cantik berapa orang sih?

Apakah semuanya
ganjen? Apakah semuanya nggak setia? Apakah semuanya mata keranjang? Apakah
semuanya jomblo? Apakah semuanya sudah menikah? Ingin saya utarakan rentetan
pertanyaan tersebut namun urang saya lakukan.

Bahkan, pertanyaan berikutnya
muncul. Apakah cuma dia saja yang “cewek” di tampat gym itu? Apakah
hanya dia saja yang merasa diperhatikan? Bagaimana dengan cewek lain?

Selera orang – pria – beda-beda lho Cantik!

Salah
besar jika si Cantik berhenti gym karena diperhatikan pria-pria yang dia
maksud.
Ocehan
si Cantik di warung bakso itu tidak bisa saya percaya seutuhnya juga didukung
dengan perkara lain. Pada kesempatan sebelum ini, si Cantik dengan tegas
menjelaskan bahwa rata-rata pria ganteng itu mantan dia!

Hampir semua pria yang
ada di akun facebook si Cantik adalah mantan pacar yang telah dia buang,
walaupun pria ganteng tersebut sedang menggendong bayi. Manipulasi data si
Cantik ini terkuat saat seorang cantik lain sengaja memancing di air bening.

Temannya
si Cantik ini, juga teman saya, berteman dengan pria yang lumayan ganteng di
facebook dan “mantannya” si Cantik. Saking kesalnya teman saya dengan
cerita-cerita si Cantik yang mengaku kencan di tempat-tempat romantis dengan
pria ganteng tersebut, teman ini dengan tegas bertanya kepada si pria. Jawabannya?

Siapa dia?

Waktu
itu, kami tidak mempersoalkan kejadian ini. Tidak pula menganggap angin lalu. Pengakuan
pria ganteng yang tidak mengenal si Cantik menjadi cambuk untuk kami menilai
dirinya lebih dekat. Kejadian demi kejadian lain pun menyusul. Si Cantik dengan
bangga memaksa kami mendengar ucapannya.
“Oh,
dia. Mantan aku tuh!
“Dia
cemburuan makanya kami putus,” ucap si Cantik seminggu sebelum pacaran dengan
pria lain.
“Ego
kali dia, kuputusin saja!”kata si Cantik sebulan putus dengan si
cemburuan.
Seakan-akan
tak ada hari baginya untuk sendiri. Si Cantik seperti dikangkangi oleh pria
manapun yang dikenalnya, padahal belum tentu pria itu mau dengannya. Seolah-olah
hanya dia wanita yang layak dilirik pria, sedangkan wanita lain ke laut
aja!
Kembali
ke warung bakso di mana meja kami telah penuh terisi mangkuk. Suara si Cantik
cukup dominan di antara kami. Tiba-tiba seorang pria tegap, dada bidang, kulit
mulus dan wajah putih bersih berdiri di meja kasir. Pria itu sedang memesan
bakso rupanya.
“Aduh…,
aku pernah dekat sama abang itu!!!” pekik si Cantik tertahan.
“Siapa
sih yang nggak pernah dekat sama kamu,” ujar teman kami yang tinggi
semampai.
Samperin
terus,” ujar yang lain.
“Perlu
bantuan? Aku siap kok!” tawar teman kami yang ceria.
“Apa
perlu kutanya dia kenal atau nggak sama kamu!” kata teman yang mengetahui si
Cantik sering berbohong.
“Jika
semua pria dekat sama kamu, berapa banyak sperma mereka di rahim kamu sekarang?”
tanyaku. Semua diam. Si Cantik merah padam. Sekonyong-konyong pertanyaan saya
menggariskan fakta teramat perih. Pria punya harga diri kok Cantik! Nggak asal
wanita kami caplok!
Categories
Uncategorized

Lebih Baik Bertanya Daripada Ditinggal Pesawat

Kepak sayap yang gagah di langit Sumatra menuju Jawa dalam sinaran sinar matahari yang mulai tenggelam dan gumpalan awan putih seperti permandani – Photo by Bai Ruindra

Bagaimana rasanya ditinggal pesawat?

Saya
selalu khawatir tiap kali bepergian dengan pesawat terbang. Kekhawatiran ini
wajar karena saya tidak mau “rugi” dan harus membeli tiket baru apabila pesawat
dengan nomor penerbangan di tiket sebelumnya telah berangkat. Manusiawi
ketakutan ini mendera saya – mungkin juga Anda – karena banyak alasan sehingga
tidak mau mengeluarkan biaya lain. Dan saya, kebanyakan naik pesawat itu karena
berkah dari menulis. Artinya, lebih sering “kantong kosong” selama perjalanan.
Bisa dibayangkan nasib saya apabila tiket pesawat hangus dan saya nggak ada
biaya lain untuk membeli tiket baru!
Bahkan,
untuk orang berada – kaya – sekalipun tidak mau mengeluarkan biaya lain untuk
membeli tiket baru karena biaya yang harus dikeluarkan lumayan besar. Harga
tiket pesawat tak sama dengan angkot dalam kota. Satu tiket pesawat kelas
ekonomi minimal – rata-rata – satu jutaan. Dengan biaya segitu besar, saya bisa
hidup selama sebulan di kampung. Efek hidup penuh perhitungan beginilah
jadinya. Namun perhitungan itu penting banget dari pada nyesal
dan merugi di kemudian hari.
Akhir
November 2015, saya kembali menuai berkah dari menulis dengan diundang ke
Jakarta oleh salah satu perusahaan teknologi asal Taiwan. Keberuntungan ini
bagaikan undian yang telah lama saya idam-idamkan. Keseringan menulis review
produk mereka akhirnya undangan tersebut nyasar juga ke alamat email
saya. Acara sehari semalam itu penuh dengan launching produk smartphone
terbaru, mulai dari kelas menengah sampai premium. Gemerlap acara
begitu menggugah hati anak kampung ini yang baru sekali duduk manis menyaksikan
penyanyi terkenal mendendangkan lagu indah di panggung utama.
Lepas
dari acara tersebut, saya tidak langsung pulang karena ingin menikmati suasana
Ibu Kota. Dua hari jalan-jalan di Jakarta membuat saya senang bukan kepalang. Rasanya
ingin teriak sekencang-kencangnya biar semua orang tahu saya telah sampai di
Jakarta. Agak norak memang episode ini. Namun yang lebih noraknya lagi saat
saya mengabarkan berita maha penting kepada saudara tempat saya numpang makan
dan tidur.

“Kamu
sih berlagak orang kaya, naik pesawat yang nggak pernah kami pesan!” ujar
Yus begitu saya kasih tahu nama pesawat yang menerbangkan saya kembali ke Aceh.

Saya
terkekeh sambil berujar, “Tiket gratis!”
Malam
sebelum keberangkatan, saya mencari jalan keluar untuk sampai ke Terminal 2,
Bandara Soekarno-Hatta, tepat waktu. Yus yang tidak pernah mengantar penumpang
bahkan jika pulang ke Aceh pun belum pernah menggunakan pesawat “plat merah”
ini, mengatakan dengan jujur tidak tahu jalan masuk ke terminal tersebut.
Kemudahan internet saya pergunakan dengan baik.
Pertanyaan pertama saya ajukan kepada Google Maps!
Saya
membuka aplikasi Peta milik Google yang telah terinstal otomatis di smartphone
dengan penuh semangat. Saya cukup yakin bahwa Maps tidak akan membuat saya nyasar,
apalagi di kota besar dan ke tempat yang tiap saat dikunjungi orang. Maps
secara otomatis langsung membaca keberadaan saya dan cukup memasukkan tujuan
untuk diarahkan melalui peta online ini. Tahap pertama, Maps
cukup membantu kami dalam mengejar pesawat yang selalu on time tersebut.
Pagi
Senin yang cerah, kami bergegas menuju bandara. Kami memilih berangkat sekitar pukul
9 pagi untuk mengejar jadwal keberangkatan pukul 12 siang. Perjalanan di dalam
kota aman karena Yus paham betul jalan tikus. Tetapi saya tetap mengaktifkan
Maps supaya kami benar-benar terarah. Masuk ke dalam tol menuju bandara,
barulah Yus melirik Maps karena jalan tersebut memang “awam” baginya. Walaupun
sesekali Yus nyelutuk, “Itu jalan ke terminal kita kok,
maksudnya ke Terminal 1 B.

Yus
memutar kendaraan menuju Terminal 2 sambil sesekali bertanya sudah benar arah
yang ditunjukkan oleh Maps. Kendaraan silih berganti berhenti di depan terminal
keberangkatan. Dari papan nama tertulis bahwa kami telah memasuki Terminal 2
Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Perasaan cemas selama perjalanan
telah terobati karena kami tidak terlambat. Sayangnya, Yus memarkirkan
kendaraan di depan Terimal 2 D yang ternyata bukan terminal untuk penerbangan dalam
negeri. 
Pertanyaan kedua adalah pada orang di dekat tempat tujuan.
Maps
saja tidak cukup. Begitu sampai ke dekat lokasi tujuan, sebaiknya bertanya pada
orang yang berlalu-lalang. Apabila ada petugas keamanan misalnya, dia adalah
sosok terhebat dalam menunjukkan arah.
Saya
turun di depan Terminal 2 D dan tergopoh-gopoh menghampiri petugas bandara. Yus
memaksa saya bertanya, katanya saya lebih bagus berbicara dengan orang asing
dibandingkan dengannya. Padahal, baru kali ini saya ke Jakarta dan Yus telah
puluhan tahun menetap di sini.  

“Maaf,
Pak. Penerbangan domestik terminal berapa ya?”

“2
F, Mas,” ujar petugas muda itu sambil menunjuk ke depan. Di sana tampak papan
nama Terminal 2 F dan kendaraan parkir silih berganti.
Seakan
waktu cepat sekali berlari. Orang-orang di bandara terlihat tak ada yang jalan
santai. Semua tergesa-gesa. Semua nggak peduli dengan sekitar. Semua
sibuk membereskan barang bawaan. Semua memegang selembar kertas sebelum masuk
ke dalam terminal keberangkatan.
Saya
kembali duduk di samping Yus yang sepertinya lelah menyetir akibat kemacetan
sepanjang jalan. Saya menunjuk ke Terminal 2 F dan dengan tersendat-sendat
kendaraan kami melewati kendaraan lain yang sedang menurunkan penumpang.
Kendaraan
kami terparkir. Saya turun. Yus juga turun. Takut salah langkah, saya kembali
bertanya pada petugas yang berdiri di depan terminal keberangkatan itu.

“Maaf,
Pak. Benar terminal ini untuk penerbangan domestik?”

“Benar.
Silakan check in!” ujar petugas itu sambil mengarahkan tangan ke dalam. Dengan
cepat Yus menurunkan bagasi dan kami pun berjabat tangan seadanya. Lambaian
tangan saya pun telah sirna karena Yus bergegas meninggalkan bandara dan saya
telah berhadapan dengan “robot” pendeteksi barang bawaan penumpang.
Saya
bernapas lega setelah check in dan menerima boarding pass. Sisa
waktu setengah jam lagi saya pergunakan untuk beli roti dan ke cuci mata ke toko
buku.
Menikmati suasana Terminal Keberangkatan 2 F yang tidak begitu sesak; membeli sepotong roti dan cuci mata di toko buku – Photo by Bai Ruindra
Menatap jalan menuju ruang tunggu di ruangan yang sejuk dan sepi – Photo by Bai Ruindra
Pulang ke Aceh lewat sini, jelas dan nggak perlu tanya-tanya lagi – Photo by Bai Ruindra
Saran
saya, apapun jenis smartphone milik Anda saat ini, peta online seperti
Google Maps wajib terpasang. Pada orang yang lalu-lalang mungkin masih malu
bertanya, tetapi pada Maps yang hanya kita sendiri yang tahu jangan ragu
untuk bertanya
. Bertanya pada Maps bahkan lebih akurat dengan penunjuk
jalannya. Teknologi yang mudah ada baiknya dipergunakan dengan tepat dan
efisien. Anda bisa bertanya kepada orang begitu sampai ke titik tujuan saat
Maps telah berhenti menunjuk jalan. Apakah itu nomor rumah, nama tempat yang
ingin disinggah dan lain-lain. Maps hanya memberikan gambaran umum saja namun
sangat membantu mereka yang tidak ingin nyasar.
Screenshot Google Maps for Android. Penunjuk jalan menuju Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Tidak begitu detail karena dicaption baru-baru ini bukan saat melakukan perjalanan di November lalu – Caption by Bai Ruindra
Lebih
baik bertanya dari pada kehilangan tiket pesawat. Saat seperti ini bukan saja
soal waktu namun materi yang harus dipertaruhkan. Sebuah tanya – sesederhana apapun
– tetap bermanfaat. Tak hanya orang saja, internet pun bisa menjawab semua
pertanyaan selama Anda dalam perjalanan. Masih malu bertanya? Atau
lebih memilih mutar-mutar dulu sampai budget terkuras baru mulai
mencari celah. Stop! Bertanya tak hanya menghemat waktu namun tenaga
dan biaya.

Malu
bertanya jalan-jalan dulu deh nggak apa-apa, siapa tahu ketemu yang
bening-bening! #gubrak. 

***