Categories
Uncategorized

Sebungkus Jamblang

Di saat masyarakat khususnya
generasi muda terlena dengan warung kopi berfasilitas internet gratis, potret
yang sangat menarik dan menjadi fenomenal di Banda Aceh tiap tahun adalah sosok
perempuan di pinggir jalan raya. Bagi saya, potret ini tidaklah bisa dipandang
sebelah mata karena setiap senyum, tawa dan candaan mereka bisa menghasilkan
sesuatu yang rasanya manis, asam maupun asin.

Perempuan-perempuan ini
menjajakan buah berry ungu khas Aceh,
atau lebih dikenal dengan sebuah buah jamblang, dalam Bahasa Aceh disebut Boh Jambe Kleng. Masyarakat yang
lalu-lalang di seputar jalan utama menuju Darussalam, Banda Aceh, sudah tidak
asing dengan penjaja buah yang jika disantap akan membuat lidah maupun gigi
berubah jadi ungu. Di antara mereka yang menjadi penjual, banyak kisah menarik
sehingga tercipta suasana lelah, sabar dan bersaing secara objektif bersama sesama penjual lainnya.
Suasana menarik justru hadir
dari mereka yang datang jauh-jauh ke pusat Ibu Kota Provinsi hanya untuk
mendapatkan peruntungan. Musim jamblang menjadi satu-satunya alasan mencari
rejeki lebih dari pada berdiam diri di rumah tanpa melakukan pekerjaan. Menjual
sebungkus jamblang dengan harga Rp.5000,00 saja bisa membuat dapur mereka tetap
mengepulkan asap di tiga kali jatah makan.
Sedikit saya berbagi tentang
mereka, paling tidak bisa membuat kita terpesona sambil mencicipi ngilunya aroma
jamblang!
Kisah Aminah


 Aminah, salah seorang perempuan penjual jamblang di antara segitu banyak perempuan lain
di perempatan jalan Panglima Nyak Makam, Banda Aceh. Jika Anda melewati jalan
sebelum mencapai Hotel Hermes Palace, Anda pasti akan menemui mereka saat musim
jamblang tiba, walau terkadang mereka tidak menetap di satu daerah menikmati
hari-hari dalam sabar menanti pembeli.
Tidak jauh berbeda dengan
perempuan penjual jamblang lainnya, Aminah duduk termenung sambil menjaga jamblangnya
agar tidak terkena sengatan matahari. Jika tidak, Jamblang yang dibawanya dari
jauh akan layu dan tidak enak lagi di makan. Aminah menjual satu bungkus jamblang
dengan harga lima ribu rupiah untuk ukuran plastik seperempat besarnya, bila
sore tiba terkadang sepuluh ribu ia berikan tiga bungkus. Lagi-lagi tidak
sebanding dengan keringatnya menuju tempat jualan ini.
Kebanyakan mereka datang dari
Ujong Batee, pantai indah yang kerap dijadikan objek wisata akhir pekan dan di
sana pula pohon-pohon jamblang banyak ditemui. Aminah juga berasal dari Ujong
Batee, pagi-pagi sekali ia harus bangun membereskan segala keperluan rumah
tangga lantas membeli jamblang dari pemetik. Aminah tidak memiliki pohon
sendiri sehingga harus membeli jamblang pada orang lain yang mempunyai pohon. Aminah
tinggal bersama suami sedangkan anak-anaknya sudah berkeluarga dan tidak
tinggal bersama mereka lagi.
Saya mencoba melahirkan
suasana lebih ringan saat berdiskusi dengan perempuan ini. Sengaja saya
tanyakan padanya, “Kenapa tidak meminta suami petik jamblang, Bu?”
Aminah terkekeh sebelum
menjawab, “Laki-laki kan malas, tidak mau melakukan hal-hal begini!”
“Oh begitu ya?”
“Iya, padahal bisa petik di
pohon orang, jadi kami bisa beli lebih murah!”  
Aminah mengulurkan senyum
dengan manis di antara getir hatinya. Saya pun tidak mau mengubris lebih dalam
lagi isi hati perempuan ini, saya banyak tanya akan membuat banyak pula luka
terbuka di usianya yang ingin bahagia saja.
Sosok Aminah yang tiap pagi
menyusuri waktu agar bisa berjualan jamblang, untuk bisa menopang usia senjanya
bersama suami. Aminah tidak mau bergantung pada anak-anaknya, ia sangat ingin
mandiri di usia yang tidak lagi muda. Dengan menjual jamblang – saat musim – ia
dan suami bisa bernapas lega.
Berada di jalan yang tidak dilalui labi-labi – kendaraan umum di Banda Aceh
akan
membutuhkan banyak biaya. Tidak hanya itu, ongkos labi-labi dari Ujong Batee ke
pusat kota biayanya lebih mahal. Sepuluh ribu untuk pulang pergi, jika jam enam
sore labi-labi sudah jarang beroperasi ke tempat tinggal mereka. Padahal sore
hari begini banyak sekali pembeli yang ingin mengecap rasa
jamblang.
Selain ongkos labi-labi,
tambah ongkos becak sepuluh ribu untuk pulang pergi ke
 di Jalan
Panglima Nyak Makam. Berjalan kaki
menuju tempat jualan ini sangatlah terasa jauh apalagi tengah hari, kebanyakan
mereka mulai berjualan sehabis dhuhur. Karena ini merupakan waktu yang tepat
untuk berjualan, dan pembeli juga ingin memakan buah segar
.
Aminah mengatakan getir hatinya sambil lalu, dengan mata terbinar dan
tersenyum ke arah saya. Sebuah perjuangan yang tidak bisa diriwayatkan oleh
Aminah sendiri. Aminah terlihat sangat tegar menunggu pembeli walaupun
pemasukan yang diterima tidak selayaknya. Aminah mencari sedikit rejeki sebelum
lelah tiba di malam hari. Sedikit demi sedikit ditabung untuk kebutuhan hidup
mereka berdua. Saya tidak bertanya lebih jauh mengenai suaminya, saya pikir
Aminah punya privasi yang tidak
sepatutnya saya langkahi.
“Kenapa tidak ke Darusaalam saja, Bu?”
“Di sana sudah banyak orang lain!”
Saya memahami persaingan dengan penjual lain.
Kisah Zainab

Seperti kata Aminah, di trotoar depan Fakultas Ekonomi, Unsyiah, ada Zainab yang saya temui di hari selanjutnya, jarak
sepuluh kaki ke kiri dan kanan juga terdapat penjual lain. Saya harus membeli jamblang jika ingin
berbicara dengan mereka, tiap hari
beli jamblang bisa-bisa perut saya sakit karena rasa asam melilit perut, namun
karena kisah ini harus saya telurusi mau tidak mau dibeli juga. Mana mungkin
saya hanya mengajak mereka mengobrol panjang lebar sedangkan saya tidak membeli
jajanan mereka.
Zainab juga membeli jamblang
dari pemetik untuk dijual. Tidak jauh berbeda dengan Aminah,
Zainab juga bertutur tidak sempat memetik jamblang, namun ia menambahkan lebih
tepatnya tidak punya pohon Jamblang.
Zainab membeli  jamblang dengan harga 13 sampai 20 ribu per bambu, satu bambu bisa sampai enam mug (1 mug sama dengan 1
plastik isi seperempat). Satu
plastik kemudian dijual dengan harga Rp.5000,00. Belum lagi jika tidak terjual, jamblang berubah tidak enak lagi di makan esok hari dan terpaksa dibuang. Zainab tidak perlu repot membeli jamblang pada agen karena suami setiap pagi sudah membawa pulang
jamblang untuk dijual.
Zainab memilih tempat ini karena banyak
mahasiswa yang tiap hari melintas. Zainab masih muda, ditemani anak dan suami
ia ingin
jamblangnya habis
hari ini. Jika Aminah harus naik labi-labi untuk sampai ke tempat jualannya, Zainab malah di antar-jemput oleh suaminya. Sebuah dukungan pasti akan
membawa hasil yang maksimal pula bukan?
Kisah Siska

Kita lupakan Aminah dan Zainab. Seorang perempuan lain terlihat
lebih menarik di mata saya. Ada
Siska, perempuan imut yang membantu ibunya menjual
jamblang tidak jauh dari Zainab menunggu jamblangnya sampai habis terjual. Gadis
imut
ini baru kelas satu
sekolah dasar
. Ibunya menunggu
jemblang terjual beberapa meter di
samping kanannya
.
Siska senang sekali menjadi penjual jamblang di antara orang tua, dengan
senyum manis mampu membuat pembeli singgah di depannya. Siska menjual jamblang
untuk membantu orang tuanya. Siska tidak meminta royalty setelah jamblang itu
terjual, orang tua hanya memberikan jajan tiap pagi setiap Siska akan ke
sekolah.
Inilah hidup yang harus disemarakkan dengan kerja keras. Perempuan-perempuan
berbeda generasi tersebut hanya segelintir kisah di antara perempuan lain. Mereka
hanya saya temui saat musim jamblang saja, barangkali di musim jamblang
berikutnya mereka sudah tidak menjajakan jamblang lagi karena satu dan lain
hal.
Bahwa hidup harus dibiarkan tetap bernyawa, karena itu, apapun harus
dilakukan supaya ekonomi keluarga berjalan sebagaimana mestinya. Entah apa yang
akan Aminah, Zainab, maupun Siska akan lakukan jika musim jamblang berakhir. Tentu,
mereka punya kemauan dan kesanggupan masing-masing supaya senyum tetap
terkembang begitu perut terisi.

Hidup ini harus dijalani saja, bukan?
Categories
Uncategorized

Guru Kami, Pahlawan Semesta

Photo by Bai Ruindra
Saya mengenalnya lebih
kurang 13 tahun lalu, suatu masa yang panjang ketika dia masih tegap dalam langkahnya.
Sekarang, setelah lebih 37 tahun mengabdi, langkahnya tidak lagi setegak kala
muda. Tubuhnya sudah ringkih dan harus dibantu kruk untuk dapat menapaki
hari-hari bersama kami.
Dia, Dra. Rosmalawati
Idris, seorang guru saya dan guru kebanyakan orang sukses di kampung kami. Bu
Ros, begitu panggilannya merupakan guru tertua di sekolah kami dan hanya
mengabdi pada satu sekolah semenjak pengangkatan menjadi guru pegawai.

Bu Ros
selalu memberi senyum pada kami, walaupun langkahnya tidak pernah rata antara
kiri dan kanan. Dalam keseharian, tubuhnya boleh saja lemah tetapi suara dan
cara mengajarnya bahkan mampu menyaingi guru lain yang lebih muda. Semangatnya dalam
mengajar tidak pernah pudar dari semenjak saya kenal fisiknya hingga kini sudah
pensiun.

Bu Ros, satu-satunya
guru “titipan” dari Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Barat yang ditugaskan
kepada MAN Suak Timah (Kementerian Agama). Sebagai guru yang diperbantukan, Bu
Ros tetap mengajar anak-anak madrasah sesuai kemampuan beliau.

Walaupun banyak
sekali surat-menyurat yang harus diurus ke Dinas Pendidikan bukan berarti
membuatnya ingin cepat-cepat ditarik kembali oleh ibu kandung. Saat guru-guru
lain di bawah naungan bapak sendiri – semua administrasi lancar di bawah
kementerian agama – Bu Ros kadang tersandung karena harus melalui proses di
Dinas Pendidikan kemudian pindah tangan ke Kementerian Agama (dulu Departemen Agama).
Bu Ros tidak pernah mengeluh, dengan langkah tertatih beliau bertahan di
madrasah.

Bu Ros adalah seorang
guru kelahiran tahun 1959, perempuan kuat dan perkasa di mata saya sebagai
siswa dan sebagai rekan kerja kini. Sejak kecil Bu Ros sudah mengalami masalah
dengan kesehatannya.

Kaki sebelah kiri Bu Ros terkena penyakit folio, entah
karena dulu tidak cepat disembuhkan atau memang tidak tahu-menahu masalah ini,
Bu Ros pun tidak ingat apa yang dilakukan kedua orang tuanya waktu itu,
akhirnya kaki kiri Bu Ros lebih kecil dari ukuran normal.

Semasa muda dan masih
kuat, Bu Ros masih sanggup berjalan mengelilingi perkarangan sekolah kami,
tetapi menjelang masa pensiun, seiring usia yang lanjut, Bu Ros sudah
menggunakan kruk membawa langkahnya ke kelas.

Semula satu kruk, sampai akhirnya
dua kruk dan Bu Ros tetap mengajar sebagaimana kewajibannya. Jadwal mengajar
yang sudah diembannya sebagai guru profesional dengan 24 Jam Pelajaran,
dilaksanakan Bu Ros tanpa mengeluh maupun meminta bantuan guru lain apalagi
kepada guru honorer.

Bu Ros sanggup mengajar 4 sampai 6 jam dalam sehari,
walaupun kemudian atas kesadaran kami semua, jam Bu Ros disesuaikan dan diatur
supaya beliau tidak terbebani di usia senja dan kondisi fisiknya. Bu Ros malah
meminta tugas dan tanggung jawabnya diberikan penuh, karena baginya, gaji yang
diberikan pemerintah pada sisa umurnya merupakan amanah yang tidak bisa
dimanipulasi.

Benar kiranya, guru pahlawan tanpa tanda jasa, jika
melihat banyak sekali yang dilakukan Bu Ros. Dengan keterbatasan yang dimiliki,
Bu Ros berdiri di antara kegagahan dan kegarangan guru-guru muda di antara para
siswa. Terlepas dari semua itu, Bu Ros tetap menjadi salah seorang guru yang
disegani oleh siswa-siswinya.

Bukan karena kaki Bu Ros tidak normal, karena Bu
Ros mengajar dengan cara yang tidak sama dengan guru lain. Suara lantang, sikap
tegas dan berwibawa. Pelajaran Qur’an Hadist yang diajarkan beliau menjadi
pelajaran yang sempat ditakuti siswa-siswi.

Ketegasan Bu Ros terletak pada
siswa yang tidak bisa menghafal ayat al-Quran maupun sepotong hadits. Siswa yang
tidak bisa, tidak segan pula Bu Ros meminta hafal kembali maupun berdiri di
depan kelas sampai mampu menghafal.

Guru menjadi
satu-satunya penentu baik buruk seorang manusia. Sampai kapan pun pendidikan yang diberikan guru akan
selalu dikenang dan tidak pernah diletakkan di suatu tempat terendah. Bu Ros,
barangkali salah satu guru dengan keterbatasan yang telah mencerdaskan bangsa.

Pemerintah
hanya sanggup memberikan materi dengan jumlah tertentu selama pengabdiannya,
tetapi ilmu yang diajarkannya tidak akan pernah habis maupun menghilang dari
ingatan siswa-siswi. Bahkan untuk saya pribadi, tidak akan ada tulisan
inspiratif ini sebelum saya mengenal Bu Ros dengan segenap hasratnya
mengajarkan baik buruk dalam agama.

Mungkin, Tuhan punya
cara tersendiri memberikan penghargaan pada seorang guru seusia Bu Ros yang sudah
melahirkan generasi beragam prestasi. Suatu saat nanti! 
Dalam hal ini, Indonesia Move On dari kebodohan karena seorang guru. Guru punya andil dalam mencerdaskan
bangsa dan generasi sampai akhir masa. Gerakan Indonesia Move On yang dilakukan
Dompet Dhuafa merupakan salah satu cikal bakal melestarikan kepintaran yang
dimiliki negeri ini.

Barangkali, Dompet Dhuafa juga memperhatikan guru-guru di
seluruh negeri, banyak potret yang melahirkan nyata bahwa tidak semua guru
berada dalam bahagia. Melalui Indonesia Move On, Dompet Dhuafa bisa
memperhatikan guru-guru yang dianaktirikan oleh pemerintah kita. Bu Ros salah
seorang guru, hanya satu dari sekian guru lain yang bisa saja merasakan derita
berbeda. Dan guru tanpa tanda jasa ini akan menerima imbalan sesuai keikhlasan
hati mereka menerima. Semoga tulisan di blog ini bermanfaat.