Categories
Uncategorized

Ayah Poligami Anak Perempuan Dipoligami

Jangan salahkan laki-laki jika suami memoligami! Sebagai
perempuan, siapa pun Anda, semestinya mengulang kembali kisah lama dalam
keluarga. Karena poligami itu adalah karma. Percaya atau tidak, poligami tak
ubah seperti penyakit keturunan. Dari orang tua diturunkan kepada anak. Hanya saja,
poligami tidak menyangkut dengan aliran darah langsung seperti ayah menurunkan
kepada anaknya atau kepada cucunya anak kepada anak cucunya.
Poligami
adalah penyakit “ayah” yang akan diturunkan kepada anak perempuannya – khusus pada
anak perempuan saja. Ayah tak lain adalah laki-laki yang menyakiti hati
perempuan yang telah dinikahinya. Tidak gampang mengatakan poligami itu “halal”
karena hati orang tidak semua sama. Sekarang menyetujui suami setuju mendua
namun di lain waktu bisa saja meminta perceraian.
Dan
ketika anak perempuan dipoligami oleh suaminya, Ayah yang memoligami semestinya
harus bersikap bijaksana. Ibu yang menyetujui ayah dari anaknya berpoligami
juga harus bisa menerima. Memang tidak ada dasar yang menguatkan bahwa poligami
adalah penyakit keturunan – penyakit kehidupan.

Namun ini terjadi secara
beraturan. Keluarga yang pernah berpoligami, akan berimbas pada keluarganya
poligami yang sama. Jika anak perempuannya menerima poligami, maka cucu perempuannya
akan dipoligami, jika cucu perempuannya tidak dipoligami, maka anak dari cucu
perempuannya akan dipoligami.

Poligami
sudah semacam silsilah sebuah keluarga. Percaya atau tidak begitulah
kenyataannya. Enteng-enteng saja mengatakan bahwa poligami itu mudah
asalkan sanggup bersikap adil. Adil dari segi fisik (material) belum tentu adil
dari segi batin (termasuk hubungan suami istri). Tetapi, lebih dari itu semua, mana
mau seorang perempuan berbagi badan suaminya dengan perempuan lain?
Kasarnya demikian.
Laki-laki
gampang melakukan poligami. Jika laki-laki yang hanya memiliki anak
laki-laki tentu tak berimbas. Jika laki-laki memiliki anak perempuan, lihatlah
bagaimana anak perempuannya dipoligami.

Tidak gampang saat seorang
perempuan mengurus anak dan rumah tangga sedangkan suami di rumah istri kedua. Tidak
mudah melerai perkelahian kecil anak-anak saat suami sedang berada di
rumah istri pertama.

Tidak bisa meratakan baju mahal untuk semua anak dalam
sekali lebaran. Jika semudah membalik telapak tangan membeli emas 10 mayam
untuk istri pertama dan kedua. Tidak mungkin membeli mobil mewah untuk dua
orang istri dalam waktu bersamaan.

Jika pun mungkin; istri pertama akan
mengatakan mobilnya lebih bagus, kedua akan mengatakan emas miliknya ditempa
lebih ulet
. Dan seterusnya.

Poligami
sudah dihalalkan dalam agama. Namun poligami adalah penyakit sosial yang kadang
tak terlihat. Istri pertama cerita pada temannya, istri kedua cerita pada
temannya juga
. Dari cerita-cerita itu akan tersampaikan pula iri dan dengki
berkepanjangan. Bertemu muka saling sapa, saling berlomba memoles wajah dengan
hiasan mahal. Berpaling muka saling mengisyaratkan hati masam.
Apakah
ini dianggap tak pernah terjadi?
Hati
perempuan tiada yang tahu. Laki-laki mudah saja memoligami. Tinggal melafalkan
akad nikah. Tinggal serumah. Cari nafkah.
Kembali
ke hukum karma di atas, percaya atau tidak percaya. Realitanya kita lihat saja
kata dunia. Agama boleh berkata halal.

Namun dunia berkata lain. Ego
sekali bisa berakibat fatal berkali-kali. Ayah berpoligami dengan bahagia, anak
perempuan belum tentu menerima dipoligami oleh suaminya! 

Categories
Uncategorized

Perempuan Penambal Ban

Perempuan Penambal Ban
Siang
yang panas menyengat. Aspal hitam yang licin. Jalan lurus. Tikungan tajam.
Gunung berliku. Lautan lepas membentang biru. Semua bercampur aduk di antara
kecemasan. Saya sebagai pengendara sepeda motor dari Banda Aceh ke Meulaboh
(Aceh Barat). Perjalanan di bawah terik matahari itu memakan waktu lebih kurang
lima jam perjalanan dalam jarak lebih kurang 245 KM.
Saya
termasuk orang yang tidak menyukai tantangan berlebihan dalam berkendaraan. Spidometer
motor matic tak pernah menunjukkan angka lewat dari 100 km/jam.
Tergolong lamban untuk ukuran perjalanan jarak jauh lintas kabupaten. Setidaknya
saya meninggalkan Ibu Kota Provinsi, masuk ke daerah Aceh Besar, Aceh Jaya,
kemudian baru sampai di Aceh Barat.
Malang
tak bisa dihindar. Biar pun saya sudah menservice motor itu sehari sebelumnya,
musibah datang tak pernah diundang.
Satu
hal yang patut saya syukuri, kejadian nahas tersebut tidak menimpa saya seorang
diri di atas gunung perbatasan antara kabupaten Aceh Besar dengan Aceh Jaya. Ada
tiga gunung tinggi yaitu Gunung Kulu, Gunung Paro dan Gunung Geureute. Gunung
terakhir merupakan salah satu pengunungan yang indah, tidak hanya pemandangan
lautnya saja, warung kopi pun berjejer di sana.
Tiba-tiba
saja motor saya oleng saat turun dari gunung terakhir. Sebuah tanda angin ban
belakang kempes. Dalam keadaan panik saya langsung berhenti. Melihat kondisi
ban yang benar-benar sudah kempes. Saat itu saya sudah berada di kawasan Lamno,
Aceh Jaya, lebih kurang dua jam perjalanan dari Banda Aceh.
Di
terik matahari, keringat membasahi sekujur tubuh. Jelas sekali saya sangat panik.
Masih puluhan kilometer lagi dan lebih kurang tiga jam lagi baru sampai di
rumah. Sebenarnya, saya tidak takut pada keadaan lingkungan. Jalanan ramai.
Perumahan penduduk padat. Tapi entah kenapa, saya benar-benar sangat takut.
Mungkin karena seorang diri.
Saya
mendorong motor hampir satu kilometer. Peluh jangan ditanya lagi. Hati saya
langsung bersorak ketika menjumpai sebuah bengkel. Kecil saja bengkel di
pinggir jalan raya itu. Tampak sekali bengkel itu khusus untuk sepeda motor.
Begitu
saya memarkirkan motor di halaman bengkel itu, tidak ada seorang pun di sana.
Saya mengucapkan salam. Tak lama seorang perempuan keluar dari dalam. Perempuan
itu berusia sekitar 40 tahun. Kulitnya lebih terang. Matanya biru, rata-rata
masyarakat Lamno yang dikata keturunan Portugis.
Karena
saya tidak tahu, saya menanyakan suaminya. Kebodohan yang saya seseli kemudian.
Wajar saya bertanya demikian, selama ini saya belum pernah menemukan seorang
perempuan bekerja di bengkel kecil begini.
Saya
terhenyak begitu perempuan itu menyebutkan dirinya yang menambal ban motor.
Serius?
Perempuan
itu tidak menjawab pertanyaan yang belum sempat saya tanyakan. Dengan cekatan
perempuan yang sampai saat ini belum saya ketahui namanya membongkar ban
belakang motor saya. Menyiapkan kebutuhan untuk menambal ban kempes. Peralatan
penting sudah di sampingnya.
Saya
malah melongo.
Jujur.
Saya tidak percaya. Pekerjaan kasar itu seharusnya dilakukan seorang laki-laki.
Namun perempuan itu malah lebih “gagah” dari perkiraan saya sebelumnya. Oh,
benarlah. Kenapa saya merendahkan kedudukan perempuan itu?
Profesi.
Tepat sekali. Mungkin itulah profesi perempuan itu. Saya akui, hasil kerjanya
telah mengantarkan saya sampai ke rumah. Aceh Barat yang barangkali belum
pernah disinggahinya. Saya sangat berterima kasih kepada kerja kerasnya!

Apapun
alasannya. Perempuan itu mengajarkan satu hal. Bahwa, perempuan juga bisa
mengerjakan pekerjaan laki-laki (kasar). Anda setuju? 
Categories
Uncategorized

Anak Keempat

Hamil lagi? Mana mungkin? Baru bulan lalu aku menceraikan
ASI untuk si bungsu. Aku harus menghitung ulang tanggal halangan bulan lalu.
Aku berharap perhitungan ini salah. Bulan lalu aku halangan sekitar tanggal dua
atau tiga. Bulan ini sudah hampir sampai di penghujung. Yang benar saja?
Hari terus berlalu, ini tanggal lima belas bulan kedua aku
tidak datang bulan. Aku juga merasa aneh. Tiap melihat ikan asin aku langsung
muntah-muntah, padahal aku paling suka makan ikan asin ditemani sayur daun ubi.
Saat ini, membayangkan saja aku bisa tidak selera makan.
Tadi pagi, aku muntah-muntah tidak karuan. Sampai siang
begini, matahari terik dan aku kepanasan, mual dan muntah juga belum hilang.
Tidak mungkin terus percaya tidak ada masalah apa-apa atau sekadar masuk angin.
***
Sudah bulan ketiga aku tidak halangan. Aku sama sekali tidak
berniat periksa ke puskesmas. Ke bidan di ujung kampung, sama juga, tidak akan
kulakukan. Semenjak mual-mual dan muntah satu bulan lalu, aku juga jarang
berinteraksi dengan tetangga. Semua keperluanku dicukupi suami yang pergi pagi pulang
sore.
Tiap hari aku bersemedi rumah. Menunggu keajaiban datang
bulan. Sejak kelahiran si sulung berumur delapan tahun kini, aku sudah membulat
tekad tidak akan mengandung lagi. Namun dua tahun kemudian adik si sulung
lahir, anak perempuan yang tidak mau kukucirkan rambutnya. Dan dua tahun lalu
aku baru melahirkan bayi tembam yang tiap malam merengek menganggu tidurku.
Bersama bulan ketiga kupastikan hamil lagi. Kenapa harus
aku yang hamil terus? Si Ainun, tetangga rumahku, sudah lima belas tahun kawin
belum hamil-hamil juga. Ainun pernah berobat ke mana-mana, belum ada
tanda-tanda akan mengandung. Aku yang tidak menginginkan punya anak lagi, terus
saja mengandung!
Ainun bertanya padaku, apa resep agar bisa punya anak?
Resep? Ainun pikir aku sedang membuat kue bolu? Ada-ada saja pertanyaan si Ainun
itu.
Kenapa aku tak ikut KB? Si Ima, setelah ikut KB, dua bulan
kemudian langsung melar. Ima malah ngeluh dan menyesal ikut keluarga berencana.
Berencana apa? Katanya hanya merencanakan waktu akan mengandung lagi. Kalau
ingin punya anak, KB bisa dilepas. Tapi, si Ita, dua tahun lepas KB, sampai
sekarang belum beranak juga. Lain lagi dengan Muna yang malah langsung beranak
selepas lepas KB. Aku bingung.
Aku memang tidak ingin punya anak lagi. Tapi aku tidak mau
KB. Ini sudah pilihan tepat. Lain halnya dengan suamiku, dia tidak mau tahu aku
lelah melahirkan anak terus-terusan. Aku juga capai membesarkan tiga anak yang selalu
berulah. Apalagi si sulung. Seluruh kampung sudah memvonis dia. Musim rambutan
dia panjat rambutan orang tanpa meminta. Mangga di rumah tetengga sedang
berbuah, dia malah panjat malam hari. Belum lagi jambu di rumah Ainun yang dia
petik lalu dijual. Ainun marah besar. Untuk dimakan sendiri, Ainun tidak
masalah. Tapi si sulung malah menjualnya. Ainun yang punya pohon jambu belum
pernah menjualnya sendiri. Ainun menegur. Si sulung lari terbirit-birit. Aku
geram. Ainun melapangkan dada. Menerima tapi perang dingin denganku, sindirnya
aku tidak bisa mengajari baik buruk pada si sulung.
Lima bulan sudah. Perutku semakin membesar. Selera makanku
bertambah. Rasanya berat badanku juga naik beberapa kilo.
***
Bulan ketujuh. Tandanya sudah sangat jelas. Selangkah pun
aku tidak keluar rumah. Aku tidak mau orang lain melihat hamilku. Di kampung
ini semua jadi bahan ejekan. Aku merasa mereka mencemoohku karena mengandung
lagi.
Tugasku sekarang, masak, mencuci, tidur, menonton tivi.
Ketiga anakku yang keluyuran di luar rumah, aku tidak peduli. Yang penting
mereka masih ingat pulang. Selain keluarga, tidak ada yang tahu aku hamil. Jika
ada yang datang bertamu, aku memilih sembunyi di kamar. Aku tidak ikut lagi
kegiatan ibu-ibu. Tidak ke undangan pesta di kampung. Tidak ke mana-mana.
Ainun pun tidak tahu aku mengandung kalau saja mulut si
sulung bisa diplester. Si sulung dengan enteng pamer ke Ainun akan punya adik
lagi. Pulang dari situ, kumarahi di sulung, tapi dia malah nyengir dan tertawa.
Lain halnya dengan kedua adik si sulung. Di acara arisan
ibu-ibu mereka minta nasi lebih untukku yang sedang hamil. Naas sudah. Seluruh
kampung tahun aku hamil.
Sorenya Ainun bertandang ke rumah. Mau tidak mau aku
membukakan pintu untuknya. Ainun membawa masakan enak. Ada kerang dimasak
dengan santan. Tahu goreng. Tempe goreng.
Senyum Ainun merekah. Siapa yang hamil di sini? Kenapa
malah Ainun yang berona bahagia?
Tidak mungkin. Ainun pasti datang mengejek. Aku tidak bisa
terima ini. Senyum palsu. Makanan jadi suap untuk bisa menjengukku. Tanpa
kupersilahkan, Ainun menerobos masuk dan meletakkan makanan bawaannya di meja
makan. Menyuruhku makan banyak. Bertanya persiapan persalinan. Kandunganku
sehat atau tidak? Sudah periksa ke bidan? Sudah ini? Sudah itu? Ainun banyak
tanya. Dengan alasan ingin istirahat, aku meminta Ainun pulang.
Selepas Ainun pulang, Kusantap makanan pemberiannya dengan
lahap.
***
Sudah sembilan. Mengapa waktu begitu cepat berlalu? Perutku
makin membesar. Tidak lama akan pecah. Penantianku selama ini akan berakhir.
Aku sudah tidak tahan. Senyum Ainun. Semangat dari Ima dan yang lain tidak
lantas membuatku bahagia.
Aku masih malu punya anak lagi!
Kuambil sapu, memerhatikan rumah yang sangat kotor. Seperti
berhari-hari aku tidak menyapu. Ainun yang memerhatikan di teras rumahnya langsung
menghampiri. Aku tidak mendengar celoteh Ainun yang memintaku istirahat.
Mengerti apa dia? Satu pun anak belum dia lahirkan!
Aku terus menyapu. Kusapu debu di dalam rumahku sampai dua
anak tangga dapur. Terasa dunia berputar. Pusing. Aku terpeleset. Jatuh ke
dapur di anak tangga kedua. Ainun berlari menghampiriku. Dia melihat ada
pendarahan. Dia berteriak minta tolong. Aku menepis tangannya yang akan
memapahku ke kamar.
Aku tidak apa-apa. Aku belum mau melahirkan!
Ima datang tergopoh-gopoh. Si sulung sudah dia minta jemput
ayahnya. Ima juga sudah meminta suaminya menjemput bidan. Aku masih membantah,
belum saatnya persalinan!
Kedua perempuan ini tidak peduli. Mereka menarikku ke dalam
kamar dan melepaskan pakaian bawahku. Ima berteriak. Ainun histeris meminta air
dan kain bersih. Kepala bayi sudah keluar!
Bantahanku terhenti dan malah mengedan. Sakit luar biasa.
Luar dalam. Sekali lagi teriakan napasku. Tangisan bayi pecah. Kata Ainun,
diraut wajah lelahnya, dan Ima yang pias, bayiku laki-laki.
Lima menit kemudian, bidan kampungku baru datang bersama
suami dan si sulung. Bidan langsung memeriksaku dan bayi baru lahir. Ocehan
bidan tidak lagi kudengar. Rasanya sakit sekali. Aku juga malu. Namun senyum
bahagia suamiku, membuat emosiku sedikit mereda.
Bidan memintaku tidak berpikir yang negatif. Katanya, bayi
kami sehat dan baik-baik saja. Mendengar itu, hatiku kembali galau. Belum lama
berhenti menyusui, hari ini sampai dua tahun ke depan aku kembali harus
menyusui.
Apa yang harus kulakukan untuk ini? Kulihat Ainun, Ima dan
bidan kampungku. Tidak ada ejekan dari raut wajah mereka. Senyum mereka
merekah. Aku yang tidak bahagia, mengapa mereka begitu bahagia?
Aku menatap kosong. Beban pikiranku akan bertambah banyak.
Empat anak. Suami yang selalu minta dilayani. Masak. Menyusui. Cuci baju.
Mendengar tetangga yang selalu merendahkan si sulung yang bandel. Menegur kedua
adik si sulung yang selalu telat mandi.
Memikirkannya saja membuatku letih sekali. Kelahiran
keempat ini semakin membuatku kacau. Aku tak paham, adakah yang salah denganku.
Mengapa aku tak dapat merasakan bahagia sebagaimana perempuan lainnya.
Bagaimana harus kujalani hari-hari ini? Adakah yang dapat mengerti aku?

***
Cerpen ini dimuat di Majalah Ummi Edisi Mei 2014. 
Categories
Uncategorized

Sebungkus Jamblang

Di saat masyarakat khususnya
generasi muda terlena dengan warung kopi berfasilitas internet gratis, potret
yang sangat menarik dan menjadi fenomenal di Banda Aceh tiap tahun adalah sosok
perempuan di pinggir jalan raya. Bagi saya, potret ini tidaklah bisa dipandang
sebelah mata karena setiap senyum, tawa dan candaan mereka bisa menghasilkan
sesuatu yang rasanya manis, asam maupun asin.

Perempuan-perempuan ini
menjajakan buah berry ungu khas Aceh,
atau lebih dikenal dengan sebuah buah jamblang, dalam Bahasa Aceh disebut Boh Jambe Kleng. Masyarakat yang
lalu-lalang di seputar jalan utama menuju Darussalam, Banda Aceh, sudah tidak
asing dengan penjaja buah yang jika disantap akan membuat lidah maupun gigi
berubah jadi ungu. Di antara mereka yang menjadi penjual, banyak kisah menarik
sehingga tercipta suasana lelah, sabar dan bersaing secara objektif bersama sesama penjual lainnya.
Suasana menarik justru hadir
dari mereka yang datang jauh-jauh ke pusat Ibu Kota Provinsi hanya untuk
mendapatkan peruntungan. Musim jamblang menjadi satu-satunya alasan mencari
rejeki lebih dari pada berdiam diri di rumah tanpa melakukan pekerjaan. Menjual
sebungkus jamblang dengan harga Rp.5000,00 saja bisa membuat dapur mereka tetap
mengepulkan asap di tiga kali jatah makan.
Sedikit saya berbagi tentang
mereka, paling tidak bisa membuat kita terpesona sambil mencicipi ngilunya aroma
jamblang!
Kisah Aminah


 Aminah, salah seorang perempuan penjual jamblang di antara segitu banyak perempuan lain
di perempatan jalan Panglima Nyak Makam, Banda Aceh. Jika Anda melewati jalan
sebelum mencapai Hotel Hermes Palace, Anda pasti akan menemui mereka saat musim
jamblang tiba, walau terkadang mereka tidak menetap di satu daerah menikmati
hari-hari dalam sabar menanti pembeli.
Tidak jauh berbeda dengan
perempuan penjual jamblang lainnya, Aminah duduk termenung sambil menjaga jamblangnya
agar tidak terkena sengatan matahari. Jika tidak, Jamblang yang dibawanya dari
jauh akan layu dan tidak enak lagi di makan. Aminah menjual satu bungkus jamblang
dengan harga lima ribu rupiah untuk ukuran plastik seperempat besarnya, bila
sore tiba terkadang sepuluh ribu ia berikan tiga bungkus. Lagi-lagi tidak
sebanding dengan keringatnya menuju tempat jualan ini.
Kebanyakan mereka datang dari
Ujong Batee, pantai indah yang kerap dijadikan objek wisata akhir pekan dan di
sana pula pohon-pohon jamblang banyak ditemui. Aminah juga berasal dari Ujong
Batee, pagi-pagi sekali ia harus bangun membereskan segala keperluan rumah
tangga lantas membeli jamblang dari pemetik. Aminah tidak memiliki pohon
sendiri sehingga harus membeli jamblang pada orang lain yang mempunyai pohon. Aminah
tinggal bersama suami sedangkan anak-anaknya sudah berkeluarga dan tidak
tinggal bersama mereka lagi.
Saya mencoba melahirkan
suasana lebih ringan saat berdiskusi dengan perempuan ini. Sengaja saya
tanyakan padanya, “Kenapa tidak meminta suami petik jamblang, Bu?”
Aminah terkekeh sebelum
menjawab, “Laki-laki kan malas, tidak mau melakukan hal-hal begini!”
“Oh begitu ya?”
“Iya, padahal bisa petik di
pohon orang, jadi kami bisa beli lebih murah!”  
Aminah mengulurkan senyum
dengan manis di antara getir hatinya. Saya pun tidak mau mengubris lebih dalam
lagi isi hati perempuan ini, saya banyak tanya akan membuat banyak pula luka
terbuka di usianya yang ingin bahagia saja.
Sosok Aminah yang tiap pagi
menyusuri waktu agar bisa berjualan jamblang, untuk bisa menopang usia senjanya
bersama suami. Aminah tidak mau bergantung pada anak-anaknya, ia sangat ingin
mandiri di usia yang tidak lagi muda. Dengan menjual jamblang – saat musim – ia
dan suami bisa bernapas lega.
Berada di jalan yang tidak dilalui labi-labi – kendaraan umum di Banda Aceh
akan
membutuhkan banyak biaya. Tidak hanya itu, ongkos labi-labi dari Ujong Batee ke
pusat kota biayanya lebih mahal. Sepuluh ribu untuk pulang pergi, jika jam enam
sore labi-labi sudah jarang beroperasi ke tempat tinggal mereka. Padahal sore
hari begini banyak sekali pembeli yang ingin mengecap rasa
jamblang.
Selain ongkos labi-labi,
tambah ongkos becak sepuluh ribu untuk pulang pergi ke
 di Jalan
Panglima Nyak Makam. Berjalan kaki
menuju tempat jualan ini sangatlah terasa jauh apalagi tengah hari, kebanyakan
mereka mulai berjualan sehabis dhuhur. Karena ini merupakan waktu yang tepat
untuk berjualan, dan pembeli juga ingin memakan buah segar
.
Aminah mengatakan getir hatinya sambil lalu, dengan mata terbinar dan
tersenyum ke arah saya. Sebuah perjuangan yang tidak bisa diriwayatkan oleh
Aminah sendiri. Aminah terlihat sangat tegar menunggu pembeli walaupun
pemasukan yang diterima tidak selayaknya. Aminah mencari sedikit rejeki sebelum
lelah tiba di malam hari. Sedikit demi sedikit ditabung untuk kebutuhan hidup
mereka berdua. Saya tidak bertanya lebih jauh mengenai suaminya, saya pikir
Aminah punya privasi yang tidak
sepatutnya saya langkahi.
“Kenapa tidak ke Darusaalam saja, Bu?”
“Di sana sudah banyak orang lain!”
Saya memahami persaingan dengan penjual lain.
Kisah Zainab

Seperti kata Aminah, di trotoar depan Fakultas Ekonomi, Unsyiah, ada Zainab yang saya temui di hari selanjutnya, jarak
sepuluh kaki ke kiri dan kanan juga terdapat penjual lain. Saya harus membeli jamblang jika ingin
berbicara dengan mereka, tiap hari
beli jamblang bisa-bisa perut saya sakit karena rasa asam melilit perut, namun
karena kisah ini harus saya telurusi mau tidak mau dibeli juga. Mana mungkin
saya hanya mengajak mereka mengobrol panjang lebar sedangkan saya tidak membeli
jajanan mereka.
Zainab juga membeli jamblang
dari pemetik untuk dijual. Tidak jauh berbeda dengan Aminah,
Zainab juga bertutur tidak sempat memetik jamblang, namun ia menambahkan lebih
tepatnya tidak punya pohon Jamblang.
Zainab membeli  jamblang dengan harga 13 sampai 20 ribu per bambu, satu bambu bisa sampai enam mug (1 mug sama dengan 1
plastik isi seperempat). Satu
plastik kemudian dijual dengan harga Rp.5000,00. Belum lagi jika tidak terjual, jamblang berubah tidak enak lagi di makan esok hari dan terpaksa dibuang. Zainab tidak perlu repot membeli jamblang pada agen karena suami setiap pagi sudah membawa pulang
jamblang untuk dijual.
Zainab memilih tempat ini karena banyak
mahasiswa yang tiap hari melintas. Zainab masih muda, ditemani anak dan suami
ia ingin
jamblangnya habis
hari ini. Jika Aminah harus naik labi-labi untuk sampai ke tempat jualannya, Zainab malah di antar-jemput oleh suaminya. Sebuah dukungan pasti akan
membawa hasil yang maksimal pula bukan?
Kisah Siska

Kita lupakan Aminah dan Zainab. Seorang perempuan lain terlihat
lebih menarik di mata saya. Ada
Siska, perempuan imut yang membantu ibunya menjual
jamblang tidak jauh dari Zainab menunggu jamblangnya sampai habis terjual. Gadis
imut
ini baru kelas satu
sekolah dasar
. Ibunya menunggu
jemblang terjual beberapa meter di
samping kanannya
.
Siska senang sekali menjadi penjual jamblang di antara orang tua, dengan
senyum manis mampu membuat pembeli singgah di depannya. Siska menjual jamblang
untuk membantu orang tuanya. Siska tidak meminta royalty setelah jamblang itu
terjual, orang tua hanya memberikan jajan tiap pagi setiap Siska akan ke
sekolah.
Inilah hidup yang harus disemarakkan dengan kerja keras. Perempuan-perempuan
berbeda generasi tersebut hanya segelintir kisah di antara perempuan lain. Mereka
hanya saya temui saat musim jamblang saja, barangkali di musim jamblang
berikutnya mereka sudah tidak menjajakan jamblang lagi karena satu dan lain
hal.
Bahwa hidup harus dibiarkan tetap bernyawa, karena itu, apapun harus
dilakukan supaya ekonomi keluarga berjalan sebagaimana mestinya. Entah apa yang
akan Aminah, Zainab, maupun Siska akan lakukan jika musim jamblang berakhir. Tentu,
mereka punya kemauan dan kesanggupan masing-masing supaya senyum tetap
terkembang begitu perut terisi.

Hidup ini harus dijalani saja, bukan?
Categories
Uncategorized

Guru Kami, Pahlawan Semesta

Photo by Bai Ruindra
Saya mengenalnya lebih
kurang 13 tahun lalu, suatu masa yang panjang ketika dia masih tegap dalam langkahnya.
Sekarang, setelah lebih 37 tahun mengabdi, langkahnya tidak lagi setegak kala
muda. Tubuhnya sudah ringkih dan harus dibantu kruk untuk dapat menapaki
hari-hari bersama kami.
Dia, Dra. Rosmalawati
Idris, seorang guru saya dan guru kebanyakan orang sukses di kampung kami. Bu
Ros, begitu panggilannya merupakan guru tertua di sekolah kami dan hanya
mengabdi pada satu sekolah semenjak pengangkatan menjadi guru pegawai.

Bu Ros
selalu memberi senyum pada kami, walaupun langkahnya tidak pernah rata antara
kiri dan kanan. Dalam keseharian, tubuhnya boleh saja lemah tetapi suara dan
cara mengajarnya bahkan mampu menyaingi guru lain yang lebih muda. Semangatnya dalam
mengajar tidak pernah pudar dari semenjak saya kenal fisiknya hingga kini sudah
pensiun.

Bu Ros, satu-satunya
guru “titipan” dari Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Barat yang ditugaskan
kepada MAN Suak Timah (Kementerian Agama). Sebagai guru yang diperbantukan, Bu
Ros tetap mengajar anak-anak madrasah sesuai kemampuan beliau.

Walaupun banyak
sekali surat-menyurat yang harus diurus ke Dinas Pendidikan bukan berarti
membuatnya ingin cepat-cepat ditarik kembali oleh ibu kandung. Saat guru-guru
lain di bawah naungan bapak sendiri – semua administrasi lancar di bawah
kementerian agama – Bu Ros kadang tersandung karena harus melalui proses di
Dinas Pendidikan kemudian pindah tangan ke Kementerian Agama (dulu Departemen Agama).
Bu Ros tidak pernah mengeluh, dengan langkah tertatih beliau bertahan di
madrasah.

Bu Ros adalah seorang
guru kelahiran tahun 1959, perempuan kuat dan perkasa di mata saya sebagai
siswa dan sebagai rekan kerja kini. Sejak kecil Bu Ros sudah mengalami masalah
dengan kesehatannya.

Kaki sebelah kiri Bu Ros terkena penyakit folio, entah
karena dulu tidak cepat disembuhkan atau memang tidak tahu-menahu masalah ini,
Bu Ros pun tidak ingat apa yang dilakukan kedua orang tuanya waktu itu,
akhirnya kaki kiri Bu Ros lebih kecil dari ukuran normal.

Semasa muda dan masih
kuat, Bu Ros masih sanggup berjalan mengelilingi perkarangan sekolah kami,
tetapi menjelang masa pensiun, seiring usia yang lanjut, Bu Ros sudah
menggunakan kruk membawa langkahnya ke kelas.

Semula satu kruk, sampai akhirnya
dua kruk dan Bu Ros tetap mengajar sebagaimana kewajibannya. Jadwal mengajar
yang sudah diembannya sebagai guru profesional dengan 24 Jam Pelajaran,
dilaksanakan Bu Ros tanpa mengeluh maupun meminta bantuan guru lain apalagi
kepada guru honorer.

Bu Ros sanggup mengajar 4 sampai 6 jam dalam sehari,
walaupun kemudian atas kesadaran kami semua, jam Bu Ros disesuaikan dan diatur
supaya beliau tidak terbebani di usia senja dan kondisi fisiknya. Bu Ros malah
meminta tugas dan tanggung jawabnya diberikan penuh, karena baginya, gaji yang
diberikan pemerintah pada sisa umurnya merupakan amanah yang tidak bisa
dimanipulasi.

Benar kiranya, guru pahlawan tanpa tanda jasa, jika
melihat banyak sekali yang dilakukan Bu Ros. Dengan keterbatasan yang dimiliki,
Bu Ros berdiri di antara kegagahan dan kegarangan guru-guru muda di antara para
siswa. Terlepas dari semua itu, Bu Ros tetap menjadi salah seorang guru yang
disegani oleh siswa-siswinya.

Bukan karena kaki Bu Ros tidak normal, karena Bu
Ros mengajar dengan cara yang tidak sama dengan guru lain. Suara lantang, sikap
tegas dan berwibawa. Pelajaran Qur’an Hadist yang diajarkan beliau menjadi
pelajaran yang sempat ditakuti siswa-siswi.

Ketegasan Bu Ros terletak pada
siswa yang tidak bisa menghafal ayat al-Quran maupun sepotong hadits. Siswa yang
tidak bisa, tidak segan pula Bu Ros meminta hafal kembali maupun berdiri di
depan kelas sampai mampu menghafal.

Guru menjadi
satu-satunya penentu baik buruk seorang manusia. Sampai kapan pun pendidikan yang diberikan guru akan
selalu dikenang dan tidak pernah diletakkan di suatu tempat terendah. Bu Ros,
barangkali salah satu guru dengan keterbatasan yang telah mencerdaskan bangsa.

Pemerintah
hanya sanggup memberikan materi dengan jumlah tertentu selama pengabdiannya,
tetapi ilmu yang diajarkannya tidak akan pernah habis maupun menghilang dari
ingatan siswa-siswi. Bahkan untuk saya pribadi, tidak akan ada tulisan
inspiratif ini sebelum saya mengenal Bu Ros dengan segenap hasratnya
mengajarkan baik buruk dalam agama.

Mungkin, Tuhan punya
cara tersendiri memberikan penghargaan pada seorang guru seusia Bu Ros yang sudah
melahirkan generasi beragam prestasi. Suatu saat nanti! 
Dalam hal ini, Indonesia Move On dari kebodohan karena seorang guru. Guru punya andil dalam mencerdaskan
bangsa dan generasi sampai akhir masa. Gerakan Indonesia Move On yang dilakukan
Dompet Dhuafa merupakan salah satu cikal bakal melestarikan kepintaran yang
dimiliki negeri ini.

Barangkali, Dompet Dhuafa juga memperhatikan guru-guru di
seluruh negeri, banyak potret yang melahirkan nyata bahwa tidak semua guru
berada dalam bahagia. Melalui Indonesia Move On, Dompet Dhuafa bisa
memperhatikan guru-guru yang dianaktirikan oleh pemerintah kita. Bu Ros salah
seorang guru, hanya satu dari sekian guru lain yang bisa saja merasakan derita
berbeda. Dan guru tanpa tanda jasa ini akan menerima imbalan sesuai keikhlasan
hati mereka menerima. Semoga tulisan di blog ini bermanfaat. 

Categories
Uncategorized

Romansa Segala Rasa

Hanya ada kau dan aku dalam sebuah rasa yang
sama…
Perjalanan
panjang ini akan segera berakhir dengan kecupan mesra darimu. Antara Aceh dan
Bali jadi terasa sangat dekat saat membayangkan fisikku akan menyentuh fisikmu.
Hampir dua tahun pula kita hanya bersuara mesra melalui udara dan maya, bahkan
rasa cemburu yang kupendam sudah tidak terdefinisi.

Belum pula
ragaku menyentuh dinginnya tanah di antara deru ombak pulau Dewata, aku sudah
sangat tidak sabar menunggu burung besi putih dengan logo biru segera menghentikan
kipasan sayapnya dan senyummu menghilangkan penatku. Dari atas perairan biru
ini dapat kulihat dataran yang akan mempertemukan kita. Walau aku sudah sangat
sering melihat dan mendengar gelombang laut, tetapi rasanya pasti akan sangat
jauh berbeda. Laut Aceh sudah pernah pilu dengan musibah besar di akhir 2004,
laut Bali barangkali masih indah dihiasi pohon hijau dan pengunjung berlimpah
setiap saat.
Dan kita, akan segera mengulang manisnya rasa…

***
Kutapaki
langkah di atas jalan setapak menuju pertemuan kita. Tak sabar rasanya aku
ingin segera memelukmu yang entah masih kurus atau sudah lebih berisi. Terakhir
kali kau katakan padaku bahwa dirimu sedikit kelelahan menghadapi pekerjaan
yang menumpuk, mungkin ini akan berpengaruh pada pola makan dan kondisi berat
badanmu. Tapi sekali lagi, aku tidak pernah memandangmu sebagai bentuk terindah
dari pahatan Tuhan. Aku menerima jiwa yang kau punya karena aku tidak memiliki
pribadi dan bentuk fisik seperti dirimu.
Kau tahu?
Terakhir kali kita bertemu di salah satu sudut Ibu Kota, waktu itu hanya sehari
saja. Di bawah gerimis, di jalan setapak menuju penginapan, seperti jalan yang
kulalui kini. Perbedaannya, Ibu Kota sangat keruh dengan keadaan dan kita tidak
bisa saling memahami mau masing-masing. Kita juga tidak sempat menghabiskan
waktu bersama karena kau terlalu sibuk dengan tugas kantormu. Bahkan, untuk
minum secangkir kopi saja tidak bisa kau luangkan waktumu, aku memahami, karena
aku tidak mau kehilanganmu.
Di bawah
matahari Bali yang terasa lebih teduh dibandingkan negeriku, kita akan bisa
menghabiskan lebih banyak waktu di sini. Tempat ini pula sengaja kau pilih
sebagai pertemuan kita; rumput hijau, bunga entah bernama apa, pohon rindang,
patung khas pulau ini yang tidak akan pernah kulihat berdiri di kampung
halamanku, serta tempat persinggahan yang dibuat seakan khusus untuk kita
berdua. Seperti yang sudah kau katakan padaku, kita akan bertemu di sebuah
gubuk di depan kolam ikan yang ada patung berwarna putih.
Aku sudah menunggumu di sini…
***
Kau tersenyum melihatku!
Ah, betapa
tidak terbayangkan perasaanku melihat tubuhmu yang semakin mungil. Kau terlihat
lelah sekali. Bahkan, tubuhmu seperti tinggal tulang saat kupeluk erat.
Aku merindukanmu…
Sudah pasti.
Tanpa kau jawab, aku sudah tahu bahwa bahasa nonverbal darimu mengatakan hal
yang serupa. Kupeluk tubuhmu semakin erat, hal ini pun lumrah di pulau ini.
Banyak mata yang melihat tetapi tidak mempersoalkan, tentu beda dengan negeriku,
 tidak bisa sebebas ini memeluk tubuhmu
yang lembut seperti kapas.
Kutatap
matamu lebih lama, ada bintik merah dibalik kacamata biru itu.
Kau terlalu lelah, sayang!
Dan lagi, kau
selalu mengelak begitu kuutarakan protes terhadap apa yang sedang kau lakukan. Padahal
ini untuk kebaikanmu, kebaikanku, dan kebaikan kita semua. Delapan tahun bukan
waktu yang sebentar menjalin hubungan dalam jarak tak bertemu fisik. Ibu Kota
telah mengubah dirimu menjadi lebih garang dari yang kubayangkan. Ajakan
hubungan lebih serius pun tidak pernah kau balas dengan manja seperti saat
kubelai aura dalam dirimu. Kau seperti lupa bahwa aku harus mengakhiri masa
lajang di usia lewat 35 tahun. Kita sama-sama paham, pernikahan membutuhkan
kedekatan jiwa dan raga.
Dulu kau belum bisa memenuhinya. Sekarangkah
waktumu?
***
Kami duduk
berhadapan. Sisa makanan di atas meja lesehan itu masih sangat banyak. Kau
hanya memakan sedikit saja. Aku pun tidak berniat melanjutkan makanku karena
iba melihatmu.
Kita sama-sama tertekan dalam hal ini. Tidak ada
salahnya kita segera saling membuang ego masing-masing.
***
Kutahu, kau akan menerimanya!
Di bibir
pantai, kau duduk menyilakan kaki di bawah atap putih dari kain payung, di
kursi biru dengan bantal putih, di antara gelombang, kusarung cincin di jari
manismu.

Pinangan ini
memang berat untukmu, aku juga rela berbagi waktu denganmu sampai tua. Pulau
ini akan mengabadikan segala rasa yang kupendam untukmu dan untuk bahagia kita.
Sudah tak terhitung lagi berapa kali aku menyakinkanmu untuk bersedia
menemaniku selama nafas masih terhembus. Sabarku sampai pada batasnya saat kau
mengatakan hidup kita tidak mesti ada ikatan.
Aku berbeda, sayang. Nyawaku dititipkan oleh-Nya
tidak sekadar main-main, Dia sudah menentukan aturan khusus sebelum kita
memulai pergumulan lebih jauh. Ini bukan pula karena aku berdarah Aceh, ini
karena kita menyambah Tuhan yang sama. Kehidupan kita memang berbeda, kau di
Ibu Kota sedangkan pria yang mencintaimu ini di pelosok desa. Kau bahkan tidak
pernah menghirup udara segar di antara padi menguning pagi hari.
Kau telah
menerima. Aku harap-harap cemas. Dalam aturan kehidupan kota yang tidak
tertulis, tentu kau akan sulit menghadapi pria sepertiku. Pertemuan yang kau
ajak ke pulau romantis ini membuatku serba salah. Aku tidak pernah duduk manis
di dalam pesawat sejauh ini, hanya Ibu Kota tempatmu yang paling jauh
kusinggahi. Aku masih belum percaya sebentar lagi akan meninggalkan segala
urusan di pedalaman Aceh kemudian menetap di Ibu Kota.
***
Tempat ini
akan jadi saksi manisnya hidup yang kulalui bersamamu. Kau tahu apa yang
kurasa? Entahlah. Jauh-jauh kita ke mari menimbulkan rasa yang tak bisa
kusampaikan padamu. Malam ini pula kau sebut namaku berkali-kali sehingga aku
sulit berpaling dari dirimu. Di bawah temaram lampu kawasan Pirates Bay, Café &
Restaurant, Bali, kau suapi sepotong Apel yang lidahku merasakan lebih manis
dari biasanya. Di dalam kafe yang khusus diciptakan untuk pasangan seperti kita
ini kau peluk pinggangku dengan erat sekali. Kau sandarkan kepalamu di pundakku
sampai aku tidak bisa melihat rona matamu.
Di depan
kita, di tempat yang hampir sama dengan kita bermesraan, banyak pasangan lain
yang sedang melakukan sesuatu yang kita tidak tahu. Kau memang lebih agresif
dibandingkan saat bercakap-cakap sampai larut malam melalui udara. Karena
kuyakin, jiwamu sangat merindu kokohnya fisikku merangkul seluruh badanmu untuk
segera melepas keinginanmu.
Belum saatnya untuk itu
Kau telah
kupinang, tunggulah waktu setelah itu. Bahagia ini akan berbeda saat kita sudah
dalam ikatan resmi agama dan pandangan sosial. Tidak ada yang akan memisahkan
kita selama ikatan suci telah kuucapkan.
Mari kita nikmati saja malam ini!

*** 
Categories
Uncategorized

Berwisata di Bawah Bayang Syariat


“sebuah peradaban selalu berawal dari sejarah”

Aceh telah banyak
mengukir sejarah di kancah dunia internasional, mulai dari kisah kepahlawanan
sampai dengan tsunami di penghujung 2004. Sejarah telah menunjukkan begitu
kuatnya jiwa masyarakat Aceh, sehingga seorang penulis sekaliber Helvy TianaRosa sampai menulis kisah-kisah perjuangan perempuan Aceh dalam buku TanahPerempuan yang telah dipentaskan dalam teater di tingkat nasional.

Dari sejarah pula kita
mengetahui banyak hal sehingga suatu kebudayaan akan dikenang selamanya.
Sejarah Aceh menjadi sangat bernilai jika dibandingkan dengan kondisi Aceh masa
kini. Cara yang terbaik dalam mengenal suatu daerah adalah dengan mempelajari
sejarahnya. Aceh dikenal bukan karena satu-satunya provinsi pelaksanaan hukum
Islam, nanggroe kita ini dikenal
karena kegagahan dan ketangguhan pejuang semenjak dulu kala.

Bicara sejarah, tentu
saja sangat sulit menemukan peninggalan bersejarah di Banda Aceh tanpa singgah
ke Rumoh Aceh. Bicara sejarah modern pula, tidak elok rasanya tanpa
berleha-leha sebentar di Museum Tsunami. Dan bicara kedekatan emosional
terhadap Ilahi, tidak kuat iman seseorang tanpa sujud di lantai dingin Masjid Raya Baiturraman.


Rumoh Aceh
Photo by Bai Ruindra

Bangunan tua dari kayu
ini sudah teramat sering sendiri di era teknologi di mana hampir setiap sudut
kota Banda Aceh dipenuhi warung kopi berwifi.
Barangkali bisa dihitung dengan jari jumlah orang yang singgah ke tempat paling
beraura kepahlawanan dan adat-istiadat di ibu kota provinsi Aceh ini.
Kebanyakan dari kita yang tinggal di Banda Aceh, bahkan mungkin pelancong yang
datang ke Banda Aceh seakan-akan mencoret bangunan tua ini dari daftar tempat
yang ingin dikunjungi.

Barangkali, begitu
tidak bermaknanya sebuah benda mati yang bisa menceritakan sejarah kepada kita.
Tafsiran ini terjadi jika kita tidak pernah mau menginjakkan kaki ke halaman
tempat wisata yang bersih dan asri tersebut. Rumoh Aceh memiliki keistimewaan
dalam membicarakan rumah di masa arsitektur penuh rekayasa komputer. Rumah yang
tidak membenarkan semen pada dinding, keramik untuk alas maupun atap dari
genteng telah mampu meninggalkan kesan tradisional dalam benak kita. Jarang
sekali ditemui rumah berbentuk rumah adat tersebut di daerah-daerah Aceh masa
kini. Mungkin saj, hanya Rumoh Aceh inilah peninggalan yang sama persis seperti
rumah adat sebenarnya. Bayangkan saja seandainya generasi muda tidak pernah
menginjakkan kaki di sini?

Banyak sekali penulis
yang telah menguraikan sejarah Rumoh Aceh ini, termasuk Dinas Kebudayaan danPariwisata Banda Aceh telah mengupas seluruh isinya; tangga dari kayu, serambi
depan, serambi belakang, berbagai lukisan pahlawan di dalamnya, berbagai
peralatan rumah tangga zaman dulu, ayunan, dan masih banyak lagi. Sayangnya,
belakangan Rumoh Aceh ini sudah jarang bisa diberi izin masuk ke dalam melihat
pernak-pernik peninggalan sejarah di sana. Karena itu, sebagian pengunjung
tidak dapat lagi melihat peninggalan bersejarah tersebut. Sebenarnya, masalah
ini bukan alasan untuk tidak berkunjung ke Rumoh Aceh, masih banyak peninggalan
bersejarah lain yang tidak bisa ditinggalkan untuk mereka yang gemar
mempelajari sejarah masa lampau.

Masih di dalam
kompleks Rumoh Aceh, di sebelah kanan pintu masuk terdapat benda peninggalan
sejarah termasuk meriam. Di depan meriam terdapat kuburan keluarga kerajaan, di
depannya terdapat makam Sultan Iskandar Muda. Semua benda mati ini meninggalkan
keterangan di papan nama sehingga memudahkan kita mengetahui lahir maupun wafat
serta silsilah keluarga kerajaan Aceh.
Photo by Bai Ruindra

Photo by Bai Ruindra

Photo by Bai Ruindra

Berkunjung ke tempat
ini tidak hanya dihidangkan peninggalan sejarah Aceh, suasana alam di sekitar
Rumoh Aceh begitu nyaman dan sejuk setelah dikelilingi pohon besar yang
memayungi. Pada dasarnya, tempat ini harus menjadi tujuan utama saat berkunjung
ke Banda Aceh.
Museum Tsunami
Photo by Bai Ruindra
Bencana selalu
mengukir sejarah baru dan pahit dirasakan oleh mereka yang kena imbas. Tsunami
yang telah meluluh lantakkan Aceh pada 26 Desember 2004 telah berlalu dan
masyarakat Aceh telah menerima dengan ikhlas kepergian saudara mereka. Di balik
semua kepahitan tersebut, seorang intelektual ternama yang dimiliki Indonesia,
Ridwan Kamil, kemudian melahirkan sebuah gebrakan yang luar biasa dikenang.
Wali Kota Bandung ini merancang museum seperti yang kita lihat saat ini.

Lain Rumoh Aceh lain
pula Museum Tsunami yang terletak tidak jauh dari rumah adat tersebut. Masih
dalam satu kota dan masih sanggup dijangkau seandainya berjalan kaki, nasib
Museum Tsunami lebih beruntung dibandingkan Rumoh Aceh. Museum Tsunami kerap
dikunjungi banyak orang di waktu yang sudah ditentukan, antara pukul
09.00-12.00 sampai 14.00-16.00 WIB. Perawatan Museum Tsunami pun tak kalah
dengan rumah adat Aceh, sama-sama mengedepankan kebersihan dan keasrian.

Di antara dua bangunan
bersejarah ini memiliki visi dan misi berbeda, Rumoh Aceh merupakan peninggalan
perjuangan dan adat-istiadat, sedangkan Museum Tsunami merupakan kenangan
sisa-sisa bencana alam terbesar sepanjang sejarah manusia khususnya di Aceh. Di
dalam bangunan ini terdapat banyak sekali kerangka bekas tsunami dipajangkan
sebagai saksi bisu. Selain itu, terdapat pula persebaran tsunami di peta yang
menggiurkan begitu kita lihat di dinding yang bersebelahan dengan bioskop yang selalu
memutar film tsunami Aceh.  Termasuk gambar di bawah ini yang punya arti lebih dari apapun bagi saya pribadi. 
Photo by Bai Ruindra
Banyak hal yang
membuat Museum Tsunami memiliki daya tarik. Selain bangunan yang modern juga
tempat yang strategis di tengah-tengah kota. Lukisan, foto maupun ornamen mati
memang tidak akan cukup mencerminkan perihnya luka tetapi, berkunjung ke mari
paling tidak cukup bisa membuat bulu kuduk merinding bagi mereka yang tidak
merasakan bagaimana dahsyatnya bencana besar tersebut. Dua potret di bawah ini membuat hati teriris lebih dari biasanya, mereka yang sudah pergi memang tak akan kembali dan “mereka” yang lari di hari petaka besar itu akan dikenang sepanjang masa!
Photo by Bai Ruindra
Photo by Bai Ruindra
Menceritakan keelokan
sebuah bangunan memang tidak bisa mendukung semua argumen sebelum datang dan
lihat sendiri. Bagi orang yang tidak mau ketinggalan melihat kenangan pahit
tersebut tentu tidak cukup sekali dua kali masuk ke dalam bangunan yang
dirancang khusus untuk Aceh, hanya satu-satunya di dunia ini!

Masjid Raya Baiturrahman
Belum sampai di Banda Aceh sebelum menginjakkan
kaki di Masjid Raya Baiturrahman!

Photo by Bai Ruindra
Ini hanya sebuah
anggapan, tetapi memang benar adanya. Selain memiliki nilai artistik bernilai
tinggi, masjid ini menjadi pusat segala janji. Bayangkan saja, jika buat janji
ingin bertemu seseorang paling mudah di masjid dengan halaman luas, kolam ikan persegi panjang di depan, menara, serta bendera merah putih kokoh berkibar di sampingnya.

Masjid yang sudah
dikenal ke seluruh orang yang pernah membaca sejarah Aceh ini selalu penuh oleh
pengunjung. Sampai-sampai saat pertama kali kita masuk ke perkarangan masjid
seseorang pasti segera menarik kita untuk dipotret. Sekali lagi, masa telah
mengerus semua yang tak biasa menjadi biasa. Jika dulu fotografer di depan
masjid bisa panen rejeki sekarang malah terkuras oleh kamera pribadi yang
dibawa pengunjung. Namun, jika ingin menghasilkan hasil cetak dengan cepat
tidak ada salahnya menggunakan jasa fotografer yang sering berdiri termangu di
sana.

Photo by Bai Ruindra
Sampai di Masjid Raya
Baiturrahman seakan wajib hukumnya menyegerakan shalat sunat dua rakaat.
Kewajiban ini bisa dilakukan untuk kita yang kebetulan mampir ke masjid ini
diluar waktu shalat wajib, jika berbenturan pun tidak ada salahnya shalat sunat
bukan?
Photo by Bai Ruindra
Sejarah Masjid Raya
Baiturrahman sendiri begitu ajaib untuk dilupakan. Masjid yang diagung-agungkan
masyarakat Aceh ini menjadi saksi sejarah begitu panjang sekali. Sebelum
kemerdekaan sudah menjadi saksi bisu kegagahan pejuang mengusir penjajah,
konflik berdarah, masa referendum, dan terakhir tsunami. Dari berbagai kisah
pilu tersebut, banyak pula nyawa yang terselamatkan saat berada di masjid ini.
Seandainya masjid ini punya catatan penting yang bisa ditulis, sudah saatnya
kita akan mengetahui siapa yang berkhianat, jujur, amanah, dan lain-lain dari
kesaksian bisunya. Tetapi masjid ini tidak pernah menolak apapun, bahkan
sejarah bahagia telah lahir dari pernikahan di dalamnya.
Terakhir, melengkapi
tulisan ini setelah mengenang sejarah yang terlupa karena banyak orang sibuk
dengan celana ketat dan jilbab, ingin sekali rasanya kembali naik ke menara di
depan saya melihat-lihat seluruh kota Banda Aceh. Mungkin; sebelum tsunami
terakhir kali kita bisa melihat Masjid Raya Baiturrahman secara utuh dari atas
sana; seluruh kota, Krueng Aceh, bahkan Pulau Sabang sekalipun. Semoga saja
mata dunia kembali melihat indahnya Aceh dari berbagai sudut pandang mereka. Pelaksanaan
syariat Islam bukan pula halangan berkunjung ke mari asal tetap mengedepankan tata
krama dan sopan santun dalam bersikap maupun berbusana. Saya rasa, semua orang
memiliki kesopanan menurut makna masing-masing! 
Photo by Bai Ruindra