Categories
Uncategorized

Gagal Move On dari Big Boss Descendants of the Sun

ending Descendants of the Sun
Big Boss Descendants of the Sun – thejakartapost.com
Big
Boss
memanggil! Over!”

Dongeng
drama KBS 2, Descendants of the Sun yang diperankan oleh Song Jong Ki,
Song Hye Kye, Jin Goo, Kim Ji Won dan pemeran kenamaan lain, masih terus
berlanjut walaupun semalam drama ini telah usai tayang.


Spoiler yang
beredar bahwa sang kapten, Yoo Shi Jin, mati tidak terbukti. Drama ini berakhir
happy ending seperti yang diharapkan oleh penggemarnya.
Kapten
imut, Big Boss, sangat membekas dalam diri penggemar karena memang sangat
diakui bahwa drama prarecorder ini mampu mencapai puncak di 2016.


Descendants
of the Sun
satu-satunya drama yang mampu mempertahankan rating “naik tangga”
sampai episode terakhir.

Big Boss. Dia cerdas, lucu, misterius, tapi dia
memiliki banyak rahasia, dia akan menghilang, sulit dihubungi, dan kemudian
suatu hari, dia tak akan kembali! – Argus diperankan oleh David Mclnnis.

Ngomongin gagal move
on
dari Kapten Big Boss, tak hanya di dunia nyata yang unyu-unyu
oleh teriakan penggemar kepada idola mereka.

Kesuksesan drama Korea Selatan ini
menjalar ke dunia maya, salah satunya Twitter yang benar-benar lebih parah
gagal move on.

Tiba-tiba tersadari bahwa Twitter membubuhkan “tanda
cinta” kepada Kapten Big Boss pada setiap #DescendantsoftheSun. Ikon
khas Big Boss langung keluar otomatis begitu menggunakan tagar ini.

Biasanya, Twitter bermain aman dengan ikon-ikon tertentu seperti hari-hari besar keagamaan, kemerdekaan maupun tokoh penting.

Booming Kapten Big Boss yang terus-menerus menghajar microblogging ini setidaknya membuat Twitter down sesaat.

Rabu dan Kamis pukul 22.00 waktu Korea Selatan merupakan ajang terbaik untuk mencuit mengenai Kapten Big Boss yang memanggil Beauty melalui Handy Talky (HT).

Descendants of the Sun
akan terus menjadi trackrecord dalam pencapaian luar biasa sebuah drama.
Memang, di beberapa bagian, adegan dalam drama ini tidak bisa diterima oleh
logika.

Namun sekali lagi ini adalah drama, karya fiksi yang suka-suka penulis
mau mengarahkan ke mana. Secara garis besar, drama yang bergenre komedi
romantis ini cukup berhasil membuat penggemarnya luluh.

Sosok Big Boss
yang katanya nggak mungkin muncul dalam kehidupan nyata kemiliteran Korea
Selatan, bagi penggemarnya whatever dengan itu semua.

Big Boss Yoo Shi Jin
akan terus dikenang sebagai “pahlawan” oleh negeri ginseng. Song Jong Ki
kemudian menjadi “model” anak muda Korea Selatan yang bekerja mempromosikan
negaranya.

Gagal move on pada Big Boss tak cuma dirasa oleh
penggemar dunia hiburan semata. Pemerintah Korea Selatan bahkan menganakemaskan
drama ini sebagai bagian penting mempromosikan negara maju itu.

Whenever wherever you are – kutipan lagu Always
dinyanyikan oleh Yoon Me Rae
 

Lirik
soundtrack dari Yoon Me Rae terbukti benar. Di manapun dan kapanpun, sang
Big Boss melekat di hati penggemarnya.

Anda yang ngatain
penggemar drama Korea Selatan hidupnya mellow, colek deh drama
ini. Ini James Bond versi drama. Penuh taktik. Kemelut. Tahanan perang. Penculikan.
Perdagangan manusia. Perang. Obat-obatan. Perang saudara. Tahta dan kekuasaan. Harta
dan pengorbanan. Pangkat dan jabatan. Dan juga percintaan!

This
is Beauty! Over!
Categories
Uncategorized

Sepucuk Rayuan dalam Sepiring Kerak Telur



Masih
di Kota Tua yang panas, saya dan Citra duduk manis setelah menghabiskan
sepiring Kerak Telur dan Toge Goreng. Sebenarnya Kerak Telur itu kami makan
sepiring berdua karena saya tidak habis menyantapnya. Saya ngos-ngosan menghabiskan
Kerak Telur yang banyak untuk ukuran saya yang tidak banyak malah. #alah.

Kerak Telur di Kota Tua Saksi Bisu “Perjodohan” Banten dengan Aceh – Bai Ruindra
Toge Goreng yang dipesan Citra – Bai Ruindra

Penjual Kerak Telur di Kota Tua – Bai Ruindra

Kerak
Telur dan Toge Goreng telah habis kami santap, kami cerita ini dan itu serta
menyusun rencana ke tempat berikutnya. Sambil menunggu waktu kami diskusi soal
kisah cinta yang gagal Sabari di buku Ayah dari Andrea Hirata, lalu buku-buku
Trinity yang menawan karena kisah keliling dunia, kisah melankolis Ahmad Fuadi
dalam Negeri 5 Menara, diksi dan kekayaan intelektual Dee dalam Gelombang, sampai
tokoh-tokoh bersemak dalam buku Ayat-Ayat Cinta Habiburrahman El-Shirazy.
Belum
usai kami tertawa haha hihi, seorang ibu meminta tempat duduk di depan
kami. Beliau telah celingak-celinguk ke tempat lain namun telah penuh oleh
pengunjung lain. 



Kami menyilakan perempuan yang berusia sekitar 50-an itu duduk
bersama kami. Tidak tahunya, tak berselang lima menit seorang gadis ikut nimbrung
bersama kami, gadis itu tak lain rekan dari perempuan yang mengenalkan namanya Fatimah. Gadis itu memanggil Ibu Fatimah dengan sebutan ummi.
Ummi Fatimah memulai
perbincangan yang membuat waktu kami tertambat di sana lebih kurang setengah
jam lebih.
“Abang
ini dari Aceh tho?” gaya khas Ummi Fatimah yang masih saya ingat
sampai sekarang. Kata Mas berubah menjadi Abang begitu mengetahui kami dari
Aceh. Ummi Fatimah bercerita pernah ke Aceh dan suaminya baru saja pulang
dari Aceh dalam rangka Pekan Olahraga Mahasiswa. 



Ummi Fatimah tak lain
seorang guru yang sangat bersahaja, guru agama yang anggun, tutur kata yang
lembut, sifat keibuan yang terlihat kentara sekali dengan pembawaannya, dan
terlihat cukup senang berbicara dengan kami dua lajang dari Aceh!
Ummi
senang sekali lho dengan anak laki-laki yang paham agama!”
Mungkin,
mendengar Aceh yang telah menerapkan hukum Islam, Ummi Fatimah lantas
berkesimpulan bahwa kami berdua benar-benar sangat paham sekali Islam. Padahal jika
dibandingkan dengan orang-orang Aceh lainnya, saya merasa tidak ada apa-apanya. 



Barangkali karena di Aceh, Islam telah menjadi makanan sehari-hari, ke
mana-mana adalah orang Islam, azan berkumandang lima kali sehari semalam, bulan
puasa begitu istimewa, hari raya meriah sekali, dan berbagai alasan lain. Mungkin
juga di daerah Ummi Fatimah yang terdapat banyak perbedaan, anak muda
yang berbicara tentang Islam jadi begitu menarik sekali.
“Sudah
menikah?”
Serentak
saya dan Citra menjawab belum. Dalam hati saya telah dipenuhi bunga-bunga
asmara segera ingin berlalu dari situ, karena soalan pernikahan itu sungguh
rumit di Aceh ini. Saya menjabarkan beberapa alasan kepada Ummi Fatimah mengenai
adat pernikahan di Aceh yang membuat beliau ternga-nga.
Aih!
Inilah rayuan itu. Ummi Fatimah memulai sepucuk rayuannya dengan kalimat
lanjutan. “Mau ndak pulang ke Banten?”
Saya
dan Citra tersenyum simpul saja. Ibarat punguk merindukan bulan, pembicaraan
ini menjadi simalakama. Bukan urusan menikahnya yang mudah namun jarak yang
menjadi penghalang. #alasan.
Ummi Fatimah mengarahkan
pandangan kepada gadis di sampingnya – saya lupa namanya siapa. #eh.
“Kamu
mau ndak pulang ke Aceh?” gadis itu tertawa. Ujarnya kemudian, “Ummi ini
ada-ada sajalah…,”
Mesiu
senapan telah dilontarkan sekuat tenaga. Kesempatan telah dibuka
selebar-lebarnya. Memang tidak terlihat si gadis menolak maupun mengiyakan,
namun kisah lanjutan dari sepenggal ucapan Ummi Fatimah menggetarkan hati
siapa saja yang mudah dibuai. “Dari pada abang ini mencari wanita Aceh yang
mahal di mahar lebih baik kamu mau saja ndak sama pria Aceh yang kuat
agamanya!”
Kepala
saya tiba-tiba mau pusing. Gara-gara sepiring Kerak Telur, pucuk-pucuk asmara
barangkali akan tercipta. Ummi Fatimah tak henti memuji kami berdua di
depannya, seakan-akan beliau telah mengenal kami cukup lama. 


Baca juga Gadis Aceh yang Layak Dipinang



Di akhir
pembicaraan, beliau meminta nomor handphone untuk melanjutkan
silaturahmi. Rayuan Ummi Fatimah memang berlanjut di beberapa pesan
singkat yang beliau kirimkan kepada kami. Saya dan Citra cekikikan di dalam bus
TransJakarta. Saya tidak melupakan niat baik Ummi Fatimah kepada kedua lajang
yang entah kapan kawin ini. 



Rayuan Ummi Fatimah untuk “meminang” salah
seorang gadis di daerahnya menjadi tanda tanya terbesar dalam hidup saya sampai
kini. Apakah ada gadis di luar Aceh yang mau menikah dengan saya? Pertanyaan
yang kepo terhadap diri sendiri. Apabila saya utarakan pada Citra waktu
itu, traveler ini pasti akan terpingkal-pingkal.

Sepucuk
rayuan yang tak disengaja di Kota Tua. Tentang jodoh. Tentang pertemanan. Tentang
penilaian. Tentang daerah masing-masing. Juga tentang silaturahmi sesama
muslim.
Categories
Uncategorized

Patung Porno di Kota Tua Jakarta

Kota Tua Jakarta – Bai Ruindra
“Ke
mana kita?” tanya Citra begitu
kami bertemu. Pertengahan November 2015 saya mendapat kesempatan untuk
berkunjung ke Ibu Kota. Memang, selama ini kerap kali saya berujar, “Kapan
ya bisa ke Jakarta?

Perkataan adalah doa.
Saya mempercayainya begitu kesempatan ke Jakarta terkabul. Sebenarnya, ke
Jakarta kali bukan semata jalan-jalan saja dengan biaya sendiri. Berkat ngeblog
mengenai teknologi, sering mereview produk dari produsen asal Taiwan (laptop, tablet
dan smartphone), saya diundang untuk menghadiri acara terbesar dan
termegah yang mereka adakan di tahun 2015.
Sering
pula saya berkata, “Ke Jakarta wajib ke Kota Tua!”
Beberapa
kali saya membaca ulasan mengenai Kota Tua di Jakarta, sampai saya pun menulis
review tentangnya di blog beberapa waktu lalu. Kota Tua adalah tempat
berdirinya bangunan bersejarah republik ini selama perang melawan kolonial
Belanda. Banyak saksi sejarah yang membuat saya iri bahwa perjuangan masa dulu
tak semudah injakan kaki saya di tempat ini.
Saya
dan Citra berdiri sempoyongan di dalam bus TransJakarta. Manis-manis asam gula
Jawa berada di dalam kendaraan sejuta umat ini. Saya yang awam sekali dengan
Ibu Kota merapatkan diri dalam kungkungan anak muda yang sedang pulang dari
lari pagi di hari Minggu itu. Citra tak henti-hentinya mengingatkan saya, “Dompet,
handphone, ransel taruh di depan!
Anjuran
Citra ternyata juga terdengar di dalam bus TransJakarta. Kondektur (benar sebut
ini?) berulang kali pula mengingatkan supaya menjaga barang bawaan dengan baik.
Dari suara perempuan di pengeras suara pun tak henti-henti mengingatkan untuk
memperhatikan kembali barang bawaan jika ingin turun di salah satu halte.

Tibalah
kami di Kota Tua. Berlagak kampungan saya berujar, “Orang Jakarta itu nggak ada
liburnya ya, Cit?”
Citra
tak menjawab kala itu. Langkah kakinya besar-besar, mungkin sudah terbiasa
dengan suasana Jakarta. Saya sedikit pelan dan seringkali tertinggal di
belakang karena saya pikir Jakarta ini ya sama dengan di Aceh, nggak mesti
ngejar-ngejar kalilah



Padahal saya salah, langkah Citra yang lebih
cepat karena untuk menghemat waktu kami. Setelah Kota Tua, kami akan ke
beberapa tempat lain, termasuk nonton bioskop – kami mencari bioskop yang
menawarkan harga paling murah.
Keramaian di Kota Tua – Bai Ruindra
Citra yang hampir melupakan saya – Bai Ruindra
Saya
benar-benar heran dengan kondisi Kota Tua. Bukan soal bangunannya. Tetapi lautan
manusia yang padat sekali. Bagi saya, pengunjung di Kota Tua cukup ramai di
hari Minggu itu. Beragam usia menikmati suguhan manis dari sejarah Indonesia. 



Beberapa
bangunan bisa dimasuki – dijadikan museum – dengan harga tiket lumayan murah
sekitar Rp. 5.000,00 perorang untuk umum dan Rp.2.000,00 perorang untuk siswa.
Halaman
yang luas membuat suasana di Kota Tua panas sekali dengan tanpa pohon yang
rindang. Panas matahari tidak membuat pengunjung berteduh ke dalam museum namun
berlomba-lomba mengabadikan kenangan di sekitar bangunan. 



Latar belakang
bangunan tua adalah salah satu kesan menarik bahwa zaman Belanda menjadi kekal
di dalam ingatan masyarakat Indonesia. Kolonial Belanda tak pernah bisa dilupa
sampai ke anak cucu karena dari merekalah Batavia merajang duka sampai ke
seluruh negeri. Memang, tidak ada lagi keperihan di dalam museum di Kota Tua
ini. 



Saksi sejarah lebih kepada penampilan para elit Belanda kala itu dan pernak-pernik
rumah tangga yang abadi. Kayu jati itu terkesan sangat “mahal” sebagai saksi
sejarah dan pemanis museum. Sayangnya, saya tidak bisa duduk manis di salah
satu kursi tersebut karena terdapat larangan untuk menyentuhnya.
Satu
keunikan saat memasukin salah satu museum adalah dengan menanggalkan sepatu
atau sandal. Penjaga di dalam museum kemudian memberikan kantung kain berisi
sandal yang bersih. 



Kami semua mengganti sepatu dengan sandal tersebut dan
menentengnya ke mana-mana selama berada di dalam museum. Saya dan Citra memilih
mengikat kantung kain itu di antara tali ransel. Lebih aman  dan praktis karena tangan kami sibuk dengan smartphone



Tentu saja kegiatan mengabadikan kenangan melalui kamera smartphone adalah
pilihan wajib. Saya tak mau sampai di Aceh hanya berbagi cerita lewat suara,
beda orang beda pula cerita yang saya suguhkan. Dengan sebuah foto, siapapun di
kampung nanti bebas mendeskripsikan apa yang terlihat di dalam hasil kamera
tersebut.
Perang melawan Belanda – Bai Ruindra
Keramaian di dalam museum – Bai Ruindra
Salah satu peralatan dapur – Bai Ruindra
Dilarang duduk di kursi ini – Bai Ruindra
Keluar
dari museum itu, saya berselfie ria. Eh, tahu-tahunya mata saya hampir
meloncat keluar begitu berhadapan dengan patung telanjang.
“Hei,
patung itu nggak pakai baju!” ujar saya histeris. Saya yang porno atau
patung itu yang memang sangat porno. #ups
Patung
itu adalah patung “porno” pertama kali saya lihat. Lebih tepatnya saya jarang
sekali melihat patung di Aceh. Mumpung masih di Kota Tua dan belum ada yang
tertarik untuk memotret patung tak tahu malu itu, saya membidikkan kamera ke
arahnya. Sekonyong-konyong patung itu melompat ke arah saya dan memeluk saya
dengan erat. 



Tak ayal saya mengelak dan patung itu telungkup ke lantai, patah
lengan dan siku. Tahu-tahunya Citra membelai patung itu saking sayangnya dia
patah arah. Tak tahu malu saya mencubit sedikit bagian dari tubuh patung tak
berbaju itu. Begitu kembali ke alam nyata, si patung porno masih berdiri dengan
ganjennya menunjuk ke langit. 



Entah apa tujuan dari patung porno itu
menunjuk langit dan memegang semacam tongkat sihir. Patung porno ini pastilah
menyimpan rahasia yang enggan dia bagi kepada kami. 



Tapi benar, apabila bola
sebagai alas kakinya berputar, patung porno itu pastilah memekik begitu saya
memotretnya. Saya pikir, patung itu juga memiliki perasaan halus seperti kapas.
Mana tahu dia malu terlalu sering dilihat orang banyak. Hahaha!
Awas, ada patung porno! –  Bai Ruindra

Garing
banget ya cerita ini. Tapi ya, nggak mungkin patung itu berdiri
sepornonya tanpa ada sebab akibat. Saya dan Citra seakan lupa asal-muasal
patung ini. Biarlah jadi kenangan dan rahasia. Saatnya kami menikmati kerak
telur yang dijual tak jauh dari patung porno ini berdiri tegak! 
Categories
Uncategorized

Smartphone Terbaru Dalam Drama Korea

Korea Selatan. Gemerlap
dunia hiburan dan teknologi. 
Negeri
ginseng ini telah menjelma sebagai
“Hollywood”nya Asia setelah India. Bedanya,
India masih bermain di tema-tema percintaan yang begitu adanya, melankolis dan
happily
ever after
. Industri perfilman India pun masih menampakkan kelas “kulot” di
era teknologi tinggi. 




Padahal, India sendiri merupakan pangsa pasar perangkat
teknologi terbesar dunia setelah Tiongkok. Alasan lain lagi, teknologi terbaru
pernah lahir di India dan beberapa tokoh penting sudah menjabat sebagai pejabat
tinggi di ranah teknologi seperti di Google. 

HP Samsung

Namun, tampaknya India tidak
memperlihatkan gemerlap teknologi dalam setiap drama seri maupun film. Drama seri
dari India yang belakangan wara-wiri di televisi swasta Indonesia malah lebih
kampungan dibandingkan dengan drama seri dari negeri sendiri. Animasi yang
dihadirkan terkesan bukan dipoles dengan teknologi termutakhir sehingga
terlihat benar-benar menipu.



Bandingkan
dengan drama seri dari Korea Selatan. Selain didukung oleh dua produsen besar
teknologi, Korea Selatan tidak main-main dalam melahirkan drama seri maupun
film. Efek visual yang dihadirkan oleh drama seri maupun film dari Korea
Selatan masih dibenarkan oleh logika, hampir sama dengan manipulasi perfilaman
hollywood


Alasan lainnya, Korea Selatan sangat jarang bermain dengan negeri dongeng
dengan ilustrasi “jelek” bertabur
monster-monster. Banyak pula drama
seri Korea Selatan yang mengulang sejarah
Dinasti Joseon namun
lagi-lagi mereka tidak bermain dengan visual “kampungan” dan tidak masuk akal
seperti drama seri India.

India
dan Korea Selatan. Dua negara yang sama-sama kuat di ranah hiburan dan
teknologi. Sayangnya, India tidak bergerak maju. Malah mundur ke belakang. Drama
seri dan film-filmnya tak berubah menjadi gagah teknologi.
Lihat
drama seri dan film dari Korea Selatan. Korea Selatan menonjolkan seluruh
kekuatan yang mereka punya untuk disampaikan kepada dunia. Sejarah diulang
dengan beragam tema tetapi tidak menipu penonton sehingga benar-benar masuk
akal, tanpa ada makhluk halus yang menjelma jadi manusia atau makhluk halus
yang punya kekuatan ini dan itu. Sejarah diulang karena begitulah tertulis dalam
buku sejarah.
Kekuatan
di ranah teknologi, drama seri Korea Selatan menonjolkan kelebihan-kelebihan
mereka. Pintu rumah atau apartemen dengan kunci otomatis (berkode) sudah sangat
lumrah dalam drama seri Korea Selatan.

Tinggal di apartemen mewah bukan lagi
sesuatu yang tabu. Pemandangan kota dan perkampungan bersih dan rapi sudah
teramat sering dilihat. Korea Selatan memperlihatkan seluk-beluk daerah mereka
karena ingin dilihat dunia luar.

Drama
seri dengan beragam tema dan dikemas penuh emosi mencapai rating tertinggi di
negaranya bahkan negara adopsi. Yang tidak bisa dibuang dari drama terbaru
Korea Selatan adalah Smartphone para tokoh. Mau tokohnya miskin
atau kaya, smartphonenya tetap sama. Yaitu keluaran terbaru dari
produsen raksasa; LG atau Samsung.
Benar.
Korea Selatan menampakkan taring mereka sampai beberapa centimeter. Mereka tak
mau dianggap kampungan. Smartphone memang bagian terkecil tetapi paling
sering digunakan oleh tokoh dalam drama.


Smartphone yang mereka pakai
begitu menggiurkan karena para pencinta teknologi sangat paham hardware dan
software smartphone yang dimaksud. Hal ini memang kecil sekali
imbasnya, tetapi mereka bangga bahwa negaranya memiliki produsen teknologi
terbesar dunia.
Tiga
atau empat tahun ke belakang, drama seri Korea Selatan ada yang jelas-jelas
bekerja sama dengan LG maupun Samsung. Ada pula yang hanya menggunakan smartphone
besutan kedua produsen ini tanpa kerjasama.

Kerjasama terlihat dengan secara
terang-terangan pada tokoh memamerkan logo smartphone yang
mereka pegang. Jika tidak ada kerjasama, smartphone para tokoh akan
ditutupi pada bagian logo maupun tidak memperlihatkan dengan dekat.

Tetapi,
bagi pecinta teknologi, smartphone high end besutan LG maupun Samsung
sangat mudah dibedakan. LG dan Samsung punya ciri khas tersendiri di badan smartphone
kelas atas milik mereka. Lihat sekilas langsung kita ketahui smartphone
apa yang dipakai oleh tokoh.

Drama
populer My Love From The Stars menggunakan Samsung Galaxy
Note 4
walaupun logo smartphone ini ditutup jelas sekali tidak
bisa ditipu. Drama yang saya sukai, It’s Okay, That Love dengan
terang-terangan memamerkan LG G3.

Drama yang sangat menguras
emosi saya, Misaeng dengan lembutnya Siwan memegang
LG G3. Drama seri yang baru saja selesai saya tonton, Healer
juga dengan gamblang memperlihatkan LG G3.

Dan, drama yang
mendongkrak popularitas Kim Soo Hyun, UI, Gong Hye Jin dan pemain
lain ke deretan selebriti tangguh, baru selesai tayang dengan rating tertinggi,
adalah Producers dengan nyata sekali membuat penonton tergiur
oleh smartphone paling tangguh sampai akhir tahun ini, Samsung
Galaxy S6 Edge
.

Drama
seri Korea Selatan yang terus digemari membuat para pelaku teknologi tentu tak
mau ketinggalan. Apalagi saat sebuah drama seri diperankan oleh mereka yang
dianggap akan menarik minat penonton lebih banyak, maka pelaku bisnis ini akan
memboyong smartphone generasi terbaru ke dalam drama.
Ajang
pamer teknologi di drama seri Korea Selatan tidak hanya sebatas pada smartphone
saja, layanan perpesanan instan seperti Line dan KakaoTalk
juga bermain peran di sana.
Dengan
bantuan drama seri, para produsen besar Korea Selatan berlomba-lomba
menciptakan smartphone kelas atas. Efeknya tentu saja promosi drama seri
lebih ampuh dari para mengeluarkan banyak biaya lain.

Para remaja di belahan
Asia bahkan beberapa dunia barat telah terhipnotis dengan ketampanan para
tokoh. Tidak bisa dipungkiri bahwa pesona tampan dan cantik selebriti Korea
Selatan sungguh menipu mata. Ditambah dengan suara bariton membuat penggemarnya
mati-matian mengejar sang idola.

Dan fakta yang terjadi, penggemar idola Korea
Selatan sangat fanatik dibandingkan dengan hollywood maupun bollywood.
Penggemar idola Korea Selatan sampai berbondong-bondong menunggu idola di
bandara, menyebut “my oppa” dan lain sebagianya.

Selebrasi
smartphone di drama seri cukup membuat para penggemar tertarik untuk
membelinya. Siapa yang tidak berminat memiliki smartphone high end
dengan kualitas bagus?