Categories
Uncategorized

18 Menit Bersama Air Kehidupan

Di
mana pun itu, setiap kehidupan membutuhkan air!

Anggapan di atas tidak saya kutip dari ahli
manapun. Saya sendiri merupakan manusia yang tidak akan pernah bisa menahan
dehidrasi dalam semenit saja, kecuali saat berpuasa. Tidak bisa dibayangkan
jika suatu tempat mengalami curah hujan sangat minim sehingga penghijauan
berkurang dan kekeringan tidak bisa dielakkan. Selama ini, saya hanya melihat
dan membaca berita di belahan dunia Arab yang menjalani kehidupan mereka dalam
kekeringan teramat sangat. Ternyata, di pedalaman Indonesia juga masih terdapat
masyarakat yang memikul bergalon-galon air dari mata air di dataran tinggi
untuk penghidupan lebih berseri.
Belum lama ini, bersama Dompet Dhuafa – salah
satu lembaga independen yang bekerja dalam rangka kesejahteraan masyarakat menengah
ke bawah – saya berkesempatan mengunjungi Semoyong, pedalaman Lombok yang
mengalami masa-masa kritis kekurangan air sampai saat ini. Sebelumnya, daerah
kering di Desa Kidang, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah ini bertahun-tahun
tidak merasakan nikmatnya kehidupan mereka bersama air. Jauh sebelum 22 Juni 2011,
saat Dompet Dhuafa memberikan bantuan, masyarakat dataran rendah Semoyong ini
mencari air di daerah-daerah lain di mana mata air masih mengalir. Jarak yang
ditempuh berkilo meter sehingga mereka lupa mengukur jalan karena memikul air
begitu berat mencapai rumah mereka.
Dompet Dhuafa berdedikasi memberikan bantuan
kepada masyarakat Desa Kidang, Nusa Tenggara Barat ini dengan melakukan
pengeboran mata air. Di bantu masyarakat setempat pengeboran ini dilakukan
sehingga mencapai mata air di kedalaman 75 meter. Bagi saya yang tinggal di
daerah dengan curah hujan sangat merata angka tersebut sangatlah besar sekali.
Jauh meninggalkan 2011, masyarakat Kidang
seakan melupakan kehidupan mereka yang kering. Air bor yang difasilitasi
dananya oleh Dompet Dhuafa tersebut diberi nama Air Untuk Kehidupan. Setidaknya
masyarakat setempat sudah bisa bernafas lega dalam menghilangkan dahaga maupun
kulit kering akibat tidak tersentuh air.
Ceritanya jauh berbeda ketika Burhanuddin,
salah seorang warga yang dipercaya sebagai ketua kelompok mengatakan bahwa Air
Untuk Kehidupan tersebut tidak selamanya bisa menyala. Pengeboran mencari air di kedalaman hampir mencapai perut
bumi tersebut tidak lantas membuat keluarga bahagia di daerah ini. Mereka
kembali diajarkan sabar, saling berbagi, menahan dahaga saat air tidak keluar
sebagaimana harapan, dan tentu saja mereka sudah sangat terbiasa dengan itu.
Menurut Burhanuddin, air bor tersebut dinikmati
setidaknya 100 kepala keluarga. Menyiasati kekurangan air mereka membagi
kelompok-kelompok kecil supaya kehidupan benar-benar layak. Air Untuk Kehidupan
tersebut dihidupkan dalam jarak waktu 4 jam sekali dengan durasi 18 menit
sebelum berhenti mengalir. Pagi hari dihidupkan sekitar jam 6 untuk satu
kelompok, kemudian jam 10 untuk kelompok lainnya, dan seterusnya selama rentang
waktu sehari. Satu keluarga juga dibatasi hanya bisa menerima air sebanyak 6
wadah plastik berukuran besar seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Air
tersebut digunakan secukupnya dalam waktu seharian penuh. Dan jika listrik
padam maka masyarakat setempat tidak bisa menikmati air di setiap sendi
kehidupan mereka. Sebagian mereka yang memiliki kemampuan ekonomi berlebih
sudah membeli penampungan air dengan harga di atas 1 juta rupiah. Sedangkan mereka
yang memiliki kehidupan kurang beruntung cukup menahan haus berkepanjangan
dalam waktu tak menentu.
Selama 18 menit tersebut pula mereka sudah
diajarkan cara berhemat. Kehidupan mereka sangatlah timpang. Di saat air
berkurang dari hari ke hari mayoritas masyarakat Kidang tidak mendapatkan
pekerjaan layak. Kaum laki-laki lebih banyak mengurus ternak sedangkan kaum
perempuan bekerja sebagai penenun. Ternak sapi kadang tidak terurus, bahkan
kandangnya terletak di dekat mata air kehidupan yang diambil warga. Hasil
tenunan pun tidak kalah pilunya di saat tidak ada pembeli yang berminat
mengambil hasil kerja keras mereka.
Masyarakat Kidang, umumnya di pedalaman Semoyong,
mereka membutuhkan air untuk kehidupan layak. Anak-anak tumbuh dalam kekeringan
dan tidak tercukupi kebutuhan dahaga mereka. Saya hanya berharap, barangkali
ada jiwa lain yang terketuk pintu hati mereka selain Dompet Dhuafa. Tidak bisa
dipungkiri dengan air sebanyak itu, dengan tata cara pelaksanaannya, dengan
durasi hidup mati air tergantung pada listrik, kehidupan mereka benar-benar
jauh dari makmur.
Dengan kata lain, mereka juga butuh air bersih
untuk diminum. Air Untuk Kehidupan tersebut belum tentu mampu memenuhi air
minum jika dilihat dari ketergantungan kebutuhan lain. Air Untuk Kehidupan
tersebut juga sangat jauh dari kata sehat jika dilihat sumber air mengalir
berdiri di antara kandang sapi dan durasi 18 menit. Mereka yang menerima air di
kesempatan pertama tentu saja sangat berbeda dengan mereka yang menerima air di
kesempatan terakhir. Air yang mengalir tanpa penyaringan lantas diminum sudah
bisa dibayangkan bagaimana kehidupan generasi penerus di dataran kering ini.
Saya merasa, mereka, di Kidang, Nusa Tenggara
Barat ini, sangat butuh perhatian lebih dari berbagai pihak. Pemerintah yang
abai kita lupakan saja karena masyarakat ini sudah sangat sabar menghadapinya. Mereka
tidak manja, hanya kehidupan mereka tidak seberuntung kehidupan kita. Saat
ladang mereka mengering, penghasilan tidak ada, air kehidupan berhenti mengalir,
entah apa yang mereka rasa.

Semoyong jadi sepenggal kisah yang terlupa, karena
mereka ada kita pun bisa menyelami hidup lebih bermakna! 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *