Categories
Uncategorized

Perempuan Aceh Kok Murahan?

Akhir-akhir
ini, di antara kita – mungkin – pernah melihat foto editan di media sosial.
Foto
ciuman sepasang remaja yang menyudutkan umat Islam karena salah satu dari mereka mengenakan jilbab. 

Kesannya;
perempuan kok gampang banget lho! Faktanya;
perempuan memang gampangKhususnya di Aceh! Tak
salah
blogger Mala Keumala menulis sebuah artikel yang menyudutkan
perempuan Aceh. Mala patut risau melihat tingkah laku perempuan Aceh yang telah
berada dibatas kendali. Emosinya menulis tampak jelas bahwa dirinya tidak
menginginkan perempuan Aceh berlaku seperti
pelacur.
Sejak
dulu, perempuan Aceh punya tata krama. Dilamar dengan mahar puluhan mayam emas.
Menikah sesuai adat kampung.
Sekarang,
perempuan Aceh gampang-gampang saja menjalin hubungan BUKAN pernikahan
dengan lawan jenis. Mudah-mudah saja jalan di malam hari dengan “pasangan”nya
sampai pulang larut. Senang-senang saja bermain di antara badan karena tidak
ada yang melihat.

Dan, jika dilihat? Ditangkap orang kampung atau polisi
syariat
lantas dikawinkan dengan “gratis”. Soal malu itu urusan
belakangan. Malu seminggu. Orang-orang ngomongin sesaat. Setelah itu
dilupa.

Catat saja berapa banyak perempuan Aceh yang lalai menjaga
kehormatannya, ditangkap orang beradat lalu dikawinkan, kemudian berumah tangga
dan tak risau dengan masa lalu kelamnya. Bahkan, ada pula yang baru sebulan
menikah sudah melahirkan.

Perempuan Aceh memang sudah sangat murahan!
Jika
dulu perempuan Aceh malu-malu bertemu laki-laki. Sekarang malah
jingkrat-jingkrat melihat laki-laki. Kini anak sekolah tingkat dasar pun sudah
paham bagaimana berhubungan dengan lawan jenis.
Saya
pernah menerima imbas dari ini. Keberanian dari seorang perempuan. Inilah yang
menjadi perempuan sangat rendahan.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel. Meminta PIN BlackBerry
Messenger. Saya kasih. Tak lama diinvite. Tak berselang menit, perempuan itu
mulai basa-basi dan langsung menjurus ke mana-mana. Tak bertanya tentang
identitas saya lebih lanjut. Intinya langsung ingin berhubungan dekat. Saya yang
kurang tahu soal dia, tanya pula ke orang-orang. 



Ternyata dia orang yang saya
kenal sepintas lalu, sebagai mahasiswa praktik di kampung saya. Selang dua
hari, temannya invite PIN saya. Saya approve dan dia langsung mengirim pesan
meminta nomor telepon dan PIN BBM adik sepupu saya. Saya heran pun tiba, apa
pula perempuan ini kok berani sekali mencari tahu dan menghubungi laki-laki
terlebih dahulu?
Di
mata saya sikap perempuan itu salah. Hidup ini penuh tata krama. Sikap “gatal”
dalam diri perempuan jangan pula diperlihatkan dengan jelas. Murahannya perempuan
jangan pula dipamerkan ke mana-mana. Kisah di atas, membuat saya shock
dengan kondisi perempuan masa kini.
Keberanian
itu kemudian menjadi perempuan murah. Gampang saja saya meladeni
pesan-pesan perempuan itu. Dia bermula main api, saya percikkan sedikit api dan
dia terbakar kemudian. Saya bisa saja memantik sejumlah besar api. Setelah itu
saya padamkan kembali.
Murahnya
harga diri perempuan tak hanya pada kisah cengeng dari saya. Ada kisah lain
yang membuat perempuan itu murahan. Datang ke rumah laki-laki. Menjumpai orang
tua laki-laki, padahal mereka masih sangat remaja. Isi pesan beragam sampai
menjurus ke hal-hal negatif.
Intinya,
laki-laki tak perlu susah payah merayu. Perempuan mudah saja diajak jalan ke
tempat remang. Karena mereka mau. Karena mereka butuh belaian tangan kasar
laki-laki.

Karena mereka butuh pelukan. Karena mereka butuh diciuman. Karena mereka
balas memeluk. Balas memegang. Balas meremas bagian-bagian kokoh dari
laki-laki. Setelah itu, apa yang terjadi terjadilah. Tidak ada yang tidak
mungkin.

Masa
murahnya perempuan Aceh saat inilah. Tak ada emas untuk mahar, tepikan saja
sepeda motor di semak-semak, pelukan atau ciuman sambil menunggu orang lihat. Jangan
takut dipukul karena denda saja yang diberikan orang kampung sebelum dikawinkan
di KAU.
Kisah
ini pula pernah saya alami sendiri. Seorang sepupu jauh. Katanya berlibur ke
Banda Aceh. Tahunya dibawa pacarnya. Nginap di salah satu hotel murah. Entah
apa yang mereka pikirkan, tengah malam mereka melintasi jalan sepi bekas
tsunami arah ke Ulee Lhee.

Mereka mematikan sepeda motor di antara semak,
pikirnya tak ada orang lihat karena perumahan jauh berselang. Nahasnya, pemuda
kampung memergoki mereka. Ketika ditangkap; ada telepon dari orang tua di
kampung makanya kami berhenti
. Setelah dicek tak ada panggilan masuk.

Apa
yang terjadi? Sepupu perempuan saya itu SANTAI sesantainya. Seolah-olah
tak ada beban. Kebetulan saya di Banda Aceh, datanglah sebagai penyelamat. Muak
saya melihat raut wajah perempuan itu. Murahan sekali tabiatnya.

Bahkan belum
menghubungi orang tuanya mengabari dirinya ditangkap warga. Saya terpaksa
mengaku sebagai salah seorang wali untuk melepas dirinya dalam cengkraman
warga.

Dialog orang kampung digelar. Pejabat tinggi kampung memenuhi rumah
ketua pemuda. Orang-orang dari berbagai elemen datang melihat. Penyelesaian masalah
ini benar-benar serius.

Kedua
orang yang ditangkap itu adalah pendatang. Warga setempat memiliki hukum
kampung yang menjabarkan bahwa jam 10 malam tak boleh ada pasangan yang
melewati daerah mereka. Jelas sekali.
Dan
di perempuan sepupu saya itu tak sedikit pun gemetar. Memohon pula kepada saya
untuk tidak menghubungi orang tuanya. Nasib pacar laki-laki dia sudah seperti
mayat hidup.

Apalagi saat ayah laki-laki pacarnya itu datang, orang kampung,
petani yang tak bisa berujar apa-apa untuk membela anaknya.

Tinggallah
saya mengolah kata dalam gemetar dan menahan malu. Gemetar itu muncul karena
saya marah sekali kepada perempuan yang tak tahu malu. Pada orang tuanya dia
mengatakan liburan sama teman-temannya. Pada saya hanya meminta tolong.

Negosiasi
dimulai. Adat kampung tak boleh dilanggar. Setiap pasangan yang ditangkap di
daerah itu harus membayar tebusan masing-masing 10 juta rupiah dalam
waktu hari itu juga. Saya mulai memutar kata. Berbicara dalam tenang dan
menerima bentakan mereka yang terus mengatakan bahwa nama kampung mereka telah
tercoreng.

Benar sekali kampung mereka tercoreng akibat ulang perempuan murahan
yang sudah enggan saya sebutkan sepupu.

Dua jam dialog itu berhembus, entah apa
yang terjadi kemudian, entah karena bahasa saya yang menang melawan banyak
bahasa dari berbagai mulut dari mereka di kampung mereka sendiri. Putusan
akhir, tiap pasangan membayar 2,5 juta rupiah dalam waktu hari
itu.

Akhir
kisah ini. Si pacar perempuan murahan itu membayar ganti rugi sebanyak 5
juta rupiah
setelah utang dari saudaranya di Banda Aceh.

Nasib
perempuan murahan itu, perempuan sepupu saya itu, sampai sekarang tak pernah
membayar utang uang dan budi pada laki-laki pacarnya. Pulang dari Banda Aceh
mereka putus. Laki-laki itu menanggung aib di keluarganya. Perempuan itu
benar-benar murahan. Hampir tiap bulan berganti pasangan sesuai kendaraan yang
dinaikinya.

Aceh
tidak bisa memutar-balikkan fakta. Di Aceh sudah terdapat perempuan murahan. Ungkapan
pelacur mungkin lebih kepada mereka yang bekerja sebagai pekerja seks komersial
– di kamus pun menjelaskan hal senada.

Perempuan Aceh itu hanya murahan saja.
Murahan dalam bersikap dan murahan dalam memberi semua yang dipunyai kepada
laki-laki yang mendekatinya.

Jika
benar berlogika dan berpikir jernih. Menikah saja walaupun dengan mahar
seperangkat alat shalat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *