Tangkaplah ikan sampai ke tengah lautan! Kira-kira, begitulah pelajaran hidup tak tertulis bagi mereka, di pesisir pantai. Pantai telah menjadi keseharian dalam hidup mereka. Laut telah menjadi rumah kedua yang tak pernah bisa ditinggal dan selalu terbayang begitu merapat ke daratan. Ombak telah menjadi goyangan sehari-hari, sehari saja tubuh kekar itu tidak terombang-ambing di lautan, rasanya pegal-pegal seluruh badan.
Kehidupan pesisir selalu menyisakan kenangan tak terlupa. Dari pesisir ini pula segala jenis makanan laut diracik menjadi satu masakan terlezat di seluruh belahan dunia. Masyarakat pesisir tak lain para penolong perut keroncongan yang ingin segera diisi oleh ikan bernutrisi dan berprotein tinggi seperti salmon, udang maupun kepiting.
Aktivitas pesisir tak lepas dari pemandangan yang sibuk sepanjang pagi maupun sore. Para nelayan yang baru pulang dengan bangga memamerkan hasil tangkapan mereka. Para pembeli yang sudah menanti, tak sabar ingin segera menggoreng maupun memasak gulai dari ikan segar.
Semua pemandangan itu nyata, dan mereka ada untuk kita. Kehidupan pesisir terus berlanjut walaupun bencana besar pernah merenggut masa depan dan cita-cita di tanah Aceh. Sepanjang lepas pantai wilayah barat Aceh tak lain adalah daerah yang dulu rata dengan tanah.
Masyarakat pesisir yang tersisa kemudian mengungsi ke dataran tinggi untuk waktu yang lama, semasa pemulihan emosional (psikis) maupun ekonomi (pembangunan). Masyarakat pesisir – sebagian – telah membina keluarga dengan masyarakat daratan.
Sebagian besar lain, anak tsunami itu, kembali ke pesisir dengan harapan hidup di tanah sendiri lebih bahagia dari pada di barak pengungsian yang terus meminta iba. Mereka berbenah dan kembali setelah rumah-rumah bantuan dibangun oleh pemerintah yang bekerjasama dengan lembaga asing.
Mereka memulai hidup baru yang gersang. Mereka memulai pencaharian baru yang belum tentu memberi pemasukan lebih besar. Hingga akhirnya, melaut kembali menjadi pilihan. Menepis trauma. Melupakan bencana.
Melaut lagi. Jadi nelayan. Karena mereka telah diajarkan oleh alam untuk mencari ikan. Karena alam memberikan harapan hidup lebih sejahtera jika mereka melaut. Karena ikan-ikan tak akan pernah habis di lautan mahaluas.
Karena setiap manusia pasti mengonsumsi ikan dalam jumlah banyak. Tiap hari ikan-ikan terus dijual di pasar-pasar. Tiap waktu ikan-ikan itu menjadi kawan nasi wajib hampir seluruh rumah tangga.
Kapal nelayan (lebih tepatnya perahu) melepas haluan. Didorong ke ombak yang menyentuh bibir pantai. Terombang-ambing menuju lautan lepas tanpa berpaling pada anak-istri yang terus melambaikan tangan.
Kehidupan pesisir memang demikian adanya. Seakan-akan, mengantar Ayah melaut adalah perpisahan. Tiada yang tahu apa yang terjadi di lautan lepas. Bisa dihempas gelombang pasang ke negeri asing dengan berbeda keyakinan, budaya dan bahasa.
Bisa ditangkap oleh tentara negara lain karena melanggar perbatasan. Bisa saja ada hiu sebesar raksasa yang terbang tak sengaja lantas mengempaskan diri dengan santai ke atas perahu kecil nelayan.
Bisa juga perahu itu bocor karena satu dan lain hal, tenggelam tak berbekas tanpa penolong dari perahu lain yang bisa saja tak melaut hari itu.
Masyarakat pesisir paham betul segala resiko. Mereka terus melaut. Mereka terus menjala ikan di bibir pantai jika tak ada perahu yang membawanya ke lautan lepas.
Tidak semua nelayan memiliki perahu. Tidak semua dari mereka mampu membeli perahu. Nelayan-nelayan itu membentuk kelompok kemudian baru melaut. Nelayan-nelayan itu melaut dari perahu seorang kaya yang menyewakannya untuk mereka.
Hasil tangkapan ikan tak selamanya sempurna. Saat ikan itu sedang merayakan kemenangan di tengah lautan, bergerombongan tak tentu arah, nyasarlah ke perahu yang telah dimatikan mesinnya.
Ketika itu pula, hasil tangkapan para nelayan menambah berat perahu kecil mereka. Dan, di saat lain, ikan-ikan itu kabur entah ke mana, hanya sebagian kecil yang mereka dapat bawa pulang. Jika perahu milik sendiri tak usah dibagi-bagi hasil jerih payah.
Jika perahu bersama orang lain, semua hasil tangkapan mesti dibagi sama rata. Jika perahu milik si kaya, sudah wajib pula membayar uang sewa.
Apa yang dibawa pulang kepada anak-istri? Sebuah senyum dan setangkai ikan teri. Anak-istri berlari mengejar Ayah dan suami. Mencium tangan bau amis. Memeluk badan mengelap seharian di bawah terik matahari. Mengambil setangkai ikan teri, digoreng maupun dimasak asam pedas khas Aceh.
Lalu, dihidangkan untuk seluruh anggota keluarga. Hari itu makan nasi dengan ikan teri. Besok bisa makan nasi dengan ikan tongkol. Lusa bisa makan nasi dengan udang maupun kepiting. Dan lusanya lagi bisa tak ada buah tangan yang dibawa pulang karena hasil tangkapan habis terjual. Mereka tetap tersenyum.
Mereka tetap menebar bahagia. Karena mereka tak perlu mengeluh. Tak ada pula yang mendengar dan mengasihani kehidupan mereka sehingga dapat tinggal di rumah bertingkat maupun mobil mewah. Mereka tidak pula berputus asa, melaut tiap hari untuk dapat membuat asap mengepul tiap hari dari dapur mereka.
Begitu seterusnya, kehidupan mereka di pesisir! Sebuah kondisi yang tidak kritis namun begitu adanya. Di saat sebagian menyantap ikan besar hasil tangkapan mereka, di saat itu pula mereka yang menangkap ikan hanya menyantap ikan teri saja.
Lihatlah mereka berbahagia. Namun masa depan mereka tidak hanya sebatas laut dan daratan saja. Anak-anak mereka butuh pendidikan yang layak sehingga tak jadi nelayan seperti Ayahnya. Anak-anak mereka butuh makanan sehat demi meningkatkan daya ingat terhadap pelajaran di sekolah. Istri mereka sesekali bolehlah memasak salmon maupun lobster yang lezat dan kaya protein.
Mereka yang selalu berpeluh butuh. Uluran tangan lebih sering dari pada sesekali. Lelah mereka melaut tak lantas dibayar dengan membeli ikan di bawah harga atau harga murah. Ikan yang mereka jual tetap sama di mana-mana.
Perjuangan mereka mencapai daratan setelah seharian di lautan sungguh sulit disamakan dengan bekerja di daratan; ruangan sejuk dan bergaji bulanan.
Perhatian dari pemerintah maupun lembaga amal lainnya. Alokasi dana khusus untuk para nelayan agar bisa membeli maupun memperbaiki perahu yang rusak. Perahu rusak atau tak ada perahu yang mau menumpangi mereka, sama dengan tak ada ikan yang bisa dibeli.
Pemerintah punya wewenang lebih sigap untuk menyelesaikan masalah ini. Menunggu proposal dari para nelayan yang mungkin hanya bisa membaca, bahkan buta aksara, sama saja permohonan mereka dilempar ke meja pejabat ini dan itu. Memperhatikan mereka di pesisir akan mensejahterakan kita di daratan yang selalu membeli ikan!
Dukungan untuk terus melaut. Mata pencaharian masyarakat pesisir adalah di laut. Mereka hapal arah mata angin. Mereka paham gejala yang muncul sehingga tidak dibenarkan melaut.
Mereka mengetahui teori pasang-surut. Memberi dukungan kepada mereka adalah salah satu bentuk motivasi untuk mereka bersabar dan selalu menebar senyum. Dukungan di daratan telah diberikan pemerintah – jika ada.
Pendidikan layak. Memang, secara tak tertulis para nelayan telah mewarisi ilmu melaut dari turun-temurun. Pendidikan yang diperlukan adalah kesiapsiagaan bencana. Apa yang harus dilakukan saat musibah datang ditengah lautan.
Sikap apa yang mesti diambil ketika nelayan dari negara lain datang dengan kapal besar. Bagaimana tindakan yang harus dilakukan saat tentara negara lain terlihat masuk ke perairan Indonesia.
Hajat hidup masyarakat pesisir adalah melaut. Memberi kebebasan kepada mereka sama dengan membuat mereka bahagia. Tanpa melaut mereka akan muram.
Mereka tak mampu bercocok-tanam karena sejak kecil hanya memegang jala. Mereka tak mampu berdagang karena semenjak remaja telah diajak Ayahnya melaut.
Keselamatan kehidupan pesisir terletak pada keberlangsungan masyarakatnya dalam melaut. Kebiasaan mereka melaut bukan diubah menjadi bertani. Dari kebiasaan lahirlah ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam kehidupan nyata.
Kehidupan pesisir memang gersang, namun masyarakatnya adalah mereka yang memberi kasih sayang; dari ikan yang kita santap tiap waktu makan!