![]() |
Koleksi Buku yang telah usang – Photo by Bai Ruindra |
bagian, lembarnya telah terlipat berulang kali di beberapa halaman, terdapat coretan
di beberapa qoute menarik di tengah bahkan sampai akhir, bahkan batangnya ada
yang patah sehingga lembar-lembar itu putus dari sambungan sebenarnya. Hal ini
terus terjadi ketika dia dibaca berulang kali, dipinjam oleh sanak-famili, oleh
si ini dan si itu, yang kadang tak pernah lagi kembali!
ada novel nggak?” tanya siswi di sekolah.
jawab saya.
pinjam dong, Pak!” seisi kelas ricuh. Kelas cewek memang selalu mengundang
banyak tawa dan keriangan karena begitulah kenyataannya apabila guru pria yang
mengajar. Siang hari yang panas pun tak lagi terasa benar-benar menyengat
karena saya bercerita tentang koleksi buku yang membuat mereka semakin
terkesima.
tanya buku karena lihat di Instagram, Bapak…,” aku seorang siswi yang saya
hapal wajahnya karena kerapkali mengupload foto di media sosial berbagi
gambar tersebut.
Nggak
salah lagi. Saya pernah mengupload foto koleksi buku ke Instagram ketika
banjir akhir November 2015. Air yang semakin naik membuat saya khawatir nasib
buku di dalam rak rendah. Saya memindahkan buku-buku tersebut ke tempat yang
menurut saya aman walaupun nggak tertutup kemungkinan akan basah juga apabila
air terus meninggi.
Namun, biasanya banjir di tempat saya tinggal “hanya” akan
masuk ke dalam rumah setinggi mata kaki bahkan sampai selutut – berdoa untuk
kami semoga apabila banjir kembali tidak setinggi ini lagi!.
meletakkan koleksi buku di atas kursi rotan di bagian rumah yang belum
tergenang air. Iseng saya foto lalu upload ke Instagram, lalu share ke
Facebook dan Twitter. Selain teman-teman penulis – blogger juga – banyak akun
di Facebook merupakan siswa dan siswi yang masih remaja.
Awalnya nggak
terlintas bahwa dengan mengupload foto buku-buku yang sedang sedih itu
akan membawa keinginan orang lain untuk membaca. Toh, di pedalaman
seperti ini susah sekali mencari pustaka dengan koleksi buku terbaru dan
populer. Rata-rata buku di rak Pustaka Wilayah hanya koleksi lama yang enggan
dilirik kembali.
![]() |
Safira Nabila dan Elvitiana Rosa, dua siswi yang pertama merajuk ingin membaca buku koleksi saya – Photo by Bai Ruindra |
saya kepada siswi yang terus merajuk, saya akan membawakan tiga buku terlebih
dahulu untuk mereka baca secara bergiliran. Suara kur 24 orang siswi itu cukup
menganggu kelas lain yang hening. Mereka mulai berembuk siapa terlebih dahulu
mengambil jadwal baca.
Saya pun mencatat siapa yang kena giliran pertama baca
sampai seterusnya. Saya memberikan waktu tiga hari untuk satu buku yang
kemudian digeleng oleh semua siswi. Akhirnya keputusan seminggu satu buku juga
nggak berjalan mulus. Kebiasaan membaca yang belum “gila sekali” membuat
siswi-siswi ini tak mampu membaca cepat buku setebal 400 halaman lebih.
Saya pun
paham sekali karena aktivitas mereka tidak hanya untuk membaca buku. Pagi sekolah,
sore akan membantu orang tua di rumah – kebiasaan anak perempuan – dan malam
sebagian besar siswi pergi mengaji, baik al-Quran maupun kitab kuning
(pesantren tradisional yang terdapat di daerah kami).
“Jangan dilipat, jangan dipinjam ke orang di luar kelas ini, jangan
dicoret!” wanti-wanti saya dijawab serentak oleh mereka yang berwajah gembira.
Bapak!!!”
sedang membicarakan menu makanan apa hari ini. Susahnya mendapatkan buku di
daerah tempat tinggal membuat saya rela membeli secara online. Namun yang
paling sering adalah membeli buku di salah satu toko langganan di Banda Aceh.
Saya
memang tidak memasukkan budget khusus setiap bulan harus membeli buku
berapa buah. Jika sedang liburan ke Banda Aceh, wajib saya mampir ke toko yang
menawarkan diskon untuk member tersebut untuk membeli satu atau dua
buku.
Dan tahulah apa yang terjadi, niat beli satu buku akhirnya terbeli lima
bahkan lebih sampai akhirnya budget untuk membeli pakaian – baju baru –
tak tersisa lagi.
Jika ditanya apa yang paling sering dibeli antara baju dengan buku,
jawabannya buku.
Apabila dilihat koleksi lemari, bukulah yang paling dominan dibandingkan
baju.
nggak masalah mengenakan baju yang sama berulangkali asalkan buku baru bisa
dibaca dalam waktu segera setelah diterbitkan. Buku tak hanya memberi aura
positif dalam hidup saya namun sesuatu yang selalu menarik diri untuk menyentuh
buku baru.
yang menarik setelah membaca buku? Sulit memang menjabarkan hal ini. Tiap orang
mempunyai keinginan masing-masing. Membuka cakrawala. Menambah pengetahuan. Wawasan
bertambah. Biar terkesan pintar…
Lepas
dari semua itu, karena saya penulis maka saya membaca! Manfaatnya tak hanya
menambah kosakata namun juga “mempelajari” bagaimana seorang penulis hebat
menulis sehingga karyanya abadi. Tulisan ringan yang saya hadirkan setelah
membaca akan bermanfaat kepada banyak orang. Artinya, dengan membaca saya juga
berbagi untuk orang lain.
enak kali bisa jalan-jalan gratis!” seru siswi di kelas itu begitu saya pulang
dari Jakarta akhir November tahun lalu. Pulang dari sana banjir menanti dengan
derasnya.
“Jika kalian ingin, membacalah lalu menulis!”
telah berapakali saya mengucapkan kalimat tersebut. Siswi-siswi itu terus
menagih buku lain setelah tamat membaca yang dipinjam sebelumnya. Saya pun
tidak jadi mengeluh begitu mendapati buku yang patah batangnya, robek di bagian
tengah atau terlipat di halaman tertentu.
Saya mengelus dada. Setidaknya, modal
awal mereka telah ada untuk memulai yang baru di hari-hari cerah ke depan. Bacaan
yang saya pinjamkan kepada mereka menyalakan semangat untuk tahu tentang baca
dan tulis.
saya tidak mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia, ajakan untuk membaca dan
menulis – misalnya puisi – selalu saya lakukan. Nggak ada yang menarik selagi
mata masih terbuka lebar selain membaca. Tak ada yang abadi selagi tangan
sanggup mengetik selain menulis.
memberikan bukti kepada siswi bahwa dengan membaca dan menulis bisa jalan-jalan
gratis bahkan menerima smartphone cuma-cuma dari hadiah lomba atau mengulas
sebuah produk. Masih
ragu membuka sebuah buku yang terduduk manis di meja itu?