Categories
Uncategorized

Aku Ingin Naik Haji

AKU INGIN NAIK HAJI adalah cita-cita semua muslim. 
Musim haji yang kini telah berbunga, membuat mimpi-mimpi terlalu panjang untuk tidak terlena. 
Saat tetangga berangkat haji, bulu kuduk bisa merinding. Saat tetangga telah pulang, seakan lutut lemas mendengar ceritanya selama di tanah suci. 
Mekkah dan Madinah yang memesona, menggelegar, membuat rindu, tak ingin pulang dan segenap kemegahan lain yang seperti benar telah di surga.
Ilustrasi.
Aku ingin naik haji. Aku ingin naik haji. Tentu, ini bukan perkara mudah. Panggilan haji tidak sama dengan memanggil burung onta untuk terbang rendah di depan mata. 
Setoran haji senilai lebih kurang 30 juta terlalu berat untuk ditunaikan. Bahkan, untuk mereka yang sanggup menunaikannya belum juga membuka buku tabungan haji. 
Mereka yang telah menyetor bertahun-tahun lamanya, belum juga berangkat haji. 
Ada pula yang baru setor setahun, tiba-tiba namanya dipanggil ke Tanah Suci, sebagai cadangan, tak apa asalkan berangkat juga. 
Begitulah tentang haji. Rahasia Ilahi begitu berlipat di sini. 
Aku ingin naik haji saja tidak cukup. Aku punya harta berlimpah juga tak menjamin tahun ini juga berangkat haji. 
Aku punya kekuasaan tingkat dewa, juga tak ada jaminan untuk berhaji. Selalu saja ada hambatan, halangan, ninabobo, alasan untuk gagal berangkat haji. 
Aku ingin berangkat haji, entah kapan itu akan terjadi. Namun gerak langkah yang mulia ini akan dimulai dari hati. 
Tuhan selalu ada cara untuk membuka pintu, termasuk langkah menuju ke Baitullah. 
Ada orang yang susah payah mengusahakan agar berhaji sesegera mungkin, satu titik saja bisa menghilangkan jejak terbang ke sana. 
Ada orang yang beribadah dengan tekun, beramal saleh, menjaga pandangan, menjaga omongan, tidak tahunya berangkat haji tahun ini, tahun depan juga demikian. 
Aku berhaji tidak hanya tergantung kepada kuota yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi maupun Pemerintah Indonesia. 
Niatku berhaji karena ingin membawa pulang Air Zam-zam bergalon, langkah itu akan mengeret seperti jel yang enggan bergerak. 
Niatku berhaji karena ingin pamer pernak-pernik dari Mekkah jika pulang nanti, sampai di Tanah Suci, jika benar digerakkan langkah ke sana, bisa saja aku tersesat di antara jutaan umat lain yang sedang beribadah. 
Aku ingin berhaji. Pastilah kata ini pernah terlintas di semua benak umat Islam. 
Aku ingin naik haji, ingin naik haji, ingin ke Mekkah, ingin ke Madinah, ingin mencium Hajar Aswad, ingin mengeliling Kabah, ingin lari-lari kecil – sa’i – ingin ke bukit Tursina, ingin i’tikaf di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, ingin berdoa di Makam Rasulullah SAW., ingin melafalkan labbaik allahumma labbaik, labbaikala syarikalabbaik!
Ada orang yang secara terang-terangan mengatakan, “Aku ingin naik haji!” 
Ada pula yang secara diam-diam, memohon, memanjatkan doa, bersujud terlalu dalam, meminta berkali lipat, walaupun dalam keadaan miskin papa, hatinya tetap saja berkata, 
“Aku ingin naik haji!” 
Haji dan seorang muslim tak akan pernah bisa dipisahkan. 
Rindu kepada Mekkah dan Kabah, Madinah dan Masjidil Haram, lautan manusia di Padang Arafah, putih membentang luas di seluruh negeri Arab Saudi, semuanya tak bisa digantikan dengan cerita-cerita dari orang-orang yang telah berhaji. 
Aku ingin naik haji, tidak ada yang tahu di antara kita akan benar diterbangkan ke sana. 
Ada yang telah menyetor tabungan haji, tiba-tiba gagal berangkat tahun ini, ditunda lagi tahun depan. 
Ada yang bahkan tidak menyetor tabungan haji, tiba-tiba sudah berangkat karena “bonus” dari siapa entah dari mana yang dibukakan hatinya oleh Tuhannya. 
Siapa yang berhaji tak pernah bisa ditebak. Namun, aku cuma ingin mengatakan, “Aku ingin naik haji!” 
Ingat dengan perkataan adalah doa? Niscaya Tuhan kita akan mengabulkan doa-doa dari setiap perkataan dan keinginan hati yang tulus. 
Ada bagian – mungkin belum saatnya aku ceritakan di sini – telah benar diijabah oleh-Nya. 
Aku menjadi percaya, segala ucapan, maksud hati, adalah doa-doa yang kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kitab keemasan oleh Malaikat Ratib dan Atib. 
Semua hal ini kemudian masuk ke dalam kategori baik dan buruk. Tentu yang baik akan diluruskan, yang buruk akan mendapat imbalannya pula. 
Terus saja berucap, “Aku ingin naik haji!” berkali-kali, jangan pernah berhenti, di mana saja, lisan maupun tidak, sendiri atau bersama orang lain. 
Sekali ada yang aminkan, amalan itu kemudian dicatat sebagai doa untuk kita. 
HAJI itu milik kita. 
Hanya kita saja sebagai seorang muslim yang diwajibkan ke Baitullah, apabila mampu. 
Namun masa tak pernah menipu. Waktu selalu memihak pada rindu. 
Aku pernah merasakan, mengucapkan saja keinginan-keinginan, kemudian Dia melapangkan langkah ke sana. 
Bagaimana dengan haji? Cukupkah aku mengucapkan, “Aku ingin naik haji!” 
Saat ini, cukupkan sampai di sini. Langkah ke sana akan ada jika kamu berderma. Tuhan pernah membelah Sungai Nil untuk Musa. 
Tuhan pernah mengayunkan Perahu Nuh di tengah banjir besar. Tuhan pernah membelah Bulan untuk menampakkan mukjizat Muhammad kepada kaum jahiliah. 
Semua akan mungkin. Tidak ada yang mustahil. 
Walaupun saat ini kamu tak ada simpanan, kantong kosong dari uang receh sekalipun, nggak akan yang tahu tahun depan ragamu dan jiwamu telah berdiri kokoh di tengah-tengah padang pasir Arab Saudi. 
“Aku Ingin naik haji!” dengungkan terus, jangan pernah bosan. Tiap selesai salat, sisipkan doa ini. 
Kapan waktu mengizinkan, ucapkan kalimat ini dengan lantang. 
Tuhan tidak pernah tidur. Dia akan mendengar suaramu dan suara hatimu. Aku tidak memintamu percaya sepenuhnya dengan kalimat itu. 
Aku cuma ingin tahu seberapa dalamnya kamu berkeinginan ke Tanah Suci. 
Jika kamu telah diberangkat oleh-Nya secara tiba-tiba, katakan kepadaku bahwa panggilan haji itu benar-benar ada. 
Aku ingin naik haji. Tentu saja. Entah kapan dan bagaimana caranya. 
Aku percaya Tuhan akan menggenapkan langkah ke sana. Bisakah kamu juga percaya dengan ucapanku? 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *