Categories
Uncategorized

Inilah Daerah yang Jadi Kiblat Pariwisata Indonesia

 

Seorang bule mengangkat selancar di Pantai Kuta, Bali – Photo by Bai Ruindra

“Saya
ingin ke Bali!”
Tentu,
bisa saya pastikan hampir semua orang ingin ke Bali. Aroma Pulau Dewata memang
sangat luar biasa. Dari apapun yang terlihat, baik di media massa maupun
elektronik, Bali merupakan tumpuan harapan untuk menuju “kebahagiaan” dalam
memanjakan kesenangan hidup.

“Benar
kamu akan ke Bali?” tanya Ibu begitu saya memberitahu akan ke sana awal
September lalu. Kacamata ekonomi keluarga kami tentu belum memihak kepada saya
untuk jalan-jalan dengan pesawat terbang. Namun beginilah berkah dari menulis,
saya diterbangkan ke Bali oleh salah satu brand smartphone
ternama.
perjalanan itu dimulai…
Ini
kali keempat saya meninggalkan Banda Aceh dengan pesawat terbang. Penerbangan yang
menjadi lumrah, saya nikmati saja walaupun perih dari keluarga masih terasa. Keempat
perjalanan udara yang saya jalani adalah berkah dari menulis blog.
“Bagaimana
kamu di sana? Siapa yang jemput?” Nenek saya cukup khawatir. Berulangkali telah
saya katakan, tetapi perasaan orang tua terhadap anaknya tentu berbeda. Nenek saya
terlalu meledak, Ibu saya hanya terlihat mata memerah. Tahun 2014 adalah
perjalanan awal saya dengan pesawat terbang yang membuat jetlag nggak ketulungan.
Saya nggak enak badan, sebentar-sebentar ingin ke kamar kecil, dan selera makan
menurun padahal belum naik pesawat. Saat itu, saya terbang ke tetangganya Bali,
Nusa Tenggara Barat (Lombok).
Saya
menikmati traveling kali ini karena proses extend telah saya
dapatkan. Dua hari setelah acara inti, saya bebas menjelajah Bali bersama dua
sahabat blogger. Pandu Dryad dari Bali dan Sandi Iswahyudi dari Malang. Pandu telah
menjabarkan beberapa tempat wisata yang akan kami jejaki. Saya dan Sandi sangat
antusias dengan jalan-jalan ini. Bagi kami, ini adalah waktu untuk bermanja
dengan Bali yang megah, mewah, hebat, dikagumi, disanjung, dikenal hampir ke seluruh
negeri.
“Bai
akan ke Bali?” tanya teman saya dengan mata terbelalak.
“Asyiknya
yang akan ke Bali!!!” teman yang lain berdetak kagum.
“Kamu
ke Bali dengan gratis?” seorang teman tidak percaya.
Bali
memang sesuatu. Daerah dengan Ibu Kota Provinsi, Denpasar, berada di dekat
laut, pura dan candi di mana-mana, bule berselancar dengan senang hati, dan
aneka “fitur” yang yang mestinya kamu kagumi jika suatu saat ke sini.
“Mak,
di mana-mana ada bule!” lebih kurang, begitu status yang pernah saya tulis di
media sosial.
Bali
dipoles dengan mahar cukup besar karena wisatawan domestik dan mancanegara
berdatangan tiap hari. Benar seperti anggapan saya, pendapat mereka, dan
bayangan siapa saja, bahwa Bali memiliki cita rasa yang belum saya temui di
tempat lain. Eksotiknya Bali dipadu dengan kultur, budaya, bahasa dan agama
yang begitu kentara. Jarang sekali daerah dengan tingkat kunjungan wisatawan
tinggi masih memegang teguh agama. Mungkin ini hanya pendapat saya, tetapi apa
yang saya lihat, perbedaan Bali dengan Aceh, unsur-unsur lain, menjadi benar
bahwa aspek wisata tidak memengaruhi kekentalan agama di Bali.
Langkah
yang memihak pada Pura Taman Ayun, misalnya, saat matahari terik di 10
September, kesunyian dan kedahsyatan umat Hindu beribadah di pura berbentuk
piramida ini terlihat dengan nyata. Bidikan kamera menderu dan dikejar waktu
mengarah ke sana, bersama kamera para bule yang kami temui. Ini baru permulaan
dari perjalanan kami, bahkan di hari sebelumnya saat menginjak kaki di Monumen
Perjuangan Rakyat Bali di Lapangan Renon, Denpasar, saya belum mencatat dengan
baik bahwa Bali telah menjadi kiblat pariwisata Indonesia. Langkah yang
tertatih kian pasti ke dalam Pura Taman Ayun, pola pikir saya pun menjadi-jadi.
Polesan Bali terasa sampai ke ubun-ubun dan bermain dengan senjata siap
meledakkan granat di hati wisatawan.
“Duar!”
kamu akan jatuh cinta dengan Bali!
Decak
kagum. Melodrama. Melankolis. Romantis. Khidmat. Khusyuk. Dan entah padanan
kata apalagi yang mesti saya bumbuhi untuk Pura Taman Ayun, juga untuk tempat
wisata lain yang saya kunjungi setelah ini.
Bali
adalah kiblat untuk seluruh pariwisata Indonesia. Bali tidak hanya memiliki
cita rasa yang manis, Bali juga menyimpan segudang hal kecil sehingga menjadi
besar.
Bali dengan Kesunyiannya
Nusa
Dua termasuk tempat “sunyi” dari beragam definisi. Kesunyian itu tercipta
dengan sendirinya. Rasa sunyi ini pula yang terkadang dicari oleh orang. Lelah beraktivitas
seharian, bekerja menumpuk uang, kepala berat akibat urusan keluarga, dan
masalah lain yang menghadang tiba-tiba, kita layak mendapatkan sunyi di Nusa
Dua, Bali.
Nusa Dua, Bali, sunyi dan eksotik – Photo by Bai Ruindra
Kawasan
Nusa Dua yang elit tampil unik dan menarik dengan pura, patung-patung, pohon
rindang, hotel mewah dan jalanan sepi. Tempat ini dipoles dengan begitu manis
sehingga terkesan seperti kompleks perumahan mewah. Area wisata dengan slogan mahal
ini juga memiliki pantai yang indah, Paninsula Island. Pantai ini juga
menyuguhkan pemandangan yang tidak kalah dengan tempat lain. Kiri adalah pantai
bebas, kanan adalah pantai dengan private tingkat atas. Kamu tidak akan
menemukan suara gendang, musik maupun ombak yang menyentak-nyentak. Semua pas
pada porsinya masing-masing.
Laut tenang di Paninsula Island, Nusa Dua, Bali – Photo by Bai Ruindra
Kesunyian
di Nusa Dua terasa lebih menyengat dengan pesona di seluruh area. Bagi saya,
tempat yang hampir sama dengan Nusa Dua adalah Pura Taman Ayun. Berbeda dengan
Nusa Dua yang lebih mewah dan elegan. Pura Taman Ayun memang dihadirkan sebagai
objek wisata yang kental dengan ajaran Hindu. Pura-pura yang menjulang,
candi-candi yang ada, patung yang lembut dan angkuh tak lain sebagai pemanis
kesunyian itu sendiri. Mudah saja menemukan umat Hindu beribadah di dalam pura.
Sayangnya, kita tidak dibenarkan masuk ke dalam pura tersebut.
Umat Hindu beribadah di Pura Taman Ayun, Bali – Photo by Bai Ruindra
Kaki
yang pegal dan letih di dua tempat ini tak terasa karena kepala saya terus
menyortir kata sunyi untuk menenangkan hati dan pikiran. Benar saja, di setiap
saat udara terhirup, lega itu terasa memenuhi dada. Penat yang terlena, dilupa
begitu saja dan digantikan dengan hawa bahagia. Oksigen yang dipancarkan dari
pohon-pohon tinggi dan rindang merupakan pertanda untuk melanjutkan perjalanan
selanjutnya.
Mungkin,
sebagian orang tidak menyukai hal-hal sedemikian. Saya cukup menikmati karena
kesenangan itu bukan hanya terletak pada hura-hura semata.
Bali dengan Kebersihannya
Jika
di Pura Taman Ayun larangan untuk tidak menginjat rumput tertera di atasnya,
berbeda dengan Pura Ulun Danu Bratan maupun Tanah Lot. Saya cukup tersindir
dengan keadaan di tempat-tempat wisata ini. Kata bersih rasanya tidak lagi
mewakili segenap perasaan. Setiap pandangan adalah kebersihan. Di segala sudut
orang menenteng bekas minuman maupun makanan. Di mana-mana rumput hijau dengan
tanpa “bekas” luka.
Pura Taman Ayun yang dijaga dengan baik – Photo by Bai Ruindra
Nilai
jual ini yang belum saya dapatkan di tempat wisata lain. Hal ini pula yang
menjadikan Bali sebagai kiblat pariwisata Indonesia. Kebersihan memulai segenap
anggapan setelah itu. Pandangan orang akan tertuju kepadamu apabila bersih,
wangi dan rapi. Apapun alasannya, kebersihan itu tetaplah yang utama dalam
menunjang penampilan.
Kebersihan
yang terlihat di Pura Taman Ayun, Pura Ulun Danu Bratan maupun Tanah Lot, mewakili
semua tempat wisata Bali yang belum saya singgahi. Tempat wisata yang menarik
saja tidak cukup, tempat wisata yang unik saja bisa hilang kadar menariknya, tempat
wisata yang menyimpan sampah di mana-mana mencerminkan keangkuhan. Perpaduan tempat
wisata seperti yang terlihat di tempat-tempat yang saya sebutkan ini menjadi
patokan bahwa itulah yang mesti diubah, persepsi inilah yang bagus,
inilah contoh mengubah pariwisata Indonesia!
Seniman di Pura Taman Ayun, Bali – Photo by Bai Ruindra
Bali dengan Keindahannya
Definisi
keindahan itu sebenarnya lebih bermula pada apa yang enak dilihat. Salah satu
pemandangan terindah itu adalah sunset atau matahari terbenam. Salah satu
tempat yang paling tepat untuk ini adalah Pantai Kuta. Banyak pantai indah di
Bali. Banyak pula tempat yang tepat untuk memotret sunset maupun sunrise.
Pantai Kuta termasuk ke dalam list jalan-jalan kami karena pantai ini
cukup terkenal.
“Beli
oleh-oleh topi di Pantai Kuta ya!” permintaan seorang teman, meskipun tidak
saya kabulkan karena berbagai alasan.
“Yang
lagi lihat bule di Pantai Kuta…,” komentar teman lain begitu saya memposting
foto ke media sosial.
Pantai
Kuta sejatinya memiliki pesona tersendiri. Saya kemudian merasa bahwa pesona
itu telah dijaga dengan rapi. Contoh kecil adalah “pawang” yang berdiri
perradius beberapa meter antara satu orang dengan lainnya. Semula saya tidak
begitu peka, bunyi peliut yang tiba-tiba menyentak membuat saya tersadar. Peliut
itu akan ditiup apabila para peselancar – kebanyakan bule – telah melewati
ombak pertama yang tinggi. Tanda itu adalah perintah untuk balik ke batas yang
telah ditentukan. Peliut-peliut itu bertalu-talu lebih kencang apabila wanita
dan anak kecil melewati batas mandi laut atau belajar surfing.
Aceh
yang juga dikelilingi dengan wisata pantai belum memiliki pawang laut begini. Orang-orang
akan ribut dan gaduh apabila seseorang hilang dan tenggelam. Bali memang
menguatkan segala aspek sebagai kiblat pariwisata Indonesia. Pawang di bibir
pantai ini sejatinya bisa dianggap enteng, tetapi tugasnya cukup besar dan
tanggung jawabnya berat.
Apa
yang ingin kamu lihat, itu ada di Bali. Mungkin, falsafahnya demikian.
“Hati-hati
lho sama bule yang pakai underware saja!” seorang teman berujar
demikian.
“Jaga
pandangan selama di Bali!” teman lain memberi nasehat.
Efek
dari terlalu memandang sesuatu dari nilai negatif, sikap was-was kemudian
muncul sangat pekat. Apapun tentang Bali selalu diselundupkan dengan bau-bau “busuk”
padahal saat berada di Bali, tiga hal yang saya sebutkan tadi belum saya
dapatkan di tempat lain. Benar jika pandangan tidak bisa direm, tetapi semua
kembali ke pribadi masing-masing.
“Masih
banyak kok tempat indah yang saya lihat!” sebuah pembelaan sebenarnya
tidak perlu. Posting foto di media sosial cukup mewakili apa yang saya lihat
selama di Bali. Bali tak hanya menjadi kiblat pariwisata Indonesia, daerah ini
bisa lebih dari itu. Tempat-tempat yang saya sebut ini belum memiliki tandingan
di daerah lain. Polesannya masih alami, riak senandungnya masih segar dan
segala pernak-pernik yang ada di dalamnya memiliki nilai jual teramat tinggi.
Pura Ulun Danu Bratan di Bedugul salah satu tujuan wisata yang sejuk dan bersih – Photo by Bai Ruindra
Apa
yang saya lihat di Bali dan orang lain juga lihat tentunya adalah tugas,
pekerjaan rumah dalam memajukan pariwisata Indonesia. Wisatawan domestik maupun
mancanegara nggak perlu dikasih tahu sudah pasti akan ke Bali. Namun ke Sabang,
ke Raja Ampat, ke Danau Toba, ke tempat-tempat lain, sudahkah sebesar kunjungan
ke Bali?
“Ada
kok tempat mandi sabun di Kuta!” begitu ujar driver kami. Pandu
membenarkan. Mandi sabun yang dimaksud adalah tempat mereka yang gemar dengan
musik keras, dansa di lantai dengan liukan tubuh, dan minuman keras.
“Saya
tidak tertarik,” ujar saya. Sandi menyetujui.
Berlibur.
Berwisata. Apapun istilahnya, tak selalu bernilai senang-senang semata. Sudah saatnya
pula tempat-tempat wisata di Indonesia memiliki nilai edukasi. Paling tidak,
sepulang dari sana, bukan cuma foto dengan tawa lepas saja, tetapi lebih dari
itu. Bali telah lama memulainya. Apakah daerah lain akan memulai hal yang
serupa? 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *