Categories
Uncategorized

Siapa yang Baca Tulisan Ini Saat Kuhantam ke Titik Akhir

Galaunya seorang calon penulis adalah ketika muncul pertanyaan, “Siapa
yang baca tulisan ini?”
Kata-kata yang terburai begitu saja seolah menjadi mubazir. Tak
tersentuh. Tak bermuara. Tak ada suka. Tak ada pula duka. Dan tak bernyawa.
Larut begitu saja. Lantas, tenggelam dalam kesendirian bagai burung pipit yang
tak laku sampai usia senja. Namun, ‘tugas’ seorang penulis adalah menulis. Jika
tidak dimulai, tiada pula peperangan yang semestinya diakhiri.

Penulis ‘selalu’ di depan laptop.
Satu titik saja jika benar bersenyawa dengan napas yang terputus-putus,
maka ia akan memberi manfaat. Tulisan ini siapa yang baca? Tulisan ini siapa
yang nilai? Tulisan ini siapa yang butuh? Tulisan ini untuk apa? Tulisan ini
bagus tidaknya? Tulisan ini begini? Tulisan ini begitu?
Maka, sampai lelah hari berganti seolah terhenti, tak ada pula satu kata
terukir di halaman putih berseri. Kesenjangan ini sebenarnya selalu menghampiri
siapa saja yang ingin menulis – selain kemauan menulis itu sendiri. Calon
penulis terlalu berambisi – barangkali – mendapatkan ribuan sampai jutaan
pembaca dalam waktu sekejap. Mungkin juga, calon penulis ingin langsung dimuat
karyanya di media massa (koran maupun majalah yang masih cetak) untuk
mendapatkan tenar nama dan honorarium menggiurkan.
Lalu, mereka lupa belajar dari ‘sesepuh’ di dunia literasi bahwa menulis
itu tidak seperti mata berkedip, tidak pula semudah membalik telapak tangan.
Puluhan sampai ratusan naskah dihasilkan siang malam, termakan usia sampai
rambut beruban, baru kemudian namanya terpampang nyata di koran ternama. Joni
Ariadinata adalah sosok yang benar-benar kokoh dalam literasi tanah air.
Sastrawan ini ratusan kali menerima tamparan dari redaksi koran dan majalah
sebelum akhirnya merasa napasnya lega. Masa itu, Kompas menjadi media yang
‘beruntung’ memuat Cerita Pendek sosok ini. Dari situ pula, Joni Ariadinata
diakui sebagai sastrawan berbakat dan diperhitungkan sampai kini.
Tiadakah tulisan Joni Ariadinata dibaca oleh redaktur Kompas dan koran
serta majalah lain yang pernah ia kirim naskahnya? Tentu saja dibaca. Saya
berpikir demikian. Saya berpikir positif saja. Namun, kriteria pemuatan yang
rumit sehingga naskahnya baru lolos ‘verifikasi’  pada babak hampir akhir. Ending itu yang
perlu digarisbawahi oleh calon penulis. Bahwa, bagian akhir yang akan
mengantarkan sisa kenangan teramat panjang.
Tulisan yang tulis, ada yang baca. Tulisan yang ditulis, ada yang
minati. Perjuangan kita kini lebih berbunga karena tanpa media massa yang
memuat sekalipun, kita masih bisa bersemedi dengan blog; apakah itu blog
pribadi atau blog komunitas. Satu saja view bisa menjadi bekas tak terdefinisi.
Dua tiga view akan melambungkan sesak di dada. Ratusan view melambungkan
bahagia setingkat. Ribuan view hampir pingsan menarik napas karena bahagia.
Tetapi, untuk sampai ke sini, pada babak ini, tidaklah mudah dan tidak semua
orang beruntung.
Satu tulisan nol pembaca, lantas menutup notebook. Dua tulisan tak ada
pembaca, mata beralih ke film Korea. Tiga tulisan masih tanpa pembaca, nyaris
menyerah dan tersedu di sudut kamar. Sepuluh tulisan masih sama, dan entah itu
adalah bagian terakhir maka memilih tidak menulis lagi. Jika demikian adanya,
kita belumlah termasuk ke dalam golongan yang beruntung dalam menulis. Kita
hanya butiran debu jika dibandingkan dengan sastrawan atau penulis lain di
Indonesia bahkan dunia sekalipun.
J.K. Rowling menerima pukulan pahit sebelum serial Harry Potter
menggemparkan dunia. Dianggap aneh dan tidak ada pembaca, banyak penerbit
menolak naskah sihir itu. Tetapi kemudian, naskah ini menjadi buku terlaris,
difilmkan laris manis, sampai penikmat buku maupun film terbayang akan tongkat
sihir. Sekolah sihir, Hogwarts, yang dahulu menjadi imajinasi J.K Rowling
semata kemudian menjadi tujuan ‘wisata’ yang mahal. Tiga sekawan, Emma Watson,
Daniel Radcliffe dan Rupert Grint adalah aktor yang kini sangat besar berkat
buku dongeng pengantar tidur tersebut.
Tulisan yang ‘tidak ada’ pembaca yang sebenarnya laku keras di hati
banyak orang. Raditya Dika pernah menyebut dalam salah satu bukunya bahwa
naskah buku pertamanya ditolak oleh penerbit karena aneh. Namun, lihatlah
Raditya Dika saat ini; adalah sosok yang mempopulerkan kelucuan dan keluguan. Raditya
Dika menjadi penulis komedi yang sangat dikagumi setelah era Boim Lebon dan
Hilman ‘Lupus’ Hariwijaya.
Membaca dan menulis adalah hal yang saling berkaitan.
Sahabat saya, Ferhat Mukhtar, berujar tiap kali kami ngopi, “Tiap
tulisan itu ada pembacanya, Bai!”
Saya percaya dan yakin akan hal itu. Meski tertatih, saya bertahan.
Meski terlampau lelah, saya berjuang. Perkataan sahabat saya yang lain, Fardelyn
Hacky, “Kamu akan jadi sesuatu suatu saat nanti jika terus menulis, Bai!”
Benar saya telah jadi ‘sesuatu’ walaupun seorang blogger yang semata
dipandang begini dan begitu. Namun, pencapain dari menulis tidak bisa saya
dapatkan dari duduk manis dengan secangkir kopi, melototi tiap yang lewat di
depan mata atau tersedu di kaki langit berharap segoni emas jatuh karena
pengaruh gaya gravitasi.
Saya terus menulis walau tidak ada yang baca. Karena nanti, suatu saat
nanti, pembaca akan mampir sejenak, mungkin terlena atau hanya kasihan, mungkin
juga penasaran. Di sini saya ikut berperang dalam kata, demikian juga di bairuindra.com
yang tak bisa saya lepas begitu saja. Jika nanti, kamu kembali bertanya,
tulisan ini siapa yang baca? Jawabnya adalah, tulisan ini sedang mencari
tuannya yang hilang dalam rimba maharaya Sang Kuasa!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *