Categories
Uncategorized

Maudy Ayunda, Harvard atau Stanford hingga Babak Akhir UNBK

Sempat berpikir, bagaimana mungkin ada orang memiliki
pemikiran seperti Maudy Ayunda. Selama menjadi guru honorer – meskipun mata di
luar sekolah memandang rendah profesi ini – belum pernah sekalipun saya
mendapati anak-anak yang tidak galau menjelang ujian.

Maudy Ayunda tentu sangat berbeda. Di mata saya sebagai
guru, artis dan penyanyi ini memiliki keistimewaan yang seharusnya melekat
dalam diri banyak siswa di mana mereka belum bekerja. Konteks Maudy saat ini
adalah seorang pekerja di dunia hiburan; dengan karya berupa lagu, film bahkan
menjadi Brand Ambassador produk smartphone
dan beberapa brand ternama lain.
Maudy Ayunda
Wawancara Najwa Shihab dengan Maudy Ayunda di akun YouTube
pembawa acara Mata Najwa, rilis tanggal 22 Maret 2019, tidak hanya membuka
wacana maupun mempertemukan gagasan antara dua wanita ‘pintar’ semata.
Saya merasakan lebih dari itu. Sebelumnya, di Twitter,
bahkan tidak hanya sekali nama Maudy Ayunda menjadi Trending Topic Indonesia dengan
tema galau memilih pendidikan magister
di Universitas Harvard ataupun Universitas Stanford.
Sebelumnya, bintang film Perahu Kertas ini memublikasikan surat
keterangan lulus di dunia kampus ternama dunia itu. Galau yang beda rasa. Pesona
Maudy benar-benar menghipnotis seluruh negeri yang kemelut dengan perkara remeh
lain. Pembawaan Maudy memang terlihat seperti kutu buku dalam suasana
bagaimanapun.
Sulit sekali saya menemukan anak muda atau anak sekolah yang
tidak hanya smart maupun memiliki
jiwa petarung seperti Maudy. Anak-anak zaman sekarang yang terbius oleh isu-isu
Hak Asasi Manusia (HAM), begitu mudah memenjarakan guru mereka. Giliran diminta
menjawab soal bukan malah senang seperti Maudy, melainkan cemberut bahkan
memasang wajah jutek kepada guru mereka.
Potret yang model begini di manapun tetap sama. Penelitian
oleh dosen, peneliti maupun siapapun itu di luar pagar sekolah, bagi saya hanya
bualan semata. Kenapa demikian? Seorang peneliti hanya memberikan kuisioner
maupun masuk kelas paling banyak sehari saja.
Sedangkan guru 3 tahun akan terus dilihat dan membentak
anak-anak bandel tanpa terkonsep dan refleks memukul kala mendapati mereka
loncat pagar. Sifat baik yang ada dalam diri guru ini selamanya tak akan pernah
terbaca oleh siapapun. Meskipun guru saat ini disudutkan tetapi mereka yang
mengajar dengan ikhlas tetap diam dan memaafkan tabiat anak-anak didiknya.
Berbanding terbalik dengan arogansi orang tua dan sikap sok pintar anak-anak
dengan rangking paling bawah.
Semua orang saat ini pasti mengagumi sosok Maudy Ayunda.
Anggun dan cantik. Pintar dan memiliki kepribadian yang disegani. Nah,
anak-anak model Maudy begini tidak pernah ‘memenjarakan’ guru mereka karena
paham konsep dan konteks pelajaran secara keilmuan maupun manfaat dalam rangka
mensejahterakan hidupnya kelak.
Saya bicara soal anak-anak karena pandangan jahat selalu
ditujukan kepada guru. Padahal, guru hanyalah manusia yang dibebankan tugas
untuk ‘mencetak’ generasi menjadi seperti ‘Maudy Ayunda’ saja. Tidak ada tugas
guru untuk mengajarkan tabiat galau-galau sehingga masalah sekecil apapun langsung
bawa polisi ke sekolah. Jika ingin menilik aturan sekolah ada yang tertulis dan
tidak tertulis. Salah satu contoh adalah mengajarkan karakter sampai kapanpun
tak bisa ditulis karena tiap anak berbeda tabiatnnya.  
Pelajaran penting dari wawancara Maudy Ayunda dengan Najwa
Shihab
bahwa peran orang tua adalah nomor satu dalam mencetak generasi terbaik
negeri ini. Tanpa perlu saya tulis, orang-orang pintar di luar sana paham betul
begitu sulitnya menembus Harvard maupun Stanford. Sama halnya mengejar rangking
1 dan 2 di kelas. Makin dikejar, makin menjauh meskipun kita telah belajar
maksimal.
Maudy Ayunda tak ubah pemeran utama drama Korea Selatan
terkenal, Sky Castle, di dalam dunia nyata. Ambisi berbicara di atas segalanya
sehingga apa yang ingin dicapai dan cita-citakan begitu mudah diraih. Bayangkan,
bagaimana bentuk pola pikir Maudy yang dengan lugas mengatakan sejak sekolah
dasar sudah ingin masuk Harvard!
Sky Castle hanya ilusi di layar kaca. Hampir tiap episode
drama ini menyebut Harvard sebagai impian terbesar seorang anak-anak pintar di
Korea, selain Universitas Negeri Seoul. Namun, cerminan ini adalah nyata dari
orang tua yang paham bentuk pendidikan seperti apa konsepnya. Sky Castle tidak
mencerminkan orang tua yang sedikit-sedikit lapor guru ke pihak berwajib.
Maudy Ayunda berada di lingkaran Sky Castle itu. Sayangnya,
di dunia nyata di mana saya berhadapan dengan siswa beragam tabiat, belum ada sosok
dengan pola pikir bahkan berambisi seperti Maudy Ayunda.
Dua tahun dengan ini, saya dipercaya sekolah sebagai
pelaksana Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Ujian yang dipaksakan dengan
keterbatasan alat. Saya mungkin hanya bisa mengeluh di dalam hati karena protes
itu tak akan pernah didengar oleh siapapun.
Di mana sekolah saya berbasis madrasah tsanawiyah, maka
pelaksanaan ujian tidak hanya UNBK semata di April nanti. Kami akan menghadapi
setidaknya 3 ujian berbasis komputer tahun 2019. Pertama Ujian Akhir Madrasah
Berstandar Nasional (UAMBN), kedua Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dan
ketiga UN.
Sistem yang mapan namun alat tidak mendukung. Sekolah harus
mengemis-ngemis kepada orang tua siswa untuk menyediakan laptop, tanpa melihat
kemampuan ekonomi dari sudut pandang manapun. Ujian akhir tetap berbasis
komputer; begitu perintah pemerintah kita.
Setahu saya, Dana Operasional Sekolah atau dikenal dengan
dana BOS tidak ada anggaran untuk membeli laptop dalam jumlah banyak sekaligus.
Sulit sekali untuk menjangkau pembelian laptop rata-rata 27 sampai 30 unit
untuk sebuah sekolah tanpa boleh pungutan SPP. Maka, pelaksana ujian mau tidak
mau harus memutar otak bagaimana cara ujian akhir ini berhasil.
Di sudut lain, anak-anak malah lebih gemar melempar bola
voli dibandingkan belajar di dalam kelas. Tak ada ‘bakat’ Maudy Ayunda di
anak-anak saya ini. Mereka bebas mau berbuat apa karena yang akan ujian nanti
adalah ‘komputer’ dengan aplikasi siap pakai.
Wacana untuk menghapus Ujian Nasional yang diutarakan oleh Calon
Wakil Presiden, Sandiaga Uno, dalam Debat Terbuka Wapres, disiarkan televisi
nasional beberapa waktu lalu, mungkin hanya akan menjadi pemanis semata. Jika
memang UNBK ini tidak layak di Indonesia, dengan alasan yang telah saya
sebutkan, dan dilupakan oleh pemangku jabatan, maka hapuslah mulai sekarang. Jangan
pernah menunda-nunda karena banyak sekali mudharatnya dibandingkan manfaat.
Alasan apa dari saya? Toh,
anak-anak kita bukanlah semua seperti Maudy Ayunda, sosok yang senang ujian,
lalu bisa dengan mudah diterima 2 kampus bergengsi dunia. Anak-anak kita telah
dimanja HAM. Guru diminta untuk mengajar dengan lemah-lembut namun soal yang
keluar sewaktu UNBK – yang dibuat oleh bukan guru sebagiannya – adalah
soal-soal dengan tingkat kesulitan tinggi. Bakat dan kemampuan anak-anak yang
berbeda tentu sulit mencerna soal-soal rumit ini. Mau dibawa ke mana setelah
mereka dipaksa jawab soal tes sulit itu?
Alat bisa diakali. Laptop bisa disewa atau meminjam dengan
segala cara. Kabel LAN masih murah dijual. TP-Link juga tak mahal-mahal amat. Internet
masih aman dengan angka 500 ribuan perbulan dan unlimited. Tetapi, tabiat anak-anak kita tak seperti cerminan
anak-anak Sky Castle, apalagi membandingkan dengan Maudy Ayunda?
Mungkin, saya dipandang lemah karena di kampung. Tetapi, di
sini juga UNBK. Tak ada yang beda. Internet malah bisa lebih cepat karena tidak
banyak pemakaian dibanding dengan di kota.
Babak akhir UNBK sebenarnya belum dimulai sama sekali. Anak-anak
yang saat ini senang karena tidak ada ujian akhir, belum bisa memilih calon
pemimpin. Pihak bertanggung jawab terhadap UNBK tentu khawatir kantong bisa
menipis. Semua jadi serba salah. Semua dipaksakan dengan palu baja. Tak ada
yang peduli sekalipun terhadap operator maupun teknisi UNBK, pergi pagi pulang
malam, dalam kondisi tanpa NIP, membela UNBK itu tetap sukses.
Kita tidak sedang di Harvard maupun Stanford. Bukan pula memiliki
pemikiran sehebat Maudy Ayunda. Bahkan mungkin, saya dianggap cengeng membanding-bandingkan
segala sesuatu yang bahkan media massa cetak maupun online sungguh jarang meliput apalagi menjadikannya berita utama
atau Headline.
Perkara yang tidak mudah. Maudy Ayunda tetap memilih antara
Harvard atau Stanford. Anak-anak kita tinggal mencari kesenangan terhadap UNBK.
Pola pikir yang sedemikian terus dipoles dalam paksaan. Pesan saya cuma satu, tempatkan
apa yang ingin dicapai sesuai kemampuan karena bila tak sanggup semua itu hanya
halusinasi semata!

1 reply on “Maudy Ayunda, Harvard atau Stanford hingga Babak Akhir UNBK”

Susah ya mas. Aku ingat jaman sekolah dulu. Ada teman sekelas yang memang nakal luar biasa. Sempat ditampar guru di dalam kelas. Tapi nggak ada cerita dia ngadu ke orang tuanya.

Rata-rata anak-anak sekarang, kesenggol dikit aja, pengacara yang datang. Khawatir dengan mental generasi masa depan kita. Boro-boro mikirin galau pilih Harvard atau Stanford. Jauh banget. Sayang, cuma ada satu Maudy Ayunda dari sekian juta anak sebayanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *